catatan

Hidayah

13.11.00

id.wikipedia.org

Saat SMA, suatu ketika saya pernah berbincang dengan seorang teman. Katanya waktu itu, dia ingin berubah, menjadi seseorang yang lebih baik. Tak tahu saya apa yang menghampirinya waktu itu, mengingat teman saya ini, layaknya teman-teman saya yang lain, dan juga seperti saya sendiri, agak nggak bener tingkahnya. Mungkin ada beberapa bagian sel otaknya yang lambat diregenerasi, atau mungkin ada sinapsis yang putus dan selubung mielin yang terbuka di antara sel-sel otaknya sehingga dia gagal menghubungkan data dengan seharusnya.

Teman saya itu suka menyanyi-nyanyi dengan keras di depan kelas waktu jam pelajaran kosong, dia punya teman khayalan, seperti ‘Samirin’, teman gelembung, dan seterusnya. Kadang kala dia juga bercanda sampai di luar batas dengan orang tuanya sendiri. Maka tak pelak, ketika dia bilang begitu, sisi nyinyir saya tampak kaget. Ini anak kenapa kok tiba-tiba ngomong begini? Tapi di sisi lain saya juga merasa senang, akhirnya berkurang satu orang jiwa-jiwa yang tersesat di kelas saya waktu itu.
Namun perkataan berikutnya membuat saya harus menarik kembali harapan yang telah pupus.

“Tapi tunggu hidayah dari Tuhan dulu.”

*

Tidak sekali saja saya dikecewakan oleh seseorang. Dan tidak sekali pula saya mengecewakan orang lain.

Tapi dalam kesempatan ini, mari kita fokus dulu pada kekecewaan saya.

Tidak sedikit sebenarnya, orang-orang yang menggunakan kata hidayah itu untuk ‘mempertahankan’ perilaku-perilakunya yang bikin sebel orang lain. Misalnya saja saya, selalu menggunakan kata tersebut ketika teman saya bertanya, ‘Kapan kau tobat dari menghutang tanpa mengembalikan Bim?”

“Aku menanti hidayah Tuhan, bro.”

Sambil mengeluarkan air mata dari kedua mata yang kata seseorang indah ini (baca: diri sendiri waktu bercermin), saya  memegang pundak sahabat saya itu, lalu berlutut seolah-olah meminta ampunan pada Tuhan. Dan berikutnya selalu mudah tertebak, dengan rasa sebal yang ditahan dan dengan berbesar hati, dia mengatakan pada saya, “Ya sudah, sudah, cukup sudah.” Mungkin dalam hati dia juga berkata bahwa sakitnya dia itu di sini.

Dari kejadian itu saya jadi penasaran untuk mengetahui apa sebenarnya hidayah itu. Sebab bila tidak diluruskan, seolah-olah untuk menjadi baik itu harus menanti instruksi dulu dari Tuhan. Bila diperdalam, seolah-olah Tuhanlah yang menghendaki apakah seseorang itu jadi baik atau buruk. Dan bukan manusia yang menanggung perilaku yang dia lakukan itu, sebab bila Allah ingin dia baik, ya pasti dia memberikan hidayah to? Padahal saudara-saudara, perilaku seperti ini, pernah dilakukan oleh orang-orang Quraisy yang menantang dakwah Muhammad saat di Mekkah, dengan maksud untuk menantang Allah dan Rasulnya. Apa respons Allah? Woho, silakan liat di Al Qurang, bagaimana Allah mengecam dan mencela orang-orang itu.

Sebenarnya dari pernyataan itu secara implisit juga ada anggapan bahwa hidayah merupakan sebuah bentuk perilaku Allah untuk mengubah kondisi hati atau jalan hidup manusia agar menuju pada kebaikan. Oleh karenanya mereka menunggu hidayah Tuhan, dalam arti menunggu tindakan Allah untuk mengubah keadaan mereka yang katakanlah masih berada dalam keburukan menjadi baik. Apakah betul demikian? Menurut saya tidak. Masalah inilah yang akan saya angkat pada tulisan ini. Bagi yang sudah agak pusing silakan menepi sebentar, supaya tidak bertambah pusingnya. Jangan lupa makan ya? *Kok nyambung ke sini?

Nah sekarang kembali ke hidayah lagi. Sebenarnya, ketika saya mengok kamus besar Bahasa Indonesia, pengertian hidayah itu seperti ini.
Hidayah (n), petunjuk atau bimbingan dari Tuhan.
Dari sini ada satu hal yang kita tahu bahwa hidayah merupakan sebuah petunjuk atau bimbingan, namun subjek yang memberikan hal ini, spesifik yaitu Tuhan. Artinya, petunjuk atau bimbingan yang tidak datang dari Tuhan tidak dapat disebut sebagai hidayah. Jadi misalnya temanmu memberikan petunjuk tentang bagaimana memasak risoles yang baik dan benar, itu tidak dapat disebut dengan hidayah. Baru misalnya bila kita mendapatkan petunjuk masak risoles langsung dari Allah, itu bisa disebut dengan hidayah.

Mari kita perdalam. Karena hidayah adalah petunjuk atau bimbingan dari Tuhan, apakah petunjuk atau bimbingan itu sebenarnya?

Petunjuk menurut mbah kamus lagi artinya adalah:
1. sesuatu (tanda, isyarat) untuk menunjukkan, memberi tahu, dan sebagainya:
Dalam pengertian pertama ini makna ‘petunjuk’ dekat dengan sebuah tanda atau isyarat, di mana isyarat atau tanda itu berfungsi untuk menunjukkan, memberi tahu, atau yang lain. Artinya, petunjuk adalah sesuatu berupa tanda atau isyarat yang bila kita lihat atau kita tahu akan mengantarkan kita pada sebuah pengetahuan yang diwakili dari sesuatu itu. Misalnya penggunaan kata ‘petunjuk’ dalam pengertian pertama ini adalah pada kalimat seperti ini.

Lampu-lampu di lapangan itu dipakai sebagai petunjuk pesawat terbang yang akan mendarat pada malam hari.

Kata petunjuk dalam kalimat di atas merupakan keterangan fungsi dari kata ‘lampu-lampu di lapangan itu’. Artinya, lampu-lampu di lapangan itu memiliki sebuah makna yang dapat dipahami bagi pesawat terbang yang akan mendarat di lapangan tersebut, seperti menjadi tanda batas lebar lintasan, panjangnya, dan lain sebagainya sehingga pesawat itu dapat mendarat dengan aman.
2. ketentuan yang memberi arah atau bimbingan bagaimana sesuatu harus dilakukan; nasihat;
Pada pengertian yang kedua ini kata ‘petunjuk’ lebih dekat pada pengertian pengetahuan mengenai bagaimana kita melakukan sesuatu hal. Misalnya kalau kita sedang masak nasi goreng lalu kita lihat buku resep, di sini buku resep tersebut berfungsi sebagai ‘petunjuk’, atau sebuah buku yang mengandung ketentuan mengenai bagaimana kita harus memasak nasi goreng itu. Atau misalnya bila kita sedang masak nasi goreng sambil di awasi Ibu kita, dan beliau berkata, “eh minyaknya kurang itu, seharusnya kamu tambahi biar enak Dek”. Nah, perkataan Ibu itu juga merupakan sebuah ‘petunjuk’, dalam arti bisa menjadi nasihat atau bimbingan yang beliau berikan pada kita untuk memasak nasi goreng itu.
3. ajaran
Dalam pengertian ketiga ini, kata “petunjuk” lebih dekat pada makna ajaran, atau sebuah pengetahuan normatif tentang bagaimana kamu harus hidup, apa yang harus kamu lakukan, apa yang harus kamu cita-citakan, dan seterusnya. Misalnya adalah “petunjuk Tuhan” yang dapat berarti ajaran dari Tuhan.
4. tuntunan; ilham
Nah di sinilah uniknya. Pada pengertian ini kata petunjuk lekat dengan ilham, yang dalam makna kamusnya adalah petunjuk yang timbul di dalam hati manusia. Saya menduga kemungkinan besar inilah yang seringkali menjadi alibi untuk mempertahankan perilaku yang kita lakukan. Kita merasa belum muncul petunjuk dalam hati kita untuk berubah. Namun untuk tulisan kali ini, akan saya fokuskan pada tiga pengertian di atas, sementara untuk pembahasan ilham ini saya akan mengalokasikan waktu dan tulisan tersendiri untuk membahasnya. Oke, deal ya?

Sejauh ini maka secara besaran ada tiga makna kata petunjuk yang bisa disimpulkan. Yaitu petunjuk yang merujuk pada sebuah tanda atau isyarat, petunjuk yang merujuk pada suatu bimbingan atau ketentuan atau nasihat mengenai bagaimana melakukan suatu hal, dan petunjuk yang bermakna ajaran.

Dengan demikian, maka ‘hidayah’ dapat kita maknai sebagai sebuah tanda atau isyarat, bimbingan atau ketentuan atau nasihat mengenai bagaimana kita melakukan sesuatu, serta ajaran yang berasal dari Tuhan.

Dari sini sudah jelas bahwa hidayah itu bukan perilaku.

Oke baiklah, tapi itu menurut saya masih kurang untuk menjawab ‘tunggu hidayah dari Tuhan’, karena artinya dia sedang menunggu adanya tanda atau isyarat, bimbingan atau nasihat mengenai bagaimana kita melakukan sesuatu atau ajaran yang berasal dari Tuhan. Pertanyaan berikutnya yang akan saya ajukan oleh karenanya adalah, apakah iya hidayah dari Tuhan itu memang belum datang pada manusia, atau bila sudah datang apakah ia hanya berlaku untuk satu orang tertentu atau dapat berlaku bagi semua manusia?

Ada satu pendekatan yang akan saya gunakan untuk menjawab masalah ini. Yaitu merujuk pada kitab ajaran agama yang datang pada kita. Oleh karena saya seorang muslim, saya akan melihat Al Quran.
Adakah petunjuk yang datang pada manusia?








Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Al Baqarah:2)

Dari ayat ini dapat diketahui bahwa Kitab yang dijelaskan, atau yang dibacakan kepada Muhammad pada waktu turunnya merupakan sebuah petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Artinya kitab Al Quran itu merupakan sebuah tanda atau isyarat, bimbingan atau nasihat atau ketentuan mengenai bagaimana kita melakukan sesuatu serta ajaran dari Allah untuk orang-orang yang bertakwa atau mereka yang muttaqiin.






Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (Al Baqarah:5)

Pada ayat ini dapat diketahui bahwa orang-orang yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu pada ayat 1 sampai 4 merupakan orang yang tetap mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Artinya orang-orang yang demikian (mereka yang percaya pada apa yang tidak terlihat, melaksanakan salat, dan seterusnya) tetap mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Artinya bila kita ingin mendapatkan petunjuk dari Tuhan, berdasarkan teks ini, maka kita juga perlu menjadi orang-orang yang disebutkan pada ayat ini.






(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (Ali ‘Imran:138)

Dari ayat ini dapat diketahui, bahwa Al Quran (dalam penafsiran) adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Memang secara teks Al Quran adalah sebuah penerangan bagi seluruh manusia. Namun menurut saya sendiri, kata 'penerangan' bermakna sebuah kiasan. Sebab Al Quran secara materiilnya bukanlah sesuatu yang mampu menghasilkan cahaya untuk menerangi kegelapan, misalnya. Sehingga makna kata penerangan ini tentunya merupakan makna konotatif atau kiasan. Apa yang dirujuk dengan kata ini, menurut saya juga tidak berbeda jauh bahwa Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh manusia. Ada yang menarik sebenarnya, mengapa Allah menjelaskan Al Quran untuk seluruh manusia adalah 'penerangan', sementara bagi mereka yang bertakwa disebutkan sebagai 'petunjuk' dan 'pelajaran'. Namun saya tidak akan membahas hal itu di sini.





Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia (Ali ‘Imran:96)

Dari ayat ini dapat diketahui bahwa Baitullah atau lebih tepatnya Ka’bah dalam bahasa kita sekarang ini juga menjadi petunjuk yang diberikan bagi semua umat manusia.





Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Yusuf:112)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang mencantumkan kata huda/hudan (petunjuk), dan seterusnya.[1]
Sejauh ini pertanyaan apakah datang petunjuk pada manusia, sudah terjawab. Dalam beberapa ayat juga sekaligus dijelaskan bahwa petunjuk itu adalah untuk mereka yang bertakwa, beriman, dan lain sebagainya. Namun ada pula petunjuk yang berlaku untuk manusia secara umum, seperti pembangunan kakbah.

Bila dicari dengan kata kunci 'tanda' atau isyarat', maka kita juga dapat menemukan bahwa Allah telah memberikan tanda bagi manusia di luar hal-hal yang telah disebutkan di atas. Misalnya terlihat dari ayat ini,

Already there has been for you a sign in the two armies which met - one fighting in the cause of Allah and another of disbelievers. They saw them [to be] twice their [own] number by [their] eyesight. But Allah supports with His victory whom He wills. Indeed in that is a lesson for those of vision. (3:13)

Ayat ini menunjukkan adanya tanda pada pertemuan dua pasukan yang saling bertarung. Tanda di sini dalam pandangan saya merujuk pada bantuan Allah dalam bantuan yang diberikan oleh Allah dalam pertempuran yang dialami oleh umat Muslim pada waktu itu. Melihat dari kronologis dan sejarah, ayat ini kemungkinan besar turun di masa sekitar perang Uhud. 

Atau, 


And how many a sign within the heavens and earth do they pass over while they, therefrom, are turning away. (12:105)

Ayat ini lebih bermakna umum, maksudnya tanda di sini dijelaskan oleh Allah tersebar di antara langit dan bumi, di mana pada ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang melihat tanda-tanda itu setelah melewatinya berpaling ke belakang. 

Dari sini hidayah itu kita identifikasi dalam berbagai bentuk (sejauh data yang saya paparkan), yaitu:
  • Al Quran
  • Tanda yang tersebar di antara langit dan bumi
  • Pertolongan Allah (pada kaum muslim yang berperang)
  • Kakbah 
Bila ditelusuri dalam ayat-ayat yang lain, saya meyakini kita akan menemukan bentuk-bentuk hidayah yang lebih banyak lagi. 

Dari beberapa penelusuran di atas dapat saya menyimpulkan bahwa hidayah Tuhan itu sudah tersedia di sekitar kita. Artinya, kita sudah tidak perlu lagi menunggu adanya 'hidayah' itu. Sebab hidayah itu sendiri sudah tersebar di sekitar kita. Dengan demikian, tanggung jawab untuk mengubah perilaku kita, dengan demikian, ada pada diri kita sendiri. 

Saya meyakini bawa selama pintu hati kita masih kita buka, sekali lagi, masih kita buka, kesempatan untuk berhijrah ke jalan yang lebih baik selalu tersedia.

Sebab hanya mereka yang ‘tuli’, ‘bisu’, dan ‘buta’ yang tidak dapat kembali. Ada pula ayat yang menyebutkan tentang ‘tertutupnya pintu hati’ yang kemudian membuat manusia tidak dapat memahami jalan yang benar.

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ 
(Al Baqarah, 18) 


Lalu bagaimana dengan hidayah sebagai ilham? Tunggu tulisan berikutnya.


[1] Lebih lengkapnya teman-teman bisa melihat di http://corpus.quran.com/search.jsp?q=guidance, atau bisa juga silakan dilihat di Al Quran masing-masing. 

cerpen

Serial Sudarmardi #1 - Adimas Kanjeng

09.40.00

Darmadi, pria 30 tahun berkacamata dengan gigi geraham yang sudah berlubang itu nampak gusar. Dibolak-baliknya lembar koran pagi yang dia baca itu dengan cepat. Bukan karena klub bola kesayangannya kalah sehingga ia gusar; namun headline koran itu yang membuatnya berkeringat sedari pagi. ‘Adimas Kanjeng Pengganda Uang dari Desa Sukadunia’, begitu tulisan yang terpampang di halaman depan koran itu.

“Kenapa sih Mas?”

Istrinya datang membawakan secangkir jus mangga. Dia memang bukan penikmat kopi, ataupun teh.
Darmadi tidak menjawab istrinya yang sejurus kemudian duduk di sebelahnya. Dia hanya memandang kedua bola mata yang sejak 10 tahun yang lalu selalu membuatnya merasa teduh.

“Kalau ada masalah itu bicara, bukan memandangiku terus.”

Digesernya koran itu, lalu diperlihatkannya pada istrinya.

Tak butuh waktu lama bagi Maryam, istrinya untuk menyadari, rupanya kabar tentang pemuda yang beberapa bulan pindah ke salah satu desa di kabupaten mereka itu sudah jadi berita nasional.

*

Aslinya, Darmadi itu punya pekerjaan di pemerintahan. Mengawali kariernya dari asisten dosen ekonomi universitas tempat dia bekerja, kemudian ikut meneliti di lapangan, kemudian memegang jabatan staff perumus kebijakan daerah di kabupatennya. Kariernya sangat moncer, sampai akhirnya dia ditugaskan ke daerah pelosok di Jawa ini dengan tantangan besar; mengubah paradigma masyarakat desa yang tidak mau mengikuti perubahan zaman. Dalam waktu 10 tahun terhitung dari 3 tahun lalu, dia diberi target untuk bisa setidaknya membuat orang tua dan warga di sekitarnya untuk tidak lagi menggantungkan diri pada klenik, mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal, bisa mandiri dan tidak lagi menggantungkan diri pada para tengkulak. Beruntung bagi Darmadi, Maryam, adik kelasnya di jurusan yang sama, begitu setia mendampinginya sampai sekarang. Padahal sebenarnya hidup mereka tak nikmat-nikmat betul. Baru-baru ini saja, mereka bisa dengan rutin menikmati waktu pagi bersama. Sebelumnya? dari pagi hingga malam, Darmadi harus selalu di kantor, menghabiskan waktu untuk merumuskan kebijakan yang diminta bosnya.

Masalah Adimas Kanjeng ini, bukan masalah pertama yang dia hadapi di Kabupaten Majumundur ini. Ini merupakan kasus ke sekian yang dia anggap sebagai masalah.

Masih ingat betul dia akan kasus pertamanya; seorang anak remaja yang susah mencari kerja di berbagai tempat diminta oleh keluarganya sendiri untuk disucikan, katanya dia digandrungi oleh dedemit. Berikutnya pohon di pinggir jalan desa yang memang berukuran besar itu tak boleh dipotong oleh warganya karena katanya menyimpan tetuah dari para leluhur, padahal pohon itu sangat membahayakan bila hujan deras karena akan rawan tumbang. Belum lagi kasus Markonah dan Sajali, dua pemudi yang katanya membantu teroris Sasanto. Tidak terbayang olehnya, masalah yang dia hadapi akan serumit ini. Belum lagi kasus beberapa bulan yang lalu, di mana dia harus menghadapi ketua RT yang lama karena ada indikasi kuat dia korupsi dengan mengatakan bahwa dana desa itu dilalap oleh leluhur dan sialnya semua orang desa Sukadunia ini mempercayainya. Dan akhirnya yang terbaru, muncullah kabar bahwa ada seorang pemimpin padepokan yang mampu menggandakan uang dari desanya yang jadi berita hits seantero negeri.

*

“Apa yang kamu khawatirkan Mas? Kamu tahu aku akan mendengarkannya.”

“Aku bingung Dek, apa yang harus kulakukan kali ini. Kamu tahu sendiri, begitu banyak orang desa yang sekarang percaya pada dirinya karena kata mereka, Dimas itu benar-benar bisa menghasilkan uang.”

“Masih banyak sekali kesyirikan di desa ini ya, Mas.”

Darmadi mengangguk. Dipandangnya istrinya yang entah kenapa, baginya tak pernah berubah kecantikannya sejak 10 tahun dia mengenalnya.

“Mungkin kita, atau pemerintah, atau orang lain, punya andil dalam memelihara kemusyrikan ini.”
Maryam meninggikan alisnya.

“Maksud Mas?”

Darmadi menyeruput jus mangga bikinan istrinya itu.

“Kamu tahu semua orang butuh uang, dan pemerintah kita sulit menyediakan uang itu untuk orang-orang di sini. Mereka terlalu mementingkan angka-angka makro, dengan sedikit memerhatikan indikator-indikator mikro. Padahal dari teori dasar ekonomi pun, kesenjangan pendapatan itu bisa menjadi momok sebuah negara. Kamu mengerti bukan?”

“Iya Mas. Tapi menurutku tidak lantas karena itu akhirnya mereka harus memalingkan diri pada bantuan jin ataupun setan. Apalagi dengan kedok karomah. Adek sama sekali tak percaya kalau kemampuan Dimas itu merupakan karomah dari Allah. Buat apa Allah memberikan karomah yang bisa menyebabkan inflasi besar-besaran? Abu Dujanah, sahabat Nabi yang berperang mati-matian hingga punggungnya terpanah melindungi Nabi di perang Uhud saja tak pernah punya karomah. La si Dimas ini, amal apa yang dia lakukan sampai punya karomah sedemikian itu?”

“Hush, tak baik Dek bicara seperti itu. Kita harus tahu dulu seperti apa sebenarnya aktivitas di padepokan Adimas itu.”

“Iya Mas, maaf ya. Kalau begitu apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan mengirim Huda untuk mengamati aktivitas di sana. Aku perlu informasi, dan tidak mungkin aku akan datang sendiri. Terlalu berbahaya Dek. Kamu tahu sendiri sekarang hubunganku dengan warga khususnya di desa Sukadunia itu cenderung memburuk. Aku juga perlu menghubungi Pak Broto, kepala desa Sukadunia itu, dan mungkin menghubungi Pak Zaenal dulu. Pekerjaanmu sudah selesai?”

“Belum Mas, masih ada beberapa draft yang perlu direvisi. Tapi ini kan hari Minggu, biar dululah. Aku membantumu dulu untuk mengatasi masalah ini saja.”

“Kalau begitu aku minta tolong kamu hubungi Huda ya, aku keluar sebentar untuk menemui Pak Zaenal, tadi sudah sempat janji sih.”

“Huda disuruh ke sini jam berapa?”

“Jam 9 saja. Aku tidak lama kok ketemu dengan Pak Zaenal, hanya setengah jam saja. Kamu di rumah sendiri, tidak papa kan?”

“Tentu saja Mas.”

Mendengar hal itu, Darmadi segera mengambil sepeda motornya, lalu pergi sambil memandang istrinya yang melepas kepergiannya sambil tersenyum.

*

“Kabarnya Pak Presiden juga pernah mengundang Adimas ke istana.”

Ucapan Zaenal itu bagaikan petir di siang bolong.

“Maaf Pak, Pak Presiden mengundang Adimas ke Istana? Apa benar?”

Lelaki yang sudah berumur sekitar 60 tahunan itu hanya menggerakkan bahunya tanda tak yakin.

“Kabarnya pengikutnya juga banyak. Ada anggota ICMI, MUI, bahkan dengar-dengar sih doktor dan juga beberapa pakar di daerah kita yang menjadi pengikutnya dan mengamini karomah yang dia miliki.”

Darmadi diam seribu bahasa. Kabar ini semakin membuatnya tak percaya; bagaimana bisa orang-orang yang seharusnya lebih paham fiqh, lebih paham sejarah Rasul, lebih paham kitab dan ajaran agamanya, dengan mudahnya memercayai adanya karomah pada seseorang yang tak jelas bagaimana asal usulnya dan apa yang sudah dia lakukan untuk orang-orang di sekitarnya.

“Kamu harus hati-hati Mad, mungkin kamu berhasil di desa-desa yang lain, tapi untuk desa ini kamu perlu pendekatan yang berbeda.”

“Saya tahu Pak. Tapi saya pribadi menganggap ini sudah masuk ke kejahiliahan yang besar. Tapi saya perlu data yang lebih valid lagi.”

“Ya sudah. Yang jelas bila kamu gagal mengatasi masalah ini, kami tidak akan memindahkanmu. Tapi cukuplah mengubah masyarakat di sini menjadi masyarakat yang baik sebagai hukuman sekaligus upaya yang perlu kamu lakukan seumur hidupmu sampai tuntas.”

“Baik Pak.”

Zaenal pun pergi meninggalkan Darmadi yang masih mematung di warung kopi mbah Jani di perbatasan Sukadunia dan Sukamaju.

Dari belakang tiba-tiba terdengar suara nenek-nenek yang berbicara dengan keras menagih lelaki yang baru saja keluar dari warungnya karena dia belum membayar kopi dan tiga gorengan yang barusan dia makan.

*

Darmadi sampai di rumah lebih cepat dari yang dia kira. Di dapur tampak istrinya yang lebih muda dua tahun dari dirinya itu sedang memasak ikan tongkol dengan bumbu cabai yang harum bumbunya sudah tercium dari depan.

“Sudah sampai Mas? Cepat sekali ketemu sama Pak Zaenal.”

“Iya Dek. Huda sudah kamu hubungi?”

“Sudah. Bentar lagi mungkin dia akan datang.”

Tak lama setelah itu suara motor bebek dua tak yang sudah lama tak diganti olinya membuyarkan pembicaraan Darmadi dan istrinya.

“Pak Dammadi! Assalamualaikum!”

Darmadi segera ke depan dan membuka pintu.

“Waalaikumsalam. Kalau bertamu itu salam dulu baru manggil orangnya Hud.”

Pemuda yang mengenakan kopiah miring karena terkena angin selama perjalanan itu hanya terkikik geli.

“Maklum Pak, terlalu senang karena dipanggil oleh Pak Bos. Ada apa ya Pak kok cari saya?”

“Sudah, masuk dulu. Kita bicara di dalam saja. Itu motormu dimasukkan saja sekalian, kalau hujan biar tidak kehujanan.”

Mendung menghiasi pagi hari itu.

“Wah, baiklah Pak. Sebentar ya Pak saya masukkan dulu motornya!”

Darmadi mengangguk pelan, lalu dia masuk ke dalam dan mengambil beberapa cemilan untuk tamunya kali ini.

*

“Kamu tahu Adimas Kanjeng, Hud?”

Huda yang asyik mengemil kacang goreng itu, tersedak begitu Darmadi bertanya padanya.

“Loh, kenapa kamu? Pelan-pelan kalau makan Hud, masih banyak kok masih banyak.”

“Bu-bukan begitu Pak, tapi saya kaget, kok pas sekali saya juga ingin ngomong sama Bapak tentang itu.”

“Tunggu sebentar, panggil saja aku Mas lah. Aku masih muda lo. Dan biasanya kan dirimu juga memanggilku begitu.”

Huda tersenyum nyengir.

“Ya, Mas Darmadi memang masih muda, tapi secara pengalaman kan sudah sepuh, hahaha. Jadi begini Mas Dam,” Huda memang tidak bisa memanggil Darmadi dengan nama panggilan Darmadi. Dia lebih suka menghilangkan huruf ‘r’ di nama Darmadi dan menggantinya dengan huruf ‘m’. 

“Saya dengar cerita dari teman di desa itu, katanya ada padepokan yang mengajarkan shalawat fulus, buat cari uang, dan bahkan orang-orang di sana rela memberikan uangnya untuk digandakan, dan katanya pula, isu yang saya dengar, sebenarnya di situ terjadi pembunuhan dua orang anggota padepokan itu lo Mas.”

“Yang benar Hud? Kamu sudah pastikan?”

“Nah itu masalahnya Mas. Saya belum memvalidasi lebih lanjut. Jangan-jangan Mas memanggil saya ini untuk meneliti masalah padepokan itu ya?”
Darmadi mengangguk pelan.

“Sebenarnya aku ingin kamu ke sana. Teliti apa saja yang bisa kamu teliti. Cari sebanyak mungkin informasi dan sampaikan padaku, apa saja yang menurutmu ganjil. Kamu harus mengikuti acara yang mereka lakukan, dan lainnya. Kamu paham kan?”
Huda membetulkan pecinya yang mau jatuh.

“Jadi ini semacam misi rahasia begitu, Mas?”

“Kau bisa menyebutnya demikian.”

Dari bola matanya yang berbinar, Darmadi bisa tahu kalau Huda tampak senang. Dia memang suka dengan misi-misi semacam ini.

“Kalau begitu mulai besok saya akan beraksi Mas.” Ujarnya sambil mengacungkan jempol.

“Tapi kamu harus hati-hati ya. Jangan sampai tertangkap atau bahkan dilenyapkan.”

“Tentu Mas. Saya selalu mendahulukan kehati-hatian di mana pun saya berada.”

Darmadi tersenyum, sambil tetap mengkhawatirkan keselamatan Huda.

*

“Bagaimana Mas? Sudah bicara dengan Huda?”

“Sudah Dek. Dia sudah paham apa yang kutugaskan kepadanya.”

“Kalau begitu kamu tidak perlu secemas tadi kan? Ini makanlah dulu. Aku sudah menyiapkan makanan buat kita.”

“Oh, sudah siap? Memang kau luar biasa sekali.”

Maryam hanya tersenyum; memandang mata suaminya itu lekat-lekat.

*

Huda segera pulang ke rumah.

Dia hafal betul apa yang harus dia lakukan, sesuai perintah Darmadi. Tak ada keraguan lagi pada Darmadi bagi Huda. Dia merupakan orang yang mampu menyelamatkan desanya dari kekacauan karena kepercayaan bahwa dirinya harus dikorbankan supaya desa bebas dari penyakit, dua tahun yang lalu. Sekarang dia masih sehat, dan warga desa pun percaya kalau tidak ada lagi itu namanya penyakit karena setan dan jin penunggu rumah itu mengamuk dan meminta sesajen. Sekarang dia yakin bahwa seberapa besar kemampuan jin dan setan, Allah jauh lebih dekat padanya. Walaupun tak pintar-pintar amat, Huda ahli betul dalam menjalin hubungan dengan seseorang. Dia orang yang supel dan ramah, namun awas dan waspada.

Berbekal beberapa pakaian dan uang yang diberikan oleh Darmadi, serta kamera berbentuk kancing yang juga diberikan oleh Darmadi, Huda berangkat menuju desa Sukadunia. Memulai misinya menguak kebenaran tentang Adimas Kanjeng yang katanya mampu menggandakan uang itu. Ini adalah misi ketiganya, dan dia ingin terus berhasil.

*

Berbondong-bondong orang mendatangi padepokan itu sambil membawa tas koper yang berisi uang. Ada yang pecahan 10 ribuan, ada yang seratus ribuan, ada yang berpuluh-puluh juta mereka bawa. Datang dengan niat yang sama; memperbanyak uang yang ada di tangan.
Dari kejauhan Huda melihat mereka sambil memegang telepon di tangan.

“Buset Mas, banyak betul yang datang! Pak Bupati saja datang Mas!”

*

Serial ini adalah fiktif belaka. Kesamaan alur, tokoh, tempat, dan lain sebagainya, mungkin disengaja dan mungkin tidak disengaja oleh penulis. 

catatan

Kolam Renang dari Misil

20.09.00


ibtimes.co.uk

*

In memory of my grandpa, who taught me that one kindness can fill a whole heart. 
And for you my best friend, I am sorry and thank you.

*

Sebenarnya saya tidak sering membaca berita, khususnya berita-berita internasional. Namun karena beberapa kali ikut membantu persiapan debat teman sejawat, sebagai lawan sparring yang setidaknya harus bisa mengimbangi saat latihan, maka mau tidak mau saya harus membaca-baca berita juga. Hal itu karena mau tidak mau saya harus punya bahan untuk dapat membuat argumen baik jadi tim yang pro atau yang kontra dengan topik yang sedang didebatkan. Ada banyak topik, yang secara menyeluruh sampai sekarang pun masih sulit saya pahami. Oleh karena selain luasnya topik yang diperdebatkan, juga karena sedikitnya waktu untuk benar-benar mendalami tiap bidangnya. Salah satunya berkaitan dengan masalah hubungan internasional. Salah satu tema yang menurut saya sendiri, benar-benar susah bila dijadikan motion debat karena biasanya menyangkut banyak sekali wawasan baik politik, ekonomi, relasi negara, militer, dan lain sebagainya. Motion secara sederhana adalah topik yang akan didebatkan. Tim government memiliki tugas untuk mendukung topik itu apapun caranya, dan tim opposition memiliki tugas untuk menjatuhkan topik itu apapun caranya.

Kasus-kasus konflik internasional, seperti yang terjadi di Suriah saat ini, menjadi salah satu motion debat internasional yang sering muncul dan menjadi momok. Pada tahun 2011, seingat saya, motion dengan judul This House Would invade Zimbabwe, menjadi  motion yang didebatkan World Universities Debating Championship. Viktor Finkel, debater favorit saya dengan timnya mampu memenangkan kompetisi tersebut. Kasus Zimbabwe, secara prinsip tidak sederhana. Ada kemiskinan struktural, tekanan pemerintah, kasus kesehatan, dan lain sebagainya. Di topik ini kita harus berperan layaknya organisasi nonpemerintah kelas dunia yang hendak bertindak mengatasi kasus yang ada di Zimbabwe, atau bisa juga berperan layaknya perkumpulan negara-negara tertentu atau suatu negara tertentu. Jadi misalnya kita berperan sebagai Indonesia, dari mosi itu kita meyakini bahwa Indonesia harus menginvasi Zimbabwe. Pertanyaan yang harus dijawab, apa yang menjadi dasar invasi layak dilakukan dan bagaimana bentuk invasi yang dilakukan itu?

Tapi saya tidak ingin membahas itu lebih jauh, karena selain masih minim pengetahuan saya tentang hal tersebut, sebenarnya saya lebih ingin menunjukkan kepada pembaca tentang apa yang terjadi di luar sana. Barang kali akan menunjukkan kepada para pembaca, sisi-sisi dunia yang mampu menjadi pemicu untuk merumuskan apa yang sebaiknya kamu lakukan di tempatmu sekarang.

Jadi sejak beberapa saat yang lalu saya memfollow sebuah akun yang sering memberikan reportase mengenai bagaimana keadaan orang-orang sipil di kota Aleppo, Suriah. Aleppo merupakan kota yang dikuasai oleh para oposisi pemerintahan Bashar Al-Assad. Pemerintah Suriah ingin menggempur para pasukan oposisi yang sebenarnya terdiri dari berbagai kelompok yang juga memiliki kepentingan masing-masing. Mereka disebut oposisi karena tujuannya secara prinsip memiliki kesamaan yaitu menggulingkan pemerintah Bashar Al-Assad. Kelompok-kelompok oposisi ini secara tidak langsung didukung oleh Amerika, yang memandang sang pemerintah Suriah tidak lagi menghormati hak-hak demokratis warganya dan harus dilengserkan sementara pemerintah Suriah sendiri didukung oleh Rusia. Masih banyak lagi kelompok yang terlibat, seperti para pejuang Kurdistan, Iran, dan lain sebagainya. 

Jadi ceritanya, kota-kota di Suriah itu berada dalam kekuasaan berbagai kelompok yang berbeda. Pemerintah Suriah, kelompok oposisi, pejuang Kurdistan, ISIL/ISIS, Jabhat Fathah al Sham, dan lain sebagainya. Mereka saling berebut wilayah, terutama menguasai jalur-jalur atau tempat-tempat yang penting untuk dimanfaatkan sebagai media mendapatkan bantuan dari pihak luar yang mendukung mereka. Nah ceritanya, menurut beberapa informasi yang saya baca, para oposisi di Aleppo pun mendapatkan suplai dari eksternal, dan karena itulah pemerintah Suriah membumi hanguskan jalur-jalur yang berpeluang untuk menjadi media pengiriman bantuan bagi para kelompok oposisi yang ada di situ.

Aleppo menjadi kota yang mungkin menjadi saksi bagaimana peperangan berbagai kelompok itu pada akhirnya menyengsarakan penduduk yang masih ada di sana. Saya sendiri masih belum tahu mengapa para penduduk di Aleppo tidak segera pindah begitu saja dari kota tersebut. Kenapa tidak pindah saja dari kota yang menjadi battleground pemerintah dan para oposisi itu? Mungkin saya terlalu naif, sebab terbatasnya data yang saya tahu dan pisau analisis yang saya punya, pertanyaan itu sampai sekarang belum terjawab. Yang ada hanya sebatas dugaan saja. Mungkin ada yang tahu? Saya sangat berterima kasih bila ada yang mampu menunjukkan hal tersebut.

Tapi yang jelas, para penduduk di sana, menurut beberapa surat kabar internasional, sebut saja Deutsche-Welle, Reuters, CNN, Guardian, Associated Press, Independent, dan lain-lain, ikut terlibat menjadi pihak yang terkena serangan, atau dalam pemaknaan saya pribadi, menjadi korban perang. Bangunan yang ada di sekitar rumah mereka luluh lantah karena rudal. Rumah sakit[1] dan saluran air[2] juga ikut hancur karena serangan militer pemerintah yang ingin sesegera mungkin melenyapkan kelompok oposisi. Bantuan internasional dari berbagai macam pihak yang ingin membantu, sebut saja PBB kesulitan masuk ke sana pada masa genjatan senjata karena tidak mendapat izin seperti yang dinyatakan oleh PBB[3]. Bahkan pada masa akhir gencatan senjata selama satu minggu kemarin pun, konvoi pembawa bantuan sipil malah hancur karena serangan udara yang entah dijatuhkan oleh siapa.[4] Ada yang bilang Rusia, ada yang bilang milik pemerintah Suriah. Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas kegetiran yang terjadi.

Mereka kehilangan banyak hal; rumah, pasangan, keluarga, aset-aset penting, bahkan mungkin kebahagiaan dan waktu untuk sekedar tidur nyenyak pun hilang. Hari-hari mereka, saya bayangkan dipenuhi dengan kekhawatiran akan keselamatan diri mereka sendiri. Makanan enak, kalaupun ada, pasti sulit untuk dirasakan kebahagiannya. Memang betul, kondisi lingkungan pun mempengaruhi apakah bisa kita merasakan kebahagiaan atau tidak. 

Tapi di tengah-tengah hal itu, di timeline instagram saya, dari sebuah akun yang fokus pada perkembangan konflik Suriah, terdapat sebuah video yang membuat saya terkagum-kagum pada para penduduk yang masih ada di sana, khususnya pada para anak-anak. Dalam video tersebut diperlihatkan bagaimana, anak-anak, yang kebanyakan masih muda belia itu, bermain di tengah kolam yang terbentuk dari bekas jatuhnya misil dari serangan udara. Air yang berasal dari pipa bawah tanah yang patah menggenangi lubang tersebut, mengalir sedikit demi sedikit hingga kemudian membentuk sebuah kolam kecil. Di tengah kolam berdinding tanah itu, anak-anak itu bermain dengan riang.

Mereka bahkan bisa menjelaskan dengan lugas, bagaimana kolam itu terbentuk. Sebuah misil jatuh ke sini, kata mereka. Sebelumnya satu keluarga mati di sebelah sana, katanya sambil menunjuk ke bagian kanan dari tempat ia diwawancarai. Begitu dia ditanya apakah dia merasa bahagia, sambil tersenyum menunjukkan gigi-giginya yang putih (gigi saya kuning, by the way), dia berkata bahwa tentu dia merasa bahagia. Sampai detik ini saya masih terngiang akan kata-kata tersebut.

Saya jadi merasa linglung. Sepertinya saya terlalu sempit dalam melihat sesuatu. Sepertinya saya masih terlalu naif, memandang bahwa segalanya baik-baik saja hanya karena saat ini saya bisa merasakan kebahagiaan, sementara di sisi yang lain banyak terjadi konflik yang butuh solusi. Baru saja kemarin saya membaca berita Suriah ini, eh tahu-tahu hari berikutnya saya membaca konflik di perbatasan Kashmir antara India dan Pakistan yang juga sudah menelan korban. Itu belum selesai, saya juga baru tahu ada kasus penggusuran Bukit Duri di Jakarta yang menurut beberapa berita dan opini yang saya baca melawan keputusan pengadilan negeri alias melanggar hukum. Dan baru minggu lalu saya juga baru tahu tentang kisah perlawanan masyarakat Sedulur Sikep, alias Masyarakat Samin, di daerah Kendeng, melawan pendirian pabrik semen yang berpotensi menghancurkan daerah mereka. 

Saya cukup memahami paradigma pembangunan industrialisasi yang dipakai pemerintah. Kemungkinan besar paradigma pembangunan yang dibangun berasal dari teori modernisasi. Akumulasi kapital dipandang perlu dan menjadi prasyarat perkembangan ekonomi yang berkelanjutan, karenanya kran investasi dan barang-barang kapital alias alat-alat produksi yang mampu menghasilkan barang produksi yang penting seperti misalnya pabrik, jalan raya, dan lain sebagainya harus segera didirikan. Alam harus bisa dieksploitasi sedemikian rupa karena manusia menggunakan hal itu untuk membuat barang-barang ekonomi yang bisa dikonsumsi. Tapi, terlepas dari itu semua, ada orang-orang yang disakiti. Duh, kok saya malah berganti topik pembahasan.

Kembali ke kolam renang kecil tadi. Sepertinya saya perlu belajar pada mereka bagaimana bisa menikmati hidup di tengah kondisi seperti itu. Dari mereka, saya bisa belajar untuk menerima keadaan dan menertawakannya; ikuti saja permainan para pemimpin yang zalim itu sambil berjuang untuk terus hidup; lalu meruntuhkan dan mengubah keadaan sedikit demi sedikit.

Sementara di sisi lain, buat kamu yang sedang belajar, belajarlah yang rajin. Karena ilmumu dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang hadir dan nyata di luar sana; sekalipun sekarang kamu belum merasakannya.

Sekian.

*


[1] Russian, Syrian missiles pound Aleppo, destroy hospital: rebels and aid workershttp://www.reuters.com/article/us-mideast-crisis-syria-idUSKCN12133Z
Lihat juga, “Syria's war: Aleppo hospital bombed again
[3] Patrick Wintour, Julian Borger, “Syrian regime is blocking aid from entering eastern Aleppo, claims UN” 
[4] Julian Borger, Spencer Ackerman, “Russian planes dropped bombs that destroyed UN aid convoy, US officials say”