curhat

Menulis di Melekin.id

21.05.00

melekin.id
Suatu ketika, di suatu sore hari, di suatu saat ketika saya sedang menghadapi sesuatu yang anu banget, sebuah pesan berintikan tawaran untuk menjadi penulis di salah satu situs terhampar di layar telepon genggam saya. Dengan jantung yang berdegup dan tangan yang gemetaran, saya pun memberanikan diri untuk mendaftar pada sosok yang sebenulnya sudah saya kenal cukup lama; walau ketika bertemu malah malu-malu sendiri. Entahlah, ada apa dengan kami.

Situs itu namanya cukup unik, melekin. Tidak perlu bersusah-susah memahami kata itu dengan menggunakan hermeneutika intensional, hermeneutika Ricour, atau mengikuti hermenutika mbah Hans-Georg Gadamer untuk memahami maksud dan filosofi dari nama situs tersebut. Singkat, jelas, padat, mungkin begitulah. Mau tau apa artinya? Silakan saja kunjungi di melekin.id.

Ngomong-ngomong, ini bukan promosi situs lo ya, mba-mba mas-mas. Memang betul saya menjadi penulis di situ, tapi ya bukan berarti tulisan saya lantas diloloskan begitu saja oleh sang empu. Malah bisa jadi saya dikritik habis-habisan karena gaya penulisan yang saya rasa sih, masih kaku namun punya prinsip. Halah. Pokoknya nggak marketable lah untuk pembaca proletar macam situ. Apalagi kalau dibaca sama kelas-kelas oligark, aristokrat, atau konglomerat. Jauh sekali. Tulisan saya bagaikan keset welcome. Ada namun diinjak-injak. Di situ saya merasa sedih.

Anyway, sebetulnya, ada kesamaan antara saya dan melekin.id. Pertama, kami masih muda. Iya, muda. Kedua, kami sama-sama eksis di dunia maya. Ketiga, kami sama-sama ingin membuat orang-orang melihat sesuatu dengan lebih berimbang. Tidak termakan provokasi dan fitnah yang acapkali membawa orang melakukan penilaian yang salah. Tidak terbawa perasaan sehingga galau tahun-tahunan. Tidak terbawa keterpaksaan sehingga melakukan sesuatu tanpa penjiwaan. Tidak terbawa ke bagasi mobil karena nanti sesak nafas. 

Tentu tidak mudah menyajikan konten yang berkualitas dan mampu memberikan informasi atau pengetahuan yang membuat pembaca menemukan sisi-sisi yang baru; berkualitas; dan tentunya bermanfaat. Apalagi di tengah persaingan global saat ini, di mana tangan-tangan kapitalis dan cengkeraman oligark sudah merasuk di mana-mana. Namun, sesuai tulisan pertama saya di situ tentang berpikir positif, saya menolak untuk berputus asa dan berharap bahwa segalanya bisa diubah. Sebab itulah saya menulis di media ini. Siapa tahu nanti saya dapat honor? Em, tapi ini sangat-sangat tidak mungkin sih, sepertinya. Betul kan Ka' Uci? :3

Saya memilih untuk percaya bahwa perubahan masih bisa dilakukan; selama kita tidak berhenti untuk melakukan sesuatu. Seperti saya misalnya; yang memilih untuk menggunakan sisa-sisa waktu saya untuk menulis di melekin.id. Kamu milih apa? Saran saya sih, coba deh baca-baca di sana. Nah, ini baru promosi.

Ya sudah, sekian dulu curahat batuk (baca: kepala) saya kali ini. Sempai jumpa di tulisan berikutnya. Sudah melek hari ini?

catatan

Koridor

19.21.00

*
Beberapa hari yang lalu, di suatu sore, saya yang belum mandi sejak pagi tidak memiliki seorang kawan pun untuk di ajak berbicara. Hanya aku dan diriku sendiri, huu. Mau mengajak ngobrol seseorang lewat media sosial, juga tidak bisa saya lakukan karena rupa-rupanya akun media sosial saya tidak bisa dibuka. Saya lupa kata kunci dan nama akun saya sendiri. Kalau dipikir-pikir lagi, di media sosial pun saya juga tidak punya kawan untuk diajak bicara sih. Sebabnya, di saat sore hari macam kemarin, saya yakin banyak orang yang sedang repot untuk menyiapkan acara tahun baruan. Maklum, walaupun saya (sedikit) tua, kawan-kawan saya (hampir) semuanya merupakan anak-anak muda yang tidak jengah juga untuk terus mengikuti tren walaupun kadang hanya sepintas saja berlalu di dalam angan, tanpa ada hikmah yang didapatkan. 

Karena tak ada kegiatan, pikiran juga sudah suntuk bila mau terus membaca Behavior Anaysis and Behaviour Modification karya Richard Mallot, Mary Tillema & Sigrid Glenn, maka saya memilih untuk jalan-jalan keliling kota. Jangan salah, saya jalan-jalan betulan lo, alias menggunakan kedua kaki saya ini untuk menyusuri setiap jengkal lahan di kota Madiun yang sudah banyak mengalami perubahan. Em, ya tidak setiap jengkal juga sih, hanya melewati beberapa jalan di kota saja. Dengan jaket hitam dan celana OSIS SMA yang masih saya pakai buat sekalipun, dan kebetulan juga sudah saya pakai lima hari berturut-turut, perjalanan sore itu saya mulai. Ada banyak hal yang saya temui di jalanan, dari kucing yang sedang mengamati manusia yang sliwar-sliwir di depannya, sampai beberapa polisi yang mengawasi dan sepertinya mencurigai saya sebagai teroris yang hendak ngebom markas polisi karena kejadian yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini.

*

Mendung memayungi saya, sore itu. Tampaknya sebentar lagi akan hujan. Namun itu tidak menghentikan saya untuk merasakan kenikmatan yang saya rasakan saat berjalan kaki. Pertama, saya bisa berolahraga dan menjaga badan ini setelah seharian penuh duduk dan tidur-tiduran. Pekerjaan saya sehari-hari memang lebih banyak berkutat dengan laptop ataupun meja tulis. Saya pun jarang menggerakkan badan saya. Dari satu jam saya duduk, paling hanya sekitar satu menit saja saya berdiri dan berjalan kaki. Semakin lama saya jadi merasa seperti pohon, batang dan daunnya hanya bergerak bila tertiup angin sementara akarnya hanya bergerak untuk mencari makan. Padahal bila tidak dijaga dengan betul, di masa tua saya yakin saya bisa mati karena penyakit komplikasi. Entah itu kanker prostat campur jantung koroner, entah itu paru-paru jebol campur multiple sklerosis, entah itu kanker kulit, panu, gagal jantung, dan gagal ginjal. Sebagai sosok yang penakut dan inginnya bahagia di masa tua, saya tidak ingin merasakan penderitaan-penderitaan semacam itu. Saya putuskan untuk banyak bergerak. Bahkan resolusi saya di tahun 2017 adalah saya harus rajin olahraga setiap hari. Entah resolusi itu akan bertahan atau tidak. Bukankah banyak resolusi yang hanya sekedar ucapan? 

Angin kota yang bertiup tidak terlalu kencang pada sore hari itu pun membuat saya terasa dimanjakan. Badan saya yang sudah berhari-hari tidak tersentuh air, serasa seperti habis minum larutan penyegar. Pikiran saya terasa sejuk, dan masalah-masalah yang sebelumnya saya pikirkan sampai beberapa helai rambut saya jadi putih untuk beberapa saat terasa ringan. Mungkin saya belum bisa menemukan solusi saat itu juga. Namun bila otak saya rileks dan tenang seperti itu, berpikir menjadi lebih mudah dan jiwa juga bisa lebih optimis menatap masa depan, halah. Di tambah dengan jalanan kota yang sudah mulai sepi, saya bisa menikmati keheningan lebih dalam, seolah-olah keheningan sore itu memeluk saya dari belakang. 

Saya pun menyadari, ada pula keuntungan berjalan kaki lainnya. Kita jadi lebih leluasa dan lebih jeli mengamati jalanan yang kita lalui. Sungai yang saya kira kotor karena airnya cokelat dalam sekilas pandang itu, ternyata di dalamnya terdapat ikan-ikan kecil yang menari-menari mengikuti arus air. Walaupun berwarna cokelat, masih saja ada ikan yang bisa hidup, rupanya. Apa memang biasanya seperti itu? Saya pun tidak mengerti. Mungkin ikan-ikan itu sebagaimana beberapa orang jaman sekarang. Mereka terus menerus mencari rezeki di tengah impitan hidup. Kalau tidak dimakan ikan yang lebih besar, mereka bisa mati karena tidak kebagian udara.

Selain itu, ternyata arus sungai di sekitar jalan Setia Budi ini lumayan deras walaupun volumenya sedikit. Di pojok bawah jembatan banyak sampah yang entah kapan akan dipindahkan oleh dinas kebersihan. Saluran air kotor atau got bawah tanah yang selama ini saya kira tidak lagi digunakan ternyata sudah ditempati oleh para tikus yang tergusur dari kantor. Dan di tengah itu semua, Kota Madiun sudah semakin ramai dengan orang-orang dan industri, namun semakin sepi dari anak-anak kecil yang main bola sepak di tanah lapang seperti saya dulu. Yah, tapi masa lalu memang masa lalu. Saya harus bisa move-on dari kenangan indah waktu SD saat menendang bola sampai berhasil masuk ke rumah orang waktu mereka sedang masak, misalnya. Walaupun saya sangat ingin anak-anak saya kelak bisa main bola tanpa harus masuk stadion.

*

Karena jalan-jalan kemarin itulah, saya baru tahu bahwa saluran air di pinggir jalan dekat markas brimob itu memiliki dua tingkatan. Yang paling bawah adalah saluran untuk mengalirkan air dari barat ke timur, atau sebaliknya. Jadi semacam sungai kecil begitulah. Kebetulan saat saya lihat kemarin, tidak ada air yang mengalir, justru tumbuh rindang rumput-rumput dan lumut-lumut di sepanjang saluran. Sementara di pinggir saluran itu terdapat bangunan semacam dinding yang tampaknya menjadi tempat mengalirnya air yang datang dari seberang jalan sebelum ikut dalam arus lapisan yang paling bawah itu. Tidak ada lapisan yang menutupinya, karena itulah saya bisa berjalan di dalam got tersebut. Lumut yang berwarna hijau gelap dan jaring laba-laba banyak sekali di sana. Lubang-lubang yang terdapat di lapisan kedua itu sepertinya akan menjadi saluran mengalirnya air dari saluran di seberang jalan. Atau bisa jadi sebaliknya, saluran itu adalah tempat mengalirnya air menuju sungai bila debit air yang masuk sudah terlalu besar dan tidak dapat lagi di tampung di saluran kecil itu. 

Sembari berjalan di tengah got itu, mata saya terpikat akan pemandangan para (sepertinya) polisi yang tengah bermain sepak bola. Diam-diam saya kepingin merasakan sensasi menendang bola dan menjebol gawang, atau menepis tendangan dari lawan lagi. Jangan salah, dulu-dulu saya termasuk pemain sepakbola yang ahli dalam berlari. Ya, berlari saja, lainnya saya tak ahli. Dari jauh, di sebelah timur, empat orang petugas tampak mengamati saya. Saya pun segera melanjutkan perjalanan agar tidak dicurigai sebagai orang yang tidak-tidak. Singkatnya saya pun lolos dari kecurigaan mereka setelah melenyapkan diri saya dari tempat itu, untuk menuju sebuah jalan kecil yang letaknya tak jauh dari situ. 

*

Kaki saya terus berjalan; dan mata saya terus memandang sekeliling. Kabel dan tiang pancang rupanya kian banyak; dinding-dinding bangunan sering membuat saya tak bisa memandang lebih dari 20 meter. Semoga pandangan hati saya tidak sependek itu, sehingga saya buta akan kearifan yang dulu sempat kami tinggalkan. Semoga selalu ada koridor-koridor yang masih terbuka sebagai jalan kembali pada keheningan di tengah hiruk pikuk jaman ini.