Berandai tentang Alas Saradan

11.50.00

Mulustrasi hutan. Sumber : harianindo.com

Sebagai orang Madiun asli, yang lahir dan besar di kabupaten sambil sesekali main ke kota, saya termasuk orang yang ingin mengembangkan daerah ini. Mau bagaimanapun, untuk membangun kehidupan masyarakat yang baik, harus dimulai dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu. Sejujurnya saya punya rasa malu juga lo karena tidak tahu potensi daerah saya sendiri. Dulu waktu lomba SD, ketika di tanya di daerah saya ada tempat rekreasi apa, saya hanya ndelongop sambil merem-merem cantik karena tak tahu sama sekali *duh kau hidup di mana saja selama ini nak!. Kembali ke kata-kata petuah sebelumnya, sama halnya, kalau ingin membangun negara yang makmur sejahtera, tidak bisa tidak harus dimulai dari sektor yang paling kecil, kemudian baru ke sektor yang lebih besar. Gampangnya, seperti kata-kata motivasi itu, untuk mengubah dunia kita harus mulai dari diri sendiri. Tapi saat ini saya tidak ingin membahas dari unit sekecil itu. Saya ingin membahas dalam skala yang lebih luas; berupa kecamatan atau desalah, kurang lebih.

Bagi orang asli Madiun, terutama yang tumbuh besar di daerah timur, tepatnya di kecamatan Saradan, sudah pasti pada tahu tentang alas Saradan yang lumayan luas itu. Tepatnya di sekitar daerah Sukowati, Lemahbang, dan sekitarnya. Kalau dari arah Madiun menuju ke Nganjuk, setelah melewati daerah Kaligunting, di sepanjang kanan atau kiri jalan teman-teman akan melihat hamparan hutan (dengan jati yang tumbuh dominan, sepanjang pengamatan saya) yang membentang sepanjang perjalanan hingga mencapai daerah perbatasan dengan kabupaten Nganjuk. Saat ini, secara pribadi, saya merasa daerah itu kurang dimanfaatkan dengan baik oleh kita. Walaupun ya, sekarang ini tempat itu banyak dimanfaatkan untuk produksi kayu. Kabar terakhir Perum Perhutani KPH Saradan berhasil mencapai pendapatan sebanyak 45 miliar rupiah dari hasil penjualan kayu.[1] Tapi di sisi lain, banyak sampah dedaunan yang berserakan dan cukup tertimbun lumayan banyak, warung kecil yang didirikan di dekat situ pun sangat sepi pembeli, plang luas daerah yang sudah lama tidak diperbarui (kelihatan lapuk dan tulisannya sudah cukup sulit terbaca), sebagian daerah digunakan untuk membakar sampah, dan lain-lain. Tapi lebih dari itu, melihat beberapa berita tentang permintaan pasar yang kadang kala turun untuk permintaan kayu jati atau kayu rimba (dua-duanya diproduksi pula di Saradan)[2], saya rasa kita perlu menyesuaikan beberapa hal tertentu. Selain itu, saya juga berpijak pada kenyataan bahwa banyak warga sekitar yang kurang mendapatkan manfaat secara langsung dari hutan yang ada di sekitar mereka. Jadi, singkatnya saya ingin warga sekitar juga mendapatkan cipratan dari potensi ’45 miliar’ itu, sekaligus membuat pemerintah tetap mendapatkan keuntungan yang sama. Dengan luas wilayah sebanyak 24.869 hektare, ada banyak potensi yang bisa kita kembangkan, menurut saya sih.[3] Dari data yang saya dapatkan, komposisi penggunaan wilayah KPH Saradan itu 6% sebagai hutan perlindungan, 78% persen untuk produksi, 6% untuk perlindungan, 9% persen untuk penggunaan lain.[4] Artinya, ada sekitar kurang lebih 216 ha untuk penggunaan lain, walaupun masih belum jelas apa itu. Saya berpikir daripada membiarkan hal itu terus berlanjut, mungkin ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah atau kita untuk memperbaiki keadaan itu yang nantinya akan bermanfaat untuk lingkungan ataupun masyarakat sekitar secara umum dalam bidang ekonomi. Artinya menggunakan 9% yang tersisa untuk penggunaan yang lainnya. Kok bisa bermanfaat begitu? Mari kita lanjutkan.

Salah satu hal yang terpikirkan dalam benak saya adalah mengubah sebagian alas Saradan menjadi sebuah tempat pariwisata. Diisi apa saja? Bisa bumi perkemahan, tempat outbond, wisata horor (yang ini agak maksa sih), dan, ehm, apalagi ya, mari kita pikirkan sambil berjalan. Menyulap alas Saradan menjadi bumi perkemahan adalah salah satu hal yang bisa menjadi alternatif. Pertama, lingkungan hutan yang cukup luas, bisa menjadi pilihan untuk menset-up tempat itu menjadi lingkungan untuk mengadakan perkemahan bagi para pramuka, PMR, atau organisasi lainnya. Terlebih, ada banyak sekolah, dari SD sampai SMA khususnya dari daerah Saradan-Mejayan sendiri yang memilih pergi ke daerah di luar kabupaten kita sendiri untuk mengadakan kemah, seperti pergi ke daerah Magetan, Kresek, dan lain sebagainya atau kalau tidak ya kemah di sekolah sendiri (yang pastinya sih kurang greget, betul begitu kan? *pertanyaan yang berasal dari orang yang tidak pernah ikut kemah seumur-umur hidupnya kecuali saat di SD, itu pun malamnya pulang ke rumah). Akibatnya, kalau menyewa di daerah lain, sudah pasti dana yang digunakan juga masuk ke daerah tersebut. Atau setidaknya masuk ke perusahaan yang menjadi pengelola tempat pariwisata itu. Tidak ada dana yang masuk ke daerah kita secara langsung. Wah ini eman sekali. Dengan menyediakan tempat perkemahan sendiri, dan bila berhasil menarik orang-orang yang ingin berkemah ke daerah kita, akan ada potensi peningkatan dana yang masuk ke kas daerah atau setidaknya ke para pengelola bumi perkemahan itu. Dengan sisa 216 ha lebih, masak kurang sih untuk membuat bumi perkemahan? *ini pertanyaan murni lo, bukan retoris ya!

Menyulapnya menjadi bumi perkemahan juga akan membuka lapangan pekerjaan baru yang bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar. Seperti terbukanya lahan menjadi penjaga bumi perkemahan, pemandu, pengawas dan penyedia akses air bersih dan sejenisnya, petugas bersih-bersih atau orang yang merawat agar tidak kotor, memangkasi rerumputan liar yang terlampau panjang, dan seterusnya. Secara tidak langsung hal itu akan memicu pula perubahan kondisi penjual yang ada di sekeliling tempat itu untuk meningkatkan kualitas tempat jualannya, agar jadi lebih bersih, produk yang dijual terjamin masih layak dipakai, dan seterusnya. Kenapa? Karena semakin banyak potensi pembeli yang datang dan membutuhkan produk-produk mereka agar bisa melanjutkan ‘kehidupannya’ di bumi perkemahan. Mungkin perubahan yang terjadi tidak akan berlangsung secara dramatis, namun perlahan-lahan. Karena mau bagaimanapun kesan atas tempat dan pelayanan penjualan merupakan salah satu servis atas pelanggan yang menentukan terjual atau tidaknya produk mereka, sehingga berdasarkan sudut pandang ini kemungkinan besar akan terjadi perubahan kualitas pada para penjualan yang saat ini berada di sekitar alas Saradan *economic hitman mode: on!. Tentu saja ini juga akan menghasilkan masalah baru, yaitu masalah irigasi, pembuangan sampah dan seterusnya. Namun saya berpikir itu masih bisa diatasi dengan banyak hal. Walaupun kelihatannya juga akan menjadi comfort-zone tersendiri dengan set-up seperti itu, menurut saya masih tidak masalah karena untuk melepaskan dari comfort-zone masih bisa diatasi dengan cara yang lain, seperti mengatur agenda perkemahan yang menguatkan kemandirian dan keberanian bagi para peserta kemah seperti; agenda wawancara dengan warga sekitar, membantu warga sekitar untuk dapat kelulusan atau poin, dan selainnya.

Misalnya sampah-sampah yang dihasilkan dari bumi perkemahan, baik dari para penjual ataupun adik-adik yang berkemah serta tanaman-tanaman yang jatuh dapat digolongkan menjadi sampah-sampah tersendiri, seperti sampah organik, anorganik, dan sejenisnya. Sampah-sampah organik dapat dimanfaatkan ulang menjadi pupuk. Bisa dikirim pada para produsen pupuk, atau bisa pula mendirikan tempat pembuatan pupuk tersendiri. Kebanyakan sampah organik yang ada di sana memang daun jati yang jatuh berguguran, tapi masih terdapat pula tanaman lain yang daun-daunnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk. Akibatnya akan melahirkan spesialisasi pekerjaan baru, yaitu para pembuat pupuk serta para pengirim pupuk, manajemen pembuatan pupuklah biar lebih keren didengar. Dari situ bisa dikembangkan lagi untuk melahirkan membuka lapangan pekerjaan baru, menambah wahana dan tempat rekreasi yang berisi wisata pengetahuan pembuatan pupuk, serta membantu mengurangi jumlah sampah dan juga membantu para produsen pupuk serta bila mau diteruskan membantu pula para petani yang membutuhkan pupuk untuk menumbuhkan tanamannya dengan harga murah (karena biaya produksi yang dilakukan bisa ditekan dengan harga produksi yang lebih rendah karena baik bahan baku, tempat, ataupun sumber daya sudah tersedia di tempat bumi perkemahan tersebut).

Sisi negatifnya, mungkin adalah musim kemah yang tidak datang setiap saat. Artinya akan ada sesi di mana pendapatan bisa-bisa turun sama sekali dan tidak ada pemasukan lain. Tapi oleh karena itulah kita perlu menyiapkan sulap lain untuk menjaga agar hutan bisa terus dinikmati dan bermanfaat bagi masyarakat. Seperti menyediakan produksi pupuk di atas. Walaupun itu juga bisa menghasilkan pertanyaan baru, seberapa besar animo akan pengetahuan pupuk di masyarakat sih? Atau kalau begitu kita tambahan wahana lain saja. Biar sekalian menyaingi Jatim Park, hohoho.

Opsi yang lain adalah mendirikan tempat bermain dengan tema sentral bermain di alam, atau biasanya sih disebut out-bond di alas Saradan. Bisa kita isi dengan permainan memanjat pohon, berjalan di antara dua pohon, wall climb, lapangan bermain soft gun, dan lainnya. Salah satu hal yang menghambat mungkin adalah posisi alas Saradan yang dekat dengan jalan raya mungkin akan menghasilkan kesan kurang natural, dan juga bising dengan suara lalu lalang kendaraan yang melintas. Alternatif yang bisa dilakukan adalah membuat area sepanjang pinggir jalan, selebar 500 meter (kalau perlu ya lebih, tinggal dihitung saja berapa frekuensi yang dihasilkan dari kendaraan yang lewat dan berapa jauhnya sampai frekuensi itu turun, mirip cara menghitung efek doppler itu lo) untuk parkir kendaraan, dan bumi perkemahan atau tempat bermain diletakkan di dalam sehingga meminimkan potensi gangguan kendaraan dengan aktivitas di dalamnya. Untuk masalah tata letak dan konten outbond, sepertinya saya tidak bisa banyak menyumbangkan ide karena sejauh saya menulis tulisan ini, gambaran detail dari hutan Saradan dan permainan apa yang layak ditempatkan di sana masih belum saya dapatkan dengan baik. Tapi setidaknya, hal ini patut dipertimbangkan mengingat banyaknya sekolah di daerah Saradan sendiri. Biasanya momen liburan panjang, atau rekreasi keluarga, dihabiskan di tempat-tempat yang natural (kecuali yang hobinya main ke tengah kota). Sekolah Ibu saya dulu pun, waktu rekreasi, jauh-jauh pergi ke Magetan untuk melihat Taman Ria. Dengan membangun sentra outbond sendiri, saya kok merasa layak dicoba ya. Walaupun kita pasti memerlukan usaha yang lebih untuk menyaingi tempat lain yang secara posisi, iklim, dan lain sebagainya lebih menguntungkan; sebut saja daerah Malang dengan dingin dan pemandangan yang ditawarkan dari puncak-puncak bukit atau gunungnya (begitu pun dengan Magetan dengan Sarangannya), dan sejenisnya.

Adanya perubahan penggunaan atas wilayah alas Saradan itu mungkin memang akan menghasilkan dampak pada berkurangnya 45 miliar pendapatan yang berhasil ditorehkan tahun sebelumnya lewat produksi kayu jati dan kayu rimba. Memang lahan yang tersedia sangat cocok untuk ditanami tumbuhan tersebut. Kurang lebih 13.000 meter kubik kayu jati berhasil dihasilkan pada tahun lalu. Gagasan untuk mengalihfungsikan sebagian lahan alas Saradan tentu akan berpotensi menurunkan produksi tersebut. Tapi, dalam pandangan saya, menggantungkan pada pendapatan produksi kayu semata-mata akan menyulitkan kita sendiri dalam jangka waktu yang lumayan panjang. Sebabnya, menurut saya ini, pendapatan dari kayu hanya bisa mungkin bila ada permintaan pasar yang besar untuk kayu jati. Sejauh ini yang saya tahu, kayu jati bisa dimanfaatkan untuk membangun rumah, meja, atau yang lain. Pertanyaannya, seberapa besar permintaan pasar untuk kayu jati? Apakah akan terus meningkat dan bertambah? Harganya bagaimana? Menurun atau meningkatkah?

Memang untuk melakukan perubahan tidak pernah berawal dari kemudahan. Seperti ini, kalau gagasan ini benar kita terapkan maka akan ada potensi gagal dan bahkan justru menurunkan pendapatan daerah. Tapi potensi keberhasilan mengubah wilayah itu menjadi sentra permainan dan perkemahan yang baru juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Ya mau bagaimana pun, masih diperlukan analisis yang lebih mendalam tentang kelayakan ide yang saya jabarkan di atas untuk diterapkan. Tapi setidaknya kita sudah menyumbang ide. Lha daripada mengutuk-ngutuk terus, capek dan nggak sehat untuk diri kita sendiri bro.

Oh iya kelupaan. Sepertinya saya tidak jadi mengusulkan ide menyulap jadi wisata horor deh. Lha wong sekarang saja Indonesia ini sudah penuh dengan ke-horor-an, kenapa ditambah-tambah segala?

Sekian.



[1] “Perum Perhutani KPH Saradan lampaui pendapatan hingga Rp45 Miliyar”, RRI, http://www.rri.co.id/post/berita/233575/ekonomi/perum_perhutani_kph_saradan_lampaui_pendapatan_hingga_rp45_miliyar.html
[2] Lihat misalnya di http://gaul.solopos.com/produksi-kayu-perhutani-jateng-penebangan-kayu-sesuaikan-permintaan-681698. Sebagai data pembanding, menurut statistik dari BPS (https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/862), produksi kayu hutan memang selalu meningkat. Artinya kesediaan kayu jati bisa berpotensi semakin banyak seiring tahunnya. Hal itu bisa berpotensi untuk menurunkan harga kayu produksi hutan. Ingat lo, masih potensi saja. Penurunan harga bergantung pada banyak hal selain jumlah kesediaan barang. Mengingat selain Indonesia, ada pula India dan negara lain yang juga menjadi pemasok kayu hutan. Melihat hal itu, perlu dipertanyakan seberapa besar sumbangsih produksi kayu dalam jangka panjangnya. Khususnya untuk daerah Saradan yang relatif kecil bila dibandingkan dengan daerah lain. Dibandingkan dengan produksi di Jateng yang mencapai 100 ribu kubik lebih kayu misalnya (bandingkan dengan 13 ribu produksi terakhir KPH Saradan), jelas proporsi produksi hutan Saradan relatif lebih kecil.
[3] http://www.madiunpos.com/2016/01/05/perhutani-kph-saradan-panen-13-000-m3-kayu-rp45-miliar-ditangguk-677691
[4] http://humaskphsaradan.blogspot.co.id/p/blog-page_11.html

Terjemahan :
Ndelongop : Bengong sambil membuka mulut.
Merem : Memejamkan mata

You Might Also Like

0 komentar