Serial Sudarmardi #1 - Adimas Kanjeng

09.40.00

Darmadi, pria 30 tahun berkacamata dengan gigi geraham yang sudah berlubang itu nampak gusar. Dibolak-baliknya lembar koran pagi yang dia baca itu dengan cepat. Bukan karena klub bola kesayangannya kalah sehingga ia gusar; namun headline koran itu yang membuatnya berkeringat sedari pagi. ‘Adimas Kanjeng Pengganda Uang dari Desa Sukadunia’, begitu tulisan yang terpampang di halaman depan koran itu.

“Kenapa sih Mas?”

Istrinya datang membawakan secangkir jus mangga. Dia memang bukan penikmat kopi, ataupun teh.
Darmadi tidak menjawab istrinya yang sejurus kemudian duduk di sebelahnya. Dia hanya memandang kedua bola mata yang sejak 10 tahun yang lalu selalu membuatnya merasa teduh.

“Kalau ada masalah itu bicara, bukan memandangiku terus.”

Digesernya koran itu, lalu diperlihatkannya pada istrinya.

Tak butuh waktu lama bagi Maryam, istrinya untuk menyadari, rupanya kabar tentang pemuda yang beberapa bulan pindah ke salah satu desa di kabupaten mereka itu sudah jadi berita nasional.

*

Aslinya, Darmadi itu punya pekerjaan di pemerintahan. Mengawali kariernya dari asisten dosen ekonomi universitas tempat dia bekerja, kemudian ikut meneliti di lapangan, kemudian memegang jabatan staff perumus kebijakan daerah di kabupatennya. Kariernya sangat moncer, sampai akhirnya dia ditugaskan ke daerah pelosok di Jawa ini dengan tantangan besar; mengubah paradigma masyarakat desa yang tidak mau mengikuti perubahan zaman. Dalam waktu 10 tahun terhitung dari 3 tahun lalu, dia diberi target untuk bisa setidaknya membuat orang tua dan warga di sekitarnya untuk tidak lagi menggantungkan diri pada klenik, mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal, bisa mandiri dan tidak lagi menggantungkan diri pada para tengkulak. Beruntung bagi Darmadi, Maryam, adik kelasnya di jurusan yang sama, begitu setia mendampinginya sampai sekarang. Padahal sebenarnya hidup mereka tak nikmat-nikmat betul. Baru-baru ini saja, mereka bisa dengan rutin menikmati waktu pagi bersama. Sebelumnya? dari pagi hingga malam, Darmadi harus selalu di kantor, menghabiskan waktu untuk merumuskan kebijakan yang diminta bosnya.

Masalah Adimas Kanjeng ini, bukan masalah pertama yang dia hadapi di Kabupaten Majumundur ini. Ini merupakan kasus ke sekian yang dia anggap sebagai masalah.

Masih ingat betul dia akan kasus pertamanya; seorang anak remaja yang susah mencari kerja di berbagai tempat diminta oleh keluarganya sendiri untuk disucikan, katanya dia digandrungi oleh dedemit. Berikutnya pohon di pinggir jalan desa yang memang berukuran besar itu tak boleh dipotong oleh warganya karena katanya menyimpan tetuah dari para leluhur, padahal pohon itu sangat membahayakan bila hujan deras karena akan rawan tumbang. Belum lagi kasus Markonah dan Sajali, dua pemudi yang katanya membantu teroris Sasanto. Tidak terbayang olehnya, masalah yang dia hadapi akan serumit ini. Belum lagi kasus beberapa bulan yang lalu, di mana dia harus menghadapi ketua RT yang lama karena ada indikasi kuat dia korupsi dengan mengatakan bahwa dana desa itu dilalap oleh leluhur dan sialnya semua orang desa Sukadunia ini mempercayainya. Dan akhirnya yang terbaru, muncullah kabar bahwa ada seorang pemimpin padepokan yang mampu menggandakan uang dari desanya yang jadi berita hits seantero negeri.

*

“Apa yang kamu khawatirkan Mas? Kamu tahu aku akan mendengarkannya.”

“Aku bingung Dek, apa yang harus kulakukan kali ini. Kamu tahu sendiri, begitu banyak orang desa yang sekarang percaya pada dirinya karena kata mereka, Dimas itu benar-benar bisa menghasilkan uang.”

“Masih banyak sekali kesyirikan di desa ini ya, Mas.”

Darmadi mengangguk. Dipandangnya istrinya yang entah kenapa, baginya tak pernah berubah kecantikannya sejak 10 tahun dia mengenalnya.

“Mungkin kita, atau pemerintah, atau orang lain, punya andil dalam memelihara kemusyrikan ini.”
Maryam meninggikan alisnya.

“Maksud Mas?”

Darmadi menyeruput jus mangga bikinan istrinya itu.

“Kamu tahu semua orang butuh uang, dan pemerintah kita sulit menyediakan uang itu untuk orang-orang di sini. Mereka terlalu mementingkan angka-angka makro, dengan sedikit memerhatikan indikator-indikator mikro. Padahal dari teori dasar ekonomi pun, kesenjangan pendapatan itu bisa menjadi momok sebuah negara. Kamu mengerti bukan?”

“Iya Mas. Tapi menurutku tidak lantas karena itu akhirnya mereka harus memalingkan diri pada bantuan jin ataupun setan. Apalagi dengan kedok karomah. Adek sama sekali tak percaya kalau kemampuan Dimas itu merupakan karomah dari Allah. Buat apa Allah memberikan karomah yang bisa menyebabkan inflasi besar-besaran? Abu Dujanah, sahabat Nabi yang berperang mati-matian hingga punggungnya terpanah melindungi Nabi di perang Uhud saja tak pernah punya karomah. La si Dimas ini, amal apa yang dia lakukan sampai punya karomah sedemikian itu?”

“Hush, tak baik Dek bicara seperti itu. Kita harus tahu dulu seperti apa sebenarnya aktivitas di padepokan Adimas itu.”

“Iya Mas, maaf ya. Kalau begitu apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan mengirim Huda untuk mengamati aktivitas di sana. Aku perlu informasi, dan tidak mungkin aku akan datang sendiri. Terlalu berbahaya Dek. Kamu tahu sendiri sekarang hubunganku dengan warga khususnya di desa Sukadunia itu cenderung memburuk. Aku juga perlu menghubungi Pak Broto, kepala desa Sukadunia itu, dan mungkin menghubungi Pak Zaenal dulu. Pekerjaanmu sudah selesai?”

“Belum Mas, masih ada beberapa draft yang perlu direvisi. Tapi ini kan hari Minggu, biar dululah. Aku membantumu dulu untuk mengatasi masalah ini saja.”

“Kalau begitu aku minta tolong kamu hubungi Huda ya, aku keluar sebentar untuk menemui Pak Zaenal, tadi sudah sempat janji sih.”

“Huda disuruh ke sini jam berapa?”

“Jam 9 saja. Aku tidak lama kok ketemu dengan Pak Zaenal, hanya setengah jam saja. Kamu di rumah sendiri, tidak papa kan?”

“Tentu saja Mas.”

Mendengar hal itu, Darmadi segera mengambil sepeda motornya, lalu pergi sambil memandang istrinya yang melepas kepergiannya sambil tersenyum.

*

“Kabarnya Pak Presiden juga pernah mengundang Adimas ke istana.”

Ucapan Zaenal itu bagaikan petir di siang bolong.

“Maaf Pak, Pak Presiden mengundang Adimas ke Istana? Apa benar?”

Lelaki yang sudah berumur sekitar 60 tahunan itu hanya menggerakkan bahunya tanda tak yakin.

“Kabarnya pengikutnya juga banyak. Ada anggota ICMI, MUI, bahkan dengar-dengar sih doktor dan juga beberapa pakar di daerah kita yang menjadi pengikutnya dan mengamini karomah yang dia miliki.”

Darmadi diam seribu bahasa. Kabar ini semakin membuatnya tak percaya; bagaimana bisa orang-orang yang seharusnya lebih paham fiqh, lebih paham sejarah Rasul, lebih paham kitab dan ajaran agamanya, dengan mudahnya memercayai adanya karomah pada seseorang yang tak jelas bagaimana asal usulnya dan apa yang sudah dia lakukan untuk orang-orang di sekitarnya.

“Kamu harus hati-hati Mad, mungkin kamu berhasil di desa-desa yang lain, tapi untuk desa ini kamu perlu pendekatan yang berbeda.”

“Saya tahu Pak. Tapi saya pribadi menganggap ini sudah masuk ke kejahiliahan yang besar. Tapi saya perlu data yang lebih valid lagi.”

“Ya sudah. Yang jelas bila kamu gagal mengatasi masalah ini, kami tidak akan memindahkanmu. Tapi cukuplah mengubah masyarakat di sini menjadi masyarakat yang baik sebagai hukuman sekaligus upaya yang perlu kamu lakukan seumur hidupmu sampai tuntas.”

“Baik Pak.”

Zaenal pun pergi meninggalkan Darmadi yang masih mematung di warung kopi mbah Jani di perbatasan Sukadunia dan Sukamaju.

Dari belakang tiba-tiba terdengar suara nenek-nenek yang berbicara dengan keras menagih lelaki yang baru saja keluar dari warungnya karena dia belum membayar kopi dan tiga gorengan yang barusan dia makan.

*

Darmadi sampai di rumah lebih cepat dari yang dia kira. Di dapur tampak istrinya yang lebih muda dua tahun dari dirinya itu sedang memasak ikan tongkol dengan bumbu cabai yang harum bumbunya sudah tercium dari depan.

“Sudah sampai Mas? Cepat sekali ketemu sama Pak Zaenal.”

“Iya Dek. Huda sudah kamu hubungi?”

“Sudah. Bentar lagi mungkin dia akan datang.”

Tak lama setelah itu suara motor bebek dua tak yang sudah lama tak diganti olinya membuyarkan pembicaraan Darmadi dan istrinya.

“Pak Dammadi! Assalamualaikum!”

Darmadi segera ke depan dan membuka pintu.

“Waalaikumsalam. Kalau bertamu itu salam dulu baru manggil orangnya Hud.”

Pemuda yang mengenakan kopiah miring karena terkena angin selama perjalanan itu hanya terkikik geli.

“Maklum Pak, terlalu senang karena dipanggil oleh Pak Bos. Ada apa ya Pak kok cari saya?”

“Sudah, masuk dulu. Kita bicara di dalam saja. Itu motormu dimasukkan saja sekalian, kalau hujan biar tidak kehujanan.”

Mendung menghiasi pagi hari itu.

“Wah, baiklah Pak. Sebentar ya Pak saya masukkan dulu motornya!”

Darmadi mengangguk pelan, lalu dia masuk ke dalam dan mengambil beberapa cemilan untuk tamunya kali ini.

*

“Kamu tahu Adimas Kanjeng, Hud?”

Huda yang asyik mengemil kacang goreng itu, tersedak begitu Darmadi bertanya padanya.

“Loh, kenapa kamu? Pelan-pelan kalau makan Hud, masih banyak kok masih banyak.”

“Bu-bukan begitu Pak, tapi saya kaget, kok pas sekali saya juga ingin ngomong sama Bapak tentang itu.”

“Tunggu sebentar, panggil saja aku Mas lah. Aku masih muda lo. Dan biasanya kan dirimu juga memanggilku begitu.”

Huda tersenyum nyengir.

“Ya, Mas Darmadi memang masih muda, tapi secara pengalaman kan sudah sepuh, hahaha. Jadi begini Mas Dam,” Huda memang tidak bisa memanggil Darmadi dengan nama panggilan Darmadi. Dia lebih suka menghilangkan huruf ‘r’ di nama Darmadi dan menggantinya dengan huruf ‘m’. 

“Saya dengar cerita dari teman di desa itu, katanya ada padepokan yang mengajarkan shalawat fulus, buat cari uang, dan bahkan orang-orang di sana rela memberikan uangnya untuk digandakan, dan katanya pula, isu yang saya dengar, sebenarnya di situ terjadi pembunuhan dua orang anggota padepokan itu lo Mas.”

“Yang benar Hud? Kamu sudah pastikan?”

“Nah itu masalahnya Mas. Saya belum memvalidasi lebih lanjut. Jangan-jangan Mas memanggil saya ini untuk meneliti masalah padepokan itu ya?”
Darmadi mengangguk pelan.

“Sebenarnya aku ingin kamu ke sana. Teliti apa saja yang bisa kamu teliti. Cari sebanyak mungkin informasi dan sampaikan padaku, apa saja yang menurutmu ganjil. Kamu harus mengikuti acara yang mereka lakukan, dan lainnya. Kamu paham kan?”
Huda membetulkan pecinya yang mau jatuh.

“Jadi ini semacam misi rahasia begitu, Mas?”

“Kau bisa menyebutnya demikian.”

Dari bola matanya yang berbinar, Darmadi bisa tahu kalau Huda tampak senang. Dia memang suka dengan misi-misi semacam ini.

“Kalau begitu mulai besok saya akan beraksi Mas.” Ujarnya sambil mengacungkan jempol.

“Tapi kamu harus hati-hati ya. Jangan sampai tertangkap atau bahkan dilenyapkan.”

“Tentu Mas. Saya selalu mendahulukan kehati-hatian di mana pun saya berada.”

Darmadi tersenyum, sambil tetap mengkhawatirkan keselamatan Huda.

*

“Bagaimana Mas? Sudah bicara dengan Huda?”

“Sudah Dek. Dia sudah paham apa yang kutugaskan kepadanya.”

“Kalau begitu kamu tidak perlu secemas tadi kan? Ini makanlah dulu. Aku sudah menyiapkan makanan buat kita.”

“Oh, sudah siap? Memang kau luar biasa sekali.”

Maryam hanya tersenyum; memandang mata suaminya itu lekat-lekat.

*

Huda segera pulang ke rumah.

Dia hafal betul apa yang harus dia lakukan, sesuai perintah Darmadi. Tak ada keraguan lagi pada Darmadi bagi Huda. Dia merupakan orang yang mampu menyelamatkan desanya dari kekacauan karena kepercayaan bahwa dirinya harus dikorbankan supaya desa bebas dari penyakit, dua tahun yang lalu. Sekarang dia masih sehat, dan warga desa pun percaya kalau tidak ada lagi itu namanya penyakit karena setan dan jin penunggu rumah itu mengamuk dan meminta sesajen. Sekarang dia yakin bahwa seberapa besar kemampuan jin dan setan, Allah jauh lebih dekat padanya. Walaupun tak pintar-pintar amat, Huda ahli betul dalam menjalin hubungan dengan seseorang. Dia orang yang supel dan ramah, namun awas dan waspada.

Berbekal beberapa pakaian dan uang yang diberikan oleh Darmadi, serta kamera berbentuk kancing yang juga diberikan oleh Darmadi, Huda berangkat menuju desa Sukadunia. Memulai misinya menguak kebenaran tentang Adimas Kanjeng yang katanya mampu menggandakan uang itu. Ini adalah misi ketiganya, dan dia ingin terus berhasil.

*

Berbondong-bondong orang mendatangi padepokan itu sambil membawa tas koper yang berisi uang. Ada yang pecahan 10 ribuan, ada yang seratus ribuan, ada yang berpuluh-puluh juta mereka bawa. Datang dengan niat yang sama; memperbanyak uang yang ada di tangan.
Dari kejauhan Huda melihat mereka sambil memegang telepon di tangan.

“Buset Mas, banyak betul yang datang! Pak Bupati saja datang Mas!”

*

Serial ini adalah fiktif belaka. Kesamaan alur, tokoh, tempat, dan lain sebagainya, mungkin disengaja dan mungkin tidak disengaja oleh penulis. 

You Might Also Like

0 komentar