catatan

Tentang Translusens

16.04.00




Ini adalah catatan pribadi, curahan hati tentang mengapa saya menulis novel, bagi pemirsa yang merasa mual-mual silakan pergi ke toilet, ambil air secukupnya dan segera basuh muka anda. Bacaan ini untuk kalangan dewasa yang sudah pernah lihat Kotaro Minami menempeleng lawan-lawannya di Ksatria Baja Hitam di R*tiit*CTI kalau nggak bener. Membaca tulisan kali ini, yang jauh dari tatanan ilmiah dan penuh dengan ekspresi simbolis tentang perasaan, mungkin membuat kedewasaan Anda akan terkoyak-koyak.

Sudah diperingatkan masih lanjut baca aja? Yo wes karepmu. Silakan saja dibaca.

*

Saya memang suka menulis, apalagi menulis kisah denganmu *mu yang dimaksud adalah game Assasins Creeds, jangan salah paham yak.

Saya juga suka minum larutan penyegar cap kaki unta. Dibandingkan tetangga sebelah dia lebih jago membuat saya merasakan sensasi dinginnya Madinah dan Mekkah waktu musim dingin, berasa ditiup angin tornado waktu perang Khandaq.

Di masa SMA saya termasuk anak yang ambisius. Sedikit-sedikit pengen menjadi orang yang punya prestasi. Dan suatu ketika saya putuskan bahwa saya ingin meraih prestasi yang tidak mungkin orang bisa menyaingi dan yang paling mudah untuk didapatkan walaupun sangat sulit untuk tetap bertahan; yakni menjadi orang yang paling tidak punya prestasi. Itulah prestasi yang ingin saya raih. Gimana, keren to?

Berangkat dari keinginan terpendam itu kemudian saya mewujudkannya pada aktivitas saya di kelas. Tapi semua berubah sejak seorang anak perempuan, salah satu anak guru yang paling pintar di sekolah saya, tiba-tiba mengajak saya mengikuti lomba. Melihat kesempatan untuk piknik itu, saya pun mengiakannya. Masak untuk ikut lomba futsal saja saya relakan untuk bolos, la ini demi seorang adik kelas yang pinter dan ingin mendapatkan sertifikat lomba supaya diterima di perguruan ternama, masak iya saya tolak? Big No lah!

Jadi saya ikut lomba, dengan otak pas-pasan model Einstein waktu masih di sekolahnya, dan mungkin juga seperti Altair waktu masih latihan jadi assasins, membantu adik kelas yang jelas berada di level atas. Mungkin saya pion, bermain sebagai korban, sementara dia adalah sang ratu, yang punya kebebasan ke mana-mana dan menghancurkan dengan mudah, huhuhu. Tega nian kau peras otakku yang rapuh ini Dik, duh. Untung kau adikku, kalau kakakku pasti kau bukan adikku. Hmm.

Nah dari situ saya mulai merasakan namanya pencerahan eksistensial. Bahwa memiliki pencapaian itu adalah yang membuat saya bergairah, tahu hari ini dan hari esok mau ngapain, tau apa yang harus saya persiapkan, tau untuk apa nanti saya akan dikenang. Maka, atas nama saya sendiri, dengan itu saya menyatakan keinginan saya untuk membuat prestasi yang bagi saya meaningful. Hal-hal mengenai pemindah-alihan karakter dan kepribadian yang bersifat ideologis sampe tingkat suprastruktur dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnja. 

Lalu kenapa harus menulis? Jujur, karena saya sejak kecil sering membaca sastra. Walaupun bukan sastra-sastra tingkat dewa. La wong sastra tingkat kopral saja saya belum sempet, mungkin ya sastra kelas teri yang digoreng dengan abon sedikit lah. Tapi dari situ saya menyukai bagaimana mempermainkan perasaan orang dan menyampaikan apa yang ingin kita rasakan melalui sebuah ungkapan metafisis yang menarik hati- bagi yang tidak paham tidak usah dipahami segala, udah baca aja pokoknya. Leh, masih mencoba memahami? Dasar murid nakal. 

Saya suka bercerita, saya suka menulis. Saya tidak suka ngomong di depan publik karena khawatir dilempari sama penonton karena wajah saya yang kata seseorang bagaikan tlundakan (semacam tekstur suatu lapisan tanah yang berpola meninggi, atau gampangannya gundukan gitu deh) yang minta diratakan. Walaupun bila disuruh ngomong pun ya saya mau bagaimana lagi, harus mengikuti kehendak pasar.

Maka saya tulis saja sebuah novel yang akan mau tak mau mendorong saya untuk belajar sabar, belajar pengetahuan untuk mengembangkan alur, dan juga belajar untuk membagi waktu *cieh.

Translusens memberikan waktu bagi jiwa saya untuk berusaha menyampaikan gagasan melalui narasi yang membutuhkan imajinasi dan juga keindahan. Saya ingin mencapai hal itu; walaupun mungkin terkesan seperti saya mecukil (lepas dari jalur) dari perkuliahan yang sebenarnya nggak ada hubungannya sama sastra, hahaha. But, tapi, namun, saya memang memosisikan sastra sebagai keterampilan untuk mengasah keterampilan saya dalam bidang tertentu saja, bukan sebagai bidang yang saya kejar untuk menjadi expert. Prosa, puisi, ataupun yang lain, hanya menjadi gunting saya untuk memotong dan merapikan taman, sementara yang utama adalah geraji, sekop, dan lain-lain. Well, inilah jawaban saya untuk diri saya yang lain.

Sehingga lahirlah Translusens, novel kolaborasi saya dengan beberapa orang yang gemar mengkritik dan nggruseni supaya saya menulis di hal-hal lain. Nah jadi gitu, sudah mual pemirsa?

*

Surabaya, 31 Agustus 2016.