Istilah seksualisasi,
sejauh yang penulis ketahui, sampai saat ini masih belum ada dalam perangkat
lunak kamus bahasa Indonesia yang biasa digunakan penulis untuk mengetahui arti
kata dalam bahasa Indonesia yang artinya masih belum penulis ketahui. Jika
dicari di Mbah Google, istilah
seksualisasi juga terlihat belum familier. Ketika mengetik tentang
“seksualisasi”, kata seksualitas justru menjadi kata yang banyak muncul di
halaman pencarian. Barangkali, lebih tepat bila menyatakan istilah ini
menggunakan istilah bahasa Inggrisnya, sexualization[1].
Istilah ini berasal dari kata seksual, yang ditambahi dengan partikel
tambahan “-isasi”. Jika mencari kata-kata lain yang berpola seperti ini dalam
bahasa Indonesia, kita dapat menemukan kata-kata seperti “aktualisasi”,
“internasionalisasi”, “internalisasi”, atau istilah “isasi-isasi” lainnya yang
dapat kita maknai sebagai proses, cara atau perbuatan melakukan sesuatu yang
disebutkan dalam kata dasar (tanpa ada -isasi) yang ada dalam kata tersebut.
Sehingga, “seksualisasi perempuan” dapat kita artikan sebagai proses, cara,
perbuatan, menggunakan perempuan
sebagai objek seks. Penerjemahan singkatnya, dapat kita lakukan seperti itu.
Setiap proses, cara, atau perbuatan, pasti
memiliki tujuan atau hasil akhir yang ingin dicapai setelah melalui runtunan
proses yang telah berlangsung. Mari kita ambil satu contoh. Internalisasi,
misalnya, hasil akhir yang diinginkan dari proses meng-internalkan itu adalah “masuknya”
sesuatu itu ke dalam kesadaran diri kita, atau dalam bahasa yang lain, “merasuknya”
sesuatu dalam diri kita setelah proses itu berlangsung. Silakan pembaca
abstraksikan kata-kata lain, dan mencari tujuan apa yang ingin dicapai, untuk
membantu memperjelas akan hal ini. Hal yang sama juga berlaku pula untuk
istilah “seksualisasi” ini. Lalu, apa tujuan dari seksualisasi itu sendiri?
Tidak lain, adalah untuk menimbulkan gairah ketertarikan melalui objek seks,
berhubungan dengan jenis kelamin, atau dorongan nafsu yang kita miliki. Seperti
itu, untuk membantu memperjelas tujuan dari proses ini. Sehingga, secara
sederhana, dapat kita definisikan bahwa seksualisasi perempuan adalah usaha
untuk menjadikan perempuan sebagai objek untuk menimbulkan gairah atau
ketertarikan secara nafsuwiyah. Jika
ingin mengatakannya secara lebih gamblang, tindakan ini adalah apa yang “kita”,
baik laki-laki, perempuan, media, atau seseorang yang lain, lakukan terhadap
kaum perempuan untuk menggunakan perempuan sebagai objek seksual untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu. Pembahasan mengenai seksualisasi perempuan menjadi
penting untuk kita bicarakan oleh karena beberapa hal. Pertama, terjadi
ketidaksadaran pada kaum perempuan mengenai apa yang terjadi pada diri mereka
di ruang publik, bahwa fisik mereka telah dieksploitasi untuk kepentingan pihak
tertentu. Kedua, telah terbentuk persepsi sosial pada kaum perempuan mengenai
bagaimana perempuan seharusnya tampil, berdandan, atau terlihat menarik, yang
semuanya menekankan pada dimensi fisik semata. Ketiga, perempuan hanya akan
dilihat sebagai objek, yang kemudian membuat orang lain menjadikan perempuan
sebagai “benda” yang dapat digunakan sesuka hati si pemiliknya.
Dalam status
quo dewasa ini, praktek-praktek seksualisasi, sering kali terjadi pada
berbagai iklan yang nongol di media
massa[2]. Iklan sabun kulit atau
sabun rambut misalnya, cenderung
menampilkan perempuan yang berkulit putih, berambut halus, bermata indah
(fisik, of course) dan seterusnya,
untuk menarik pembaca atau lawan tutur, khususnya perempuan, untuk membeli
produk tersebut. Tapi tidak hanya saat itu, secara kritis sekaligus curiga,
kita bisa menuduh promosi-promosi mengenai produk tertentu yang menyediakan sales promotion girls sebagai “tambahan”
dalam penjualannya, juga telah melakukan praktek seksualisasi itu sendiri. Tujuannya,
untuk menarik pembeli laki-laki agar mau menghampiri standnya, dan kemudian menawar produk yang mereka jual atau jika
berhasil, membelinya. Kita dapat mencurigai bahwa itu semua, semata karena
ketertarikan terhadap perempuan yang sengaja disetting untuk menarik pembeli tadi, bukan karena kualitas produk
yang dijual. Jelas bahwa banyak orang yang menuju ke stand itu bukan untuk melihat produk semata, tapi juga cuci mata. Semakin tampak bahwa praktek
seksualisasi ini memang disengaja, mau tidak mau, sebagian untuk tujuan-tujuan
tersebut. Ironisnya, dalam banyak berita di media massa, yang secara definitif
seharusnya menghadirkan fakta-fakta objektif di lapangan tanpa melibatkan unsur
subjektivitas jurnalis dalam berita yang ditampilkan, juga tidak luput dari
praktek seksualisasi. Berita mengenai “gadis cantik dibunuh X”, “guru cantik
ini mengajar dengan sabar lho!”, “pramugari cantik salat di pesawat!”, dan
berbagai judul berita lain yang bernada serupa, dapat ditangkap mengandung
tendensi untuk mengarahkan pembaca fokus pada istilah “cantik” dan bukan pada
fakta apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga, dapat dimaknai di sini bahwa untuk
menarik perhatian pembaca terhadap berita-berita itu, ditambahkan unsur
seksualitas untuk menarik para pembaca. Dan apa artinya? Perempuan telah
menjadi objek seks, pada tahap itu. Seksualisasi perempuan, tidak berhenti
hanya sampai di situ. Pada tingkat tertentu, tindakan tersebut juga digunakan
untuk mengonstruksi makna kata “cantik” agar para perempuan mengikuti mainstream yang dibawakan oleh awak
media. Pelekatan kata cantik dengan figur seorang perempuan yang berkulit
putih, berwajah manis, berambut hitam yang lurus dan lembut, serta lain
sebagainya, menimbulkan persepsi bahwa “cantik” adalah apa yang ditampilkan
seperti figur itu. Akibatnya, krim pemutih laris terjual, perawatan kecantikan tumbuh
subur, dan ironisnya adalah semua itu pada akhirnya hanya diukur dari segi
fisik, yang tentunya tidak bisa tidak dijauhkan dari seksualitas. Praktek ini
begitu masif dan dampaknya dapat kita lihat di kehidupan kita sehari-hari.
Konstruksi makna cantik yang terus berlangsung, hari demi hari kian dekat
dengan seksualitas. Apakah istilah “cantik” merupakan salah satu bentuk
konstruksi sosial yang menjadikan perempuan hanya sebatas objek seksual?
Praktek yang berbeda kita lihat pada bagaimana
laki-laki ditampilkan dalam ruang publik. Karakter-karakter pahlawan, seperti Superman, atau Batman, atau Kabayan, misalnya ditampilkan dengan memakai baju atau
pakaian yang menampilkan kesan sebagai tokoh yang kuat, memiliki kecintaan
tinggi terhadap keadilan, memberantas kejahatan atau yang selainnya. Sementara,
pahlawan perempuan, semacam Wonderwoman[3]
misalnya, ditampilkan dengan menggunakan baju yang justru menampilkan kesan sensual
yang menarik secara fisik. Tentunya, jika dipahami lebih jauh, seolah ini tidak
berhubungan sama sekali dengan gambaran Wonderwoman
sebagai pahlawan perempuan. Apakah pahlawan harus memakai pakaian yang
menampilkan gambaran seksual seperti itu? Adakah keselarasan antara hal itu
dengan siapa dirinya sebenarnya? Atau, mengapa pakaian seperti itu yang
ditampilkan olehnya? Mengapa bukan pakaian yang lain? Pertanyaan-pertanyaan
ini, yang akan mengarahkan kita pada tahap kecurigaan yang lebih jauh bahwa
praktek tersebut, tidak lain adalah juga merupakan usaha seksualisasi terhadap
perempuan. Ibaratnya, “Walaupun kamu seorang pahlawan, kamu tetap seorang perempuan,
kamu harus tetap tampil seksi, dong!”
Tidak ada pada ranah pahlawan super saja, namun
seksualisasi juga telah merambah dunia game, yang kita ketahui bersama,
merupakan dunia yang cenderung banyak diikuti oleh generasi muda dan generasi
kecil kita. Studi yang dilakukan oleh Elizabet Behm-Mohrawitz dan Dana Mastro dengan
mengutip Beasley dan Standley (2002), Dietz (1998), Glaubke et al. (2001),
Ivory (2006), Miller dan Summers (2007) menuliskan bahwa dalam karakterisasi
perempuan dalam video game, analis konten mengindikasikan bahwa perempuan sering
kali di “hypersexualized” (seksualisasi dengan tinggi) ketika digambarkan.[4]
Disadari atau tidak, praktek seksualisasi, yang
secara implisit juga merupakan praktek menganggap perempuan hanya sebagai
sebuah objek yang dapat digunakan untuk tujuan tertentu, memberikan dampak
negatif bagi perempuan itu sendiri. Pertama, terjadi pandangan umum atau bahkan
konstruksi sosial yang tidak disadari bahwa perempuan yang cantik, ideal, dan
menarik itu adalah “seperti itu”. Berkulit putih, langsing, dan seterusnya,
yang kemudian mengabaikan atau sengaja merendahkan porsi intelektualitas dan
kemampuan gagasan yang dimiliki oleh perempuan. Kedua, perempuan menjadi “objek
garapan” baru bagi para businessman, untuk
mendapatkan keuntungan dari penjualan produk-produk kecantikan fisik yang
dianggap menjadi jalan bagi para perempuan untuk menjadi sosok yang ideal,
sebagaimana dikonstruksikan oleh media. Akhirnya, mayoritas kaum perempuan akan
berusaha untuk tampil sebagaimana dinginkan oleh banyak pihak tentang dirinya, harus
cantik, menawan, dan menarik, yang membuat dirinya justru melupakan potensi
terbesar yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup yang bernama manusia,
intelektualitas.
Untuk itu, para perempuan harus menyadari hal ini
dan mereka harus berani mengembangkan potensi yang mereka miliki, dan memilih
untuk tidak mengejar “kecantikan” fisik yang ternyata membuat dirinya justru
menjadi objek seksual bagi orang lain. Apa yang harus diperjuangkan adalah
kesadaran bahwa perempuan memiliki peran yang besar, menjadi cantik atau
menawan secara fisik tidak akan mengembangkan potensi yang mereka miliki secara
inheren. Tidak ada tokoh sejarah yang dikenang sepanjang zaman karena fisiknya
yang diukur dalam standarisasi cantik atau menawan. Mereka yang dikenang dalam
sejarah, adalah orang-orang yang mengembangkan intelektualitas mereka sampai
batas maksimal untuk apa yang mereka yakini akan memberikan kebaikan bagi
orang-orang yang mereka cintai, atau pada The
Divine Being yang mereka nanti perjumpaannya. Untuk itu, selayaknya
perempuan harus sadar, bahwa mereka adalah manusia yang memiliki potensi yang
besar, dan tidak hanya terbatas pada dimensi fisik saja. Itulah yang harus
diperjuangkan, kesadaran kritis atas apa yang terjadi pada kaum perempuan,
harus dibangkitkan. Oleh karena, perempuan itu, bukan sebatas objek seksual
semata.
[2] Studi mengenai praktek
seksualisasi dalam media massa telah banyak dilakukan. Lihat misalnya, dalam http://www.buffalo.edu/news/releases/2011/08/12769.html,
yang menemukan bahwa penggambaran perempuan dalam media populer telah meningkat
ke arah seksualisasi, bahkan “pornofikasi”.
[3] Salah satu ulasan
mengenai ini adalah : http://fakegeekgirlslikeus.tumblr.com/post/103761002701/the-hyper-sexualisation-of-female-heroes-in-comics.
“
[4] Elizabet Behm-Mohrawitz,
Dana Mastro. “The Effects of the
Sexualization of Female Video Game Characters on Gender Stereotyping and Female
Self-Concept”.
Diakses melalui http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11199-009-9683-8#page-1