kritik

Seksualisasi Perempuan

19.46.00

Istilah seksualisasi, sejauh yang penulis ketahui, sampai saat ini masih belum ada dalam perangkat lunak kamus bahasa Indonesia yang biasa digunakan penulis untuk mengetahui arti kata dalam bahasa Indonesia yang artinya masih belum penulis ketahui. Jika dicari di Mbah Google, istilah seksualisasi juga terlihat belum familier. Ketika mengetik tentang “seksualisasi”, kata seksualitas justru menjadi kata yang banyak muncul di halaman pencarian. Barangkali, lebih tepat bila menyatakan istilah ini menggunakan istilah bahasa Inggrisnya, sexualization[1]. Istilah ini berasal dari kata seksual, yang ditambahi dengan partikel tambahan “-isasi”. Jika mencari kata-kata lain yang berpola seperti ini dalam bahasa Indonesia, kita dapat menemukan kata-kata seperti “aktualisasi”, “internasionalisasi”, “internalisasi”, atau istilah “isasi-isasi” lainnya yang dapat kita maknai sebagai proses, cara atau perbuatan melakukan sesuatu yang disebutkan dalam kata dasar (tanpa ada -isasi) yang ada dalam kata tersebut. Sehingga, “seksualisasi perempuan” dapat kita artikan sebagai proses, cara, perbuatan, menggunakan perempuan sebagai objek seks. Penerjemahan singkatnya, dapat kita lakukan seperti itu.

Setiap proses, cara, atau perbuatan, pasti memiliki tujuan atau hasil akhir yang ingin dicapai setelah melalui runtunan proses yang telah berlangsung. Mari kita ambil satu contoh. Internalisasi, misalnya, hasil akhir yang diinginkan dari proses meng-internalkan itu adalah “masuknya” sesuatu itu ke dalam kesadaran diri kita, atau dalam bahasa yang lain, “merasuknya” sesuatu dalam diri kita setelah proses itu berlangsung. Silakan pembaca abstraksikan kata-kata lain, dan mencari tujuan apa yang ingin dicapai, untuk membantu memperjelas akan hal ini. Hal yang sama juga berlaku pula untuk istilah “seksualisasi” ini. Lalu, apa tujuan dari seksualisasi itu sendiri? Tidak lain, adalah untuk menimbulkan gairah ketertarikan melalui objek seks, berhubungan dengan jenis kelamin, atau dorongan nafsu yang kita miliki. Seperti itu, untuk membantu memperjelas tujuan dari proses ini. Sehingga, secara sederhana, dapat kita definisikan bahwa seksualisasi perempuan adalah usaha untuk menjadikan perempuan sebagai objek untuk menimbulkan gairah atau ketertarikan secara nafsuwiyah. Jika ingin mengatakannya secara lebih gamblang, tindakan ini adalah apa yang “kita”, baik laki-laki, perempuan, media, atau seseorang yang lain, lakukan terhadap kaum perempuan untuk menggunakan perempuan sebagai objek seksual untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Pembahasan mengenai seksualisasi perempuan menjadi penting untuk kita bicarakan oleh karena beberapa hal. Pertama, terjadi ketidaksadaran pada kaum perempuan mengenai apa yang terjadi pada diri mereka di ruang publik, bahwa fisik mereka telah dieksploitasi untuk kepentingan pihak tertentu. Kedua, telah terbentuk persepsi sosial pada kaum perempuan mengenai bagaimana perempuan seharusnya tampil, berdandan, atau terlihat menarik, yang semuanya menekankan pada dimensi fisik semata. Ketiga, perempuan hanya akan dilihat sebagai objek, yang kemudian membuat orang lain menjadikan perempuan sebagai “benda” yang dapat digunakan sesuka hati si pemiliknya.

Dalam status quo dewasa ini, praktek-praktek seksualisasi, sering kali terjadi pada berbagai iklan yang nongol di media massa[2]. Iklan sabun kulit atau sabun rambut misalnya, cenderung menampilkan perempuan yang berkulit putih, berambut halus, bermata indah (fisik, of course) dan seterusnya, untuk menarik pembaca atau lawan tutur, khususnya perempuan, untuk membeli produk tersebut. Tapi tidak hanya saat itu, secara kritis sekaligus curiga, kita bisa menuduh promosi-promosi mengenai produk tertentu yang menyediakan sales promotion girls sebagai “tambahan” dalam penjualannya, juga telah melakukan praktek seksualisasi itu sendiri. Tujuannya, untuk menarik pembeli laki-laki agar mau menghampiri standnya, dan kemudian menawar produk yang mereka jual atau jika berhasil, membelinya. Kita dapat mencurigai bahwa itu semua, semata karena ketertarikan terhadap perempuan yang sengaja disetting untuk menarik pembeli tadi, bukan karena kualitas produk yang dijual. Jelas bahwa banyak orang yang menuju ke stand itu bukan untuk melihat produk semata, tapi juga cuci mata. Semakin tampak bahwa praktek seksualisasi ini memang disengaja, mau tidak mau, sebagian untuk tujuan-tujuan tersebut. Ironisnya, dalam banyak berita di media massa, yang secara definitif seharusnya menghadirkan fakta-fakta objektif di lapangan tanpa melibatkan unsur subjektivitas jurnalis dalam berita yang ditampilkan, juga tidak luput dari praktek seksualisasi. Berita mengenai “gadis cantik dibunuh X”, “guru cantik ini mengajar dengan sabar lho!”, “pramugari cantik salat di pesawat!”, dan berbagai judul berita lain yang bernada serupa, dapat ditangkap mengandung tendensi untuk mengarahkan pembaca fokus pada istilah “cantik” dan bukan pada fakta apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga, dapat dimaknai di sini bahwa untuk menarik perhatian pembaca terhadap berita-berita itu, ditambahkan unsur seksualitas untuk menarik para pembaca. Dan apa artinya? Perempuan telah menjadi objek seks, pada tahap itu. Seksualisasi perempuan, tidak berhenti hanya sampai di situ. Pada tingkat tertentu, tindakan tersebut juga digunakan untuk mengonstruksi makna kata “cantik” agar para perempuan mengikuti mainstream yang dibawakan oleh awak media. Pelekatan kata cantik dengan figur seorang perempuan yang berkulit putih, berwajah manis, berambut hitam yang lurus dan lembut, serta lain sebagainya, menimbulkan persepsi bahwa “cantik” adalah apa yang ditampilkan seperti figur itu. Akibatnya, krim pemutih laris terjual, perawatan kecantikan tumbuh subur, dan ironisnya adalah semua itu pada akhirnya hanya diukur dari segi fisik, yang tentunya tidak bisa tidak dijauhkan dari seksualitas. Praktek ini begitu masif dan dampaknya dapat kita lihat di kehidupan kita sehari-hari. Konstruksi makna cantik yang terus berlangsung, hari demi hari kian dekat dengan seksualitas. Apakah istilah “cantik” merupakan salah satu bentuk konstruksi sosial yang menjadikan perempuan hanya sebatas objek seksual?

Praktek yang berbeda kita lihat pada bagaimana laki-laki ditampilkan dalam ruang publik. Karakter-karakter pahlawan, seperti Superman, atau Batman, atau Kabayan, misalnya ditampilkan dengan memakai baju atau pakaian yang menampilkan kesan sebagai tokoh yang kuat, memiliki kecintaan tinggi terhadap keadilan, memberantas kejahatan atau yang selainnya. Sementara, pahlawan perempuan, semacam Wonderwoman[3] misalnya, ditampilkan dengan menggunakan baju yang justru menampilkan kesan sensual yang menarik secara fisik. Tentunya, jika dipahami lebih jauh, seolah ini tidak berhubungan sama sekali dengan gambaran Wonderwoman sebagai pahlawan perempuan. Apakah pahlawan harus memakai pakaian yang menampilkan gambaran seksual seperti itu? Adakah keselarasan antara hal itu dengan siapa dirinya sebenarnya? Atau, mengapa pakaian seperti itu yang ditampilkan olehnya? Mengapa bukan pakaian yang lain? Pertanyaan-pertanyaan ini, yang akan mengarahkan kita pada tahap kecurigaan yang lebih jauh bahwa praktek tersebut, tidak lain adalah juga merupakan usaha seksualisasi terhadap perempuan. Ibaratnya, “Walaupun kamu seorang pahlawan, kamu tetap seorang perempuan, kamu harus tetap tampil seksi, dong!”

Tidak ada pada ranah pahlawan super saja, namun seksualisasi juga telah merambah dunia game, yang kita ketahui bersama, merupakan dunia yang cenderung banyak diikuti oleh generasi muda dan generasi kecil kita. Studi yang dilakukan oleh Elizabet Behm-Mohrawitz dan Dana Mastro dengan mengutip Beasley dan Standley (2002), Dietz (1998), Glaubke et al. (2001), Ivory (2006), Miller dan Summers (2007) menuliskan bahwa dalam karakterisasi perempuan dalam video game, analis konten mengindikasikan bahwa perempuan sering kali di “hypersexualized” (seksualisasi dengan tinggi) ketika digambarkan.[4]

Disadari atau tidak, praktek seksualisasi, yang secara implisit juga merupakan praktek menganggap perempuan hanya sebagai sebuah objek yang dapat digunakan untuk tujuan tertentu, memberikan dampak negatif bagi perempuan itu sendiri. Pertama, terjadi pandangan umum atau bahkan konstruksi sosial yang tidak disadari bahwa perempuan yang cantik, ideal, dan menarik itu adalah “seperti itu”. Berkulit putih, langsing, dan seterusnya, yang kemudian mengabaikan atau sengaja merendahkan porsi intelektualitas dan kemampuan gagasan yang dimiliki oleh perempuan. Kedua, perempuan menjadi “objek garapan” baru bagi para businessman, untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan produk-produk kecantikan fisik yang dianggap menjadi jalan bagi para perempuan untuk menjadi sosok yang ideal, sebagaimana dikonstruksikan oleh media. Akhirnya, mayoritas kaum perempuan akan berusaha untuk tampil sebagaimana dinginkan oleh banyak pihak tentang dirinya, harus cantik, menawan, dan menarik, yang membuat dirinya justru melupakan potensi terbesar yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup yang bernama manusia, intelektualitas.

Untuk itu, para perempuan harus menyadari hal ini dan mereka harus berani mengembangkan potensi yang mereka miliki, dan memilih untuk tidak mengejar “kecantikan” fisik yang ternyata membuat dirinya justru menjadi objek seksual bagi orang lain. Apa yang harus diperjuangkan adalah kesadaran bahwa perempuan memiliki peran yang besar, menjadi cantik atau menawan secara fisik tidak akan mengembangkan potensi yang mereka miliki secara inheren. Tidak ada tokoh sejarah yang dikenang sepanjang zaman karena fisiknya yang diukur dalam standarisasi cantik atau menawan. Mereka yang dikenang dalam sejarah, adalah orang-orang yang mengembangkan intelektualitas mereka sampai batas maksimal untuk apa yang mereka yakini akan memberikan kebaikan bagi orang-orang yang mereka cintai, atau pada The Divine Being yang mereka nanti perjumpaannya. Untuk itu, selayaknya perempuan harus sadar, bahwa mereka adalah manusia yang memiliki potensi yang besar, dan tidak hanya terbatas pada dimensi fisik saja. Itulah yang harus diperjuangkan, kesadaran kritis atas apa yang terjadi pada kaum perempuan, harus dibangkitkan. Oleh karena, perempuan itu, bukan sebatas objek seksual semata.



[1] http://www.merriam-webster.com/dictionary/sexualize
[2] Studi mengenai praktek seksualisasi dalam media massa telah banyak dilakukan. Lihat misalnya, dalam http://www.buffalo.edu/news/releases/2011/08/12769.html, yang menemukan bahwa penggambaran perempuan dalam media populer telah meningkat ke arah seksualisasi, bahkan “pornofikasi”.  
[4] Elizabet Behm-Mohrawitz, Dana Mastro. “The Effects of the Sexualization of Female Video Game Characters on Gender Stereotyping and Female Self-Concept”.
Diakses melalui http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11199-009-9683-8#page-1