catatan

Lima Belas Ribu untuk Simbah

18.43.00

‘Kota’ Caruban semakin hari semakin berkembang. Pembangunan jalan tol, alun-alun kabupaten, hingga pembangunan kantor pemerintah. Tak jauh dari sekolah SMA saya dulu, lahan sawah di sebelah utara jalan yang semula luas membentang harus mengalah sedikit dengan kemajuan zaman. Sejak saya masih kelas 11, lahan sawah yang ada di utara jalan itu sudah mulai diubah untuk mengikuti tata ruang pembangunan daerah.

Walaupun perubahan semakin menjadi, ada pula yang masih tetap seperti dulu. Perubahan-perubahan lainnya antara lain; adanya lampu merah di perempatan sesudah toko buah, dekat dengan lapangan yang sering dibuat untuk pasar malam; di dekat pertigaan jalan di samping kiri SMAN 1 Mejayan sekarang pun juga sudah dibangun lampu merah; sebagian tempat yang dulu merupakan pasar Caruban, sekarang sudah disulap menjadi taman kota. Sepertinya tak lama lagi Caruban akan menjadi pusat ekonomi di Kabupaten Madiun. Sepertinya sih begitu. 

Sementara yang masih tetap keadaannya pun tak kalah banyak. Jalan Raya Ngawi di depan RSUD Caruban, masih ramai dengan truk dan bis. Di jalan Raya Ngawi itu ada sebuah kompleks pertokoan. Berjejer-jejer dari ujung ke ujung berbagai macam toko; dari toko telepon genggam, pakaian, sablon, dan lain sebagainya. Ada pula pedagang kaki lima yang mengadu nasibnya dengan berjualan di depan kompleks toko yang sedang tutup. Memanfaatkan tiadanya pemilik toko itu untuk menyulap kompleks pertokoan yang saya kira pasti mahal harganya itu, menjadi sebuah atap dadakan bagi para pembeli.

Siang tadi, setelah pulang dari Madiun melalui jalan raya Wonoasri yang juga tak luput dari pembangunan, saya sempat mampir di salah satu toko telepon genggam  di jalan raya Ngawi itu untuk membeli sim card baru. Kartu sim yang saya pakai selama ini, sangat sulit mendapatkan sinyal bila saya sedang berada di rumah. Akibatnya aktivitas-aktivitas yang memerlukan koneksi internet sangat sulit saya lakukan. Padahal, saya termasuk orang yang tergantung dengan internet. Tanpa internet hidup saya hampa, halah. Tidak seekstrem itu juga, sih. Tapi memang tanpa internet saya agak kesulitan menjalankan aktivitas sehari-hari. 

Sambil menunggu mas-mas yang sedang mengaktifkan kartu sim yang baru saya beli, kedua mata saya tergiur oleh segarnya es oyen yang sedang dibungkusi oleh si kakek penjual untuk pembelinya. Porsinya cukup besarlah, tidak terlalu sedikit. Dengan harga 5000, lebih murah seribu rupiah dari pedagang di tempat lain, saya rasa sudah cukup pantas. Kakek itu merupakan salah satu pedagang keliling yang sepertinya cukup sering berada di tempat ini. Sebabnya yang membeli cukup banyak; ada tiga orang seingat saya yang sedang antre ketika saya mengamati beliau. Kalau tidak sering berada di sini, tidak mungkin ada banyak orang yang antre. 

Namun tidak berhenti di situ mata saya jelalatan. Di samping kakek ini, ternyata terdapat pedagang asongan lainnya yang juga tengah mengadu nasib dengan berjualan banyak hal; kerupuk beras, tape, singkong, dan lainnya. Beliau mengenakan baju khas perempuan Jawa (seperti batik itu, aduh lupa namanya) berwarna biru laut. Dengan jarik cokelatnya dia duduk bersandar di pintu geser toko yang sedang tertutup. Di kepalanya terlilit sebuah kain berwarna abu-abu. Saya menduga itu adalah sebuah selendang, atau entah apa.

Kulit nenek itu sudah berwarna cokelat kehitam-hitaman. Wajahnya sudah sangat keriput, tulang pipinya sampai terlihat. Rambutnya juga sudah banyak beruban, bahkan tidak tersisa warna hitam di kepalanya. Semua rambutnya berwarna putih keabu-abuan. Bibirnya berwarna merah pucat, bahkan cenderung abu-abu hitam. Giginya sudah banyak yang ompong, tersisa sekitar empat atau lima gigi di sisi depan yang terlihat seperti tombak runcing yang sudah rapuh. Barang-barang yang ia jual di letakkan di atas sebuah kardus minuman gelas yang sudah tidak terpakai.

“Piroan mbah?” 

Ujar saya dalam bahasa Jawa Ngoko. Artinya kurang lebih berapaan Nek?. 

“Opone le?”

Balasnya dengan sedikit menyipitkan matanya sambil melihat ke arah saya. Apanya Nak, kira-kira begitu yang beliau katakan. Dia menggeser tubuhnya mendekati saya. Mungkin suara saya terlalu lembut sehingga beliau sulit mendengar apa yang saya ucapkan. 

Dengan telunjuk tangan kanan saya menunjukkan bahwa yang saya maksud adalah kerupuk beras yang beliau jual. Bukannya menjawab berapa harganya, saya malah ditanya tersisa berapa. Maka saya pun menghitung jumlah bundelan kerupuk beras yang ada. Rupanya jumlahnya sepuluh bungkus. 

“Sepuluh Mbah.”

“Oooh, sepuluh.”

Setelah itu beliau malah terdiam. Karena bingung apa yang mesti saya lakukan, maka langsung saja saya bertanya, “Sepuluh ribu Mbah?”

“Wooh, ya jangan.”

“La terus berapa Mbah?”

“Seperti biasanya. Kalau yang buat perempuan, seribu lima ratus satu bungkus. Berarti sepuluh dikali seribu lima ratus.”

“Lima belas ribu berarti ya Mbah?”

Saya baru mengerti bahwa sebenarnya nenek ini berharap saya akan membeli seluruh kerupuk beras yang ia jual. Saya berpikir, jangan-jangan memang hanya sepuluh bungkus ini saja yang ia jual. Sebab dari tali rafia yang ia gunakan untuk mengikat bungkus-bungkus kerupuk beras itu, terlihat sangat pas untuk sepuluh bungkus kerupuk. Dan tidak ada tanda-tanda ada bungkusan kerupuk yang sudah diambil sebelumnya. 

“Rumahmu di mana lo?”

“Saya? Saradan Mbah. La kalau Simbah di mana?”

“Ooh, aku Dumpil le. Sudah pernah ke sana?”

Saya tidak asing dengan kata ‘Dumpil’, namun saya lupa tempat itu ada di mana. Menurut adik saya yang lebih familier dengan daerah sekitar Caruban. Rupanya Dumpil adalah salah satu nama daerah di Balerejo. Balerejo dengan tempat ini, saya kira jaraknya lumayan jauh. Paling tidak kalau berjalan kaki bisa pegal lah. 

“Hahaha. Belum Mbah. Ya nanti kapan-kapan saya ke sana ya Mbah.”

Saya merogoh saku kanan jaket hitam saya. Ternyata hanya terdapat selembar sepuluh ribuan dan beberapa koin yang tidak terdefinisikan jumlahnya. Tidak enak karena sudah membuat beliau berharap, maka saya pun mencari-cari uang lain di dalam tas kecil yang saya bawa. Alhamdulillah, ada satu lembar lima ribuan yang sudah sangat kumal seperti wajah saya. 

“Lima belas ribu ya Mbah.”

Kemudian saya menyerahkan dua lembar uang itu. 

Oleh karena beliau tidak memastikan lagi berapa jumlah bungkus kerupuk beras yang saya beli, maka saya sendiri yang menghitung ulang benarkah jumlah kerupuk beras yang ada di hadapan saya itu berjumlah sepuluh bungkus. Satu per satu saya hitung kembali, dan untungnya tepat sepuluh sebagaimana yang saya bilang sebelumnya. Dari situ, maka saya menduga nenek yang saya hadapi saat ini juga menderita rabun. Dari bola matanya yang sudah sayu itu, memang kelopak mata hitamnya cenderung berwarna abu-abu, tidak hitam sepenuhnya. Dengan kata lain, nenek itu sebenarnya tidak tahu betul berapa jumlah kerupuk beras yang ada dan memercayakan sepenuhnya pada saya untuk menghitungnya. Waduh saya jadi khawatir, kalau-kalau saya salah menghitung, sudah pasti nenek itu akan terdzalimi. 

“Nggak beli tapenya sekalian Nak? Satu saja deh, delapan ribu gitu.”

Sekejap saya langsung menolak. Bukan karena tidak ingin membeli, namun karena saya sudah tak punya uang. Dua ratus ribu pemberian ibu sudah lenyap saya belikan bensin; kartu sim; dan headset yang harganya lumayan menguras kantong. Setelah itu kami sedikit tawar menawar; berapa saja deh, itu yang ada di kantong sini buat simbah; nggak usah ya mbah; dan seterusnya. Pada akhirnya, perdebatan saya menangkan. Hohoho. 

“Sudah itu saja ya Mbah. Saya pamit dulu.”

“Iya le. Iya.”

Dengan membawa sepuluh bungkus kerupuk beras itu saya pulang. Sementara nenek itu masih terus berjuang menunggu dagangannya laku terjual. Semoga modernisasi kota Caruban ikut pula membawa jaminan hari tua yang lebih layak bagi mereka yang saat ini kesulitan menyambung hidup. Semoga ada orang lain yang segera membeli tapemu, Nek.