Bau Yonui

08.29.00

*

Jika kamu dapat mengetahui isi hati seseorang, apa yang akan kamu lakukan? Kalau aku, akan menggunakannya untuk menangkap penjahat.

*

Orang-orang di Desa Tirambui sore itu berkumpul di lapangan bekas persawahan yang sudah kering. Tanah itu sudah lama tidak digunakan untuk menanam padi atau tumbuhan palawija lainnya. Sekitar sepuluh orang pemuda dan pemudi, duduk berlutut di atas tanah. Kepala mereka menunduk ke bawah, pandangan mata mereka lurus menghadap tanah. Seorang Tetua di tanah itu, dengan topi kecapinya menyiramkan air sungai Kamboja dari atas kepala mereka. Namanya Paman Bawang. Setelah itu mulutnya berkomat-kamit. Ia sedang merapal doa-doa warisan leluhur yang sampai sekarang masih terukir dalam ingatannya.

Apa yang terjadi pada para pemuda dan pemudi itu merupakan prosesi pelepasan mereka. Setelah ritual selesai, mereka akan dianggap sebagai orang dewasa. Setelahnya mereka bertanggung jawab sepenuhnya atas diri mereka sendiri, serta apa yang mereka lakukan di masyarakat kami. Mereka harus membuat rumah sendiri, terpisah dari orang tua mereka. Orang tua mereka menangis haru. Kalau aku punya anak seperti mereka, mungkin aku juga akan menangis. Aku hanya bisa menatap dari kejauhan, sebab orang yang sudah dikeluarkan dari desa, tak boleh satu kali pun menyentuhkan kakinya ke atas tanah Tirambui. Siapa yang mendatangi desa lagi, maka para Bebenit akan mengejar lalu membunuh kami.

Orang-orang di desa kami memiliki sebuah bakat alami. Selama kamu memiliki hubungan darah dengan suku Tirambui, kamu pasti memiliki bakat tersebut. Bakat itu adalah sebuah indra penciuman yang tajam, hingga mampu mencium aroma jiwa seseorang. Mereka yang berjiwa bersih, wanginya adalah seperti bunga melati. Anak-anak muda akan berwangi seperti bau jeruk yang sudah matang, sementara orang yang bijak akan beraroma seperti buah kelapa yang sudah masak. Perawan, perjaka, janda, duda, masing-masing memiliki aroma warna tersendiri. Masing-masing dari kami memiliki tingkat kepekaan atas bau yang berbeda-beda. Sepuluh orang yang memiliki penciuman paling tajam di desa ini, adalah mereka yang biasa kami sebut sebagai Pasukan Balaraung. Merekalah penjaga desa kami, dari setiap orang yang berniat buruk, atau memiliki dosa besar, dan layak untuk dikeluarkan dari desa agar tidak terjadi kekacauan. 

Kakakku yang bernama Simbal, adalah salah satu dari Balaraung. Tiap hari ia mengitari desa dan berjaga-jaga. Pernah suatu ketika dia mencium bau yang teramat busuk, menandakan ada orang yang hendak berbuat jahat. Dan ternyata benar, setelah ditelusuri, orang yang dibau itu hendak membunuh seseorang. Maka dengan cekatan Simbal segera menangkapnya, lalu membuatnya mengaku. Kemudian orang itu diberi hukuman keluar dari desa, Oh iya, bau yang kami cium dari seseorang biasanya ada tiga lapis bau. Bau pertama adalah bau kulit, yaitu bau yang dimunculkan oleh orang itu ketika bergaul dengan orang-orang. Bau kedua adalah bau kalip, yaitu bau yang menunjukkan apa yang sebenarnya ada di pikiran dan perasaan orang itu ketika sedang berhubungan dengan orang lain. Dan bau yang ketiga, dan yang paling sulit untuk dideteksi adalah bau nafs, yaitu bau jiwa seseorang. Untuk bisa mencium bau nafs, kami harus menempuh latihan berkali-kali, sekalipun itu merupakan bakat alami yang kami miliki. Orang-orang yang memiliki bau nafs busuk seperti bangkai, menunjukkan betapa kotor dan bejatnya orang itu. Tentu seiring perbuatan baik yang dia jalani, bau itu juga akan berubah. Tapi ada satu bau baru yang akan muncul bila orang yang berdosa itu mulai menyadari kesalahannya dan kemudian berbuat baik. Bau itu adalah bau Yonui. Bau itu, katanya hanya bisa dicium oleh orang-orang khusus saja, yaitu mereka yang sama-sama sudah memiliki bau itu. Bau Yonui berbeda dengan bau nafs, walaupun mereka bisa saling berhubungan.

Selesai upacara itu aku segera membalikkan badanku dan berjalan secepat mungkin menuju kendaraan yang kuparkir di kejauhan. Teringat olehku upacara pengusiranku, ketika aku tertangkap hendak membunuh orang di desa seberang. Setelah itu, aku tak lagi boleh datang ke desa ini. Bapak dan Ibu terlihat kecewa, dan aku pun begitu.

*

Matahari masih malu-malu menampakkan kecantikan wajahnya, namun kantor sudah berisik dengan suara mesin ketik yang tak capek bergoyang. Perempuan di sebelahku masih saja menggerutu.

“Pak Uli, mengapa bapak yakin sekali bahwa Joseph adalah pembunuhnya?”

Anita, polisi muda yang menemaniku kali ini bertanya penasaran. Di tangannya tergenggam buku catatan dan pulpen hitam yang tintanya sudah hampir mengering.

“Bukannya terlihat jelas dari gurat wajahnya yang penuh dengan kecemasan saat kita menginterogasinya?”

Tanyaku balik. Tentu tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku sangat yakin dia adalah seorang pembunuh karena bau nafsnya sangat busuk.

“Tapi kecemasan itu bisa terjadi karena banyak hal Pak. Bisa saja kan dia cemas karena takut berikutnya akan jadi korban? Kenapa Bapak meyakini kecemasan itu sebagai tanda dia membunuh seseorang dan takut diinterogasi?”

Aku hanya mengangkat bahuku pelan.

“Ya kita lihat saja nanti. Mau taruhan kah?”

“Dih Pak Uli ini. Dilarang negara Pak!”

Aku tertawa kecil.

*

Anita adalah perempuan yang baik. Nafs-nya berbau segar, seperti buah apel yang baru masak. Menunjukkan bahwa dia wanita yang periang, selalu optimis, dan sangat menyukai tantangan-tantangan. Pantas saja kariernya naik dengan cepat. Aku baru menghabiskan waktu sekitar tiga minggu dengannya, namun kami sudah cukup dekat. Pekerjaan sebagai seorang detektif sebenarnya tidak terlalu merepotkan, sebab aku punya hidung yang bisa mendeteksi siapa saja yang kemungkinan melakukan keburukan. Dari situ aku akan memulai investigasi lanjutan. Dari 1000 kasus yang kutangani, tak sekalipun pelaku berhasil menipuku. Mungkin karena itulah komandan selalu percaya padaku; apapun yang kuminta untuk menyelesaikan kasus, seaneh dan segila apapun itu, mereka pasti mengizinkanku. 

Pernah suatu ketika aku meminta izin untuk memata-matai ibu kos yang menjadi wali salah satu korban penculikan. Dari baunya aku mencium nafs yang lumayan mengganggu hidungku. Mereka pun mengizinkanku, walaupun secara alibi orang itu tidak mungkin melakukan penculikan sama sekali, dia juga menangis sampai pingsan ketika putrinya hilang. Namun berkat pengintaian dan kecurigaanku padanya, akhirnya ibu itu mengaku bahwa dialah yang memerintahkan orang untuk menculik putrinya, karena dia ingin memberi pelajaran pada putrinya agar tidak sering keluar malam. Siapa sangka penculik bohongan yang dia percayai itu justru memerkosa putrinya sampai dia mati, dengan cangkul yang membusuk di kelaminnya. 

Tidak semua polisi berbau seperti Anita. Ada yang sangat lihai menutupi bau nafsnya dengan bau kulit dan kalip yang terlihat wangi. Sebenarnya orang biasa pun dapat dengan mudah merasakan bau kulit dan kalip, tapi tidak sampai bau nafs. Beberapa detektif yang sudah banyak pengalaman menangani kasus-kasus pun memiliki kepekaan yang lumayan tinggi akan bau kalip seseorang, yang kemudian mereka sebut dengan intuisi. Dan ada juga yang menurutku bisa sedikit meraba area nafs, tapi ini pun sangat jarang, dan hanya satu orang saja yang kukenal memiliki kemampuan seperti itu. Namanya Darmadi. Intelijen negara yang sudah malang melintang ke mana-mana dan terakhir kali ditugaskan ke daerah terpencil itu pernah bekerja sama denganku. Dan harus kuakui, untuk seseorang yang tidak berasal dari Tirambui, dia memiliki kepekaan yang sangat tinggi. 

*

“Halo?”

“Li? Apa yang kamu kerjakan sekarang?”

“Lagi nganggur saya sekarang Pak. Ada sesuatu Pak?”

“Sekarang kamu berangkat ke Kauman. Sendirian saja. Ada kasus yang perlu kamu pecahkan.”

Seketika itu juga aku segera berangkat dengan menggunakan mobil dinas. Namun belum genap aku melangkah, aku kembali menoleh pada Anita.

“Kauman itu, di mana ya?” 

*

Kurang lebih 6 jam aku mengemudi, hingga akhirnya sampai di desa Kauman. Secara administratif, desa ini bukan termasuk wilayah kerjaku. Namun bila Kapolda sudah meneleponku, pastilah komandan juga sudah memberikan izin, maka aku pun memberanikan diri datang. Setelah bertanya pada beberapa warga sekitar, aku pun sampai pada kantor desa, yang sepertinya sudah disulap menjadi pos investigasi khusus. Tanpa membuang waktu, aku pun segera memasukinya.

“Permisi.”

Seorang perempuan yang wajahnya tak asing bagiku menjawab salamku.

“Kau? Buat apa kau ke sini?”

Aku mengangkat teleponku dan menunjukkan riwayat teleponku. Tanpa butuh waktu lama, dia-yang-lulus-dari-akademi-dengan-nilai-sempurna- akhirnya mengerti. Namun dari raut wajahnya aku bisa menangkap kekesalannya bertemu lagi denganku. Orang yang pernah memukul kekasihnya ketika kami beradu di ring tinju. Ya bukan salahku sih, namanya juga sedang tinju kan?

“Aku berharap bisa membantu. Apa yang terjadi?”

Wanita itu pun mengambil beberapa larik kertas. Jilbabnya masih saja berwarna gelap, semoga tidak segelap suasana hatinya, pikirku dalam hati.

“30 korban. Terjadi dalam waktu 1 hari. Semua korban bukan warga asli desa. Dan menurut saksi mata tidak ada kendaraan atau apapun yang pada malam sebelumnya mendatangi tempat kejadian. Dengan kata lain; pembunuhan ini sangat berkelas.”

Oh sialan. Walaupun dengan penciumanku, tidak mungkin aku bisa menemukan pembunuh ini dengan mudah.


Keesokan harinya investigasi masih terus dilanjutkan di tempat yang sama. Sebabnya pihak desa pun ingin mengetahui jalannya penyelidikan secara langsung. Sekelompok pemuda yang cinta desanya, kata Enja, komandan perempuan tadi, adalah yang membuat penyelidikan harus dilakukan seperti itu. Besar kemungkinan pelaku memang asli orang sini, katanya. Entah apa alasannya. Aku pun meminta izin untuk melakukan penyelidikan berdasarkan caraku sendiri, tentu akan aku koordinasikan dengan penyelidikan yang Enja lakukan. Beruntung, kami tidak banyak berdebat, dan dia langsung mengizinkanku menjalankan sesuai yang kukehendaki.

Maka agenda pertama yang kulakukan adalah berjalan mengelilingi desa, mengamati siapa saja orang di desa ini, termasuk wisatawan yang masih tinggal di desa ini, untuk mengetahui mana yang berbau busuk dan mana yang berbau harum. Tidak kusangka, ada banyak sekali jenis bau yang bisa kucium. Ada yang nafsnya berbau sangat harum, orang yang memiliki ini ternyata bernama Aisya, pendatang dari Jakarta. Tidak kalah harum dari bau nafs Aisya adalah bau seorang pemuda bernama Ali. Bau harum mereka menunjukkan kebaikan, tetapi berbeda jenisnya, yang satu karena kebaikan hatinya untuk memberi, sementara satunya adalah karena kerja kerasnya dalam berjuang untuk orang-orang desa. Tapi ada juga orang yang memiliki bau nafs sangat busuk, busuk saja, sampai tidak terlalu busuk. Hidungku semakin terlatih walaupun tidak berada di dalam desa.

Singkatnya, dari beberapa orang yang berhasil kucatat itu, ada beberapa nama yang menandakan bau busuk sangat kuat; bisa jadi mereka yang membunuh orang-orang itu. Kubilang bisa jadi, karena bisa saja bau busuk mereka itu karena sebab yang lain. Untuk memastikan ini, aku pun mendatangi mereka satu per satu. 

Orang pertama yang kudatangi, namanya Samidi. Lelaki yang sudah cukup berumur ini tampaknya rajin mengelola sawahnya. 

“Permisi, Bapak Samidi ya?”

Dia menjabat tanganku setelah membersihkan tangannya dari lumpur-lumpur sawah. 

“Oh iya betul,” katanya. Dari raut wajahnya aku bisa menebak kebingungannya. “Siapa ya?”

“Oh, saya hanya polisi yang ikut membantu menyelesaikan kasus kemarin kok Pak. Dengar-dengar Bapak ya yang mengawasi taman Seroja waktu terjadinya kasus itu?”

“Oh. Iya betul Mas. Tapi saya sudah cerita ke para polisi sebelumnya kok.”

Gurat-gurat yang tampak di muka wajahnya menunjukkan ketegasannya secara tersembunyi.

“Ah iya Pak, saya hanya ingin ngobrol saja kok dengan bapak. Ya itung-itung cari kenalan baru Pak di kota lain. Maklum Pak, bukan asli sini saya.”

“Oalah, begitu to. Iya-iya, kalau begitu saya selesaikan dulu ya Mas, nggak enak ngobrol sambil ndaut begini.”

Aku pun mengiakannya. Berikutnya aku pun bertanya-tanya padanya. Berapa umurnya, asli sini atau tidak, waktu malam itu sedang apa, hingga, ‘Bapak tidak membunuh mereka ‘kan?”

*

Pembicaraan dengan Samidi berjalan cukup lama dan melelahkan. Walaupun baunya cukup busuk, namun dia berhasil menutupinya dengan baik. Dan sampai saat ini aku juga belum dapat mengetahui apa yang membuatnya bisa berbau sebusuk itu.

Ashar sudah tiba, dan aku bersama penduduk yang lain pergi ke masjid besar desa ini. Pada akhir salat, imam mengumandangkan doa yang lumayan panjang. Walaupun aku tidak tahu artinya, yang penting ikut ‘amin’ saja seperti para makmum lainnya, aku yakin doa ini berkaitan dengan kasus yang baru saja menimpa desa ini. Mereka pasti merasakan dampak yang cukup besar.

Usai salat aku kembali melihat dua orang yang memiliki bau nafs wangi tadi, yaitu Aisya dan Ali. Mereka berdua tampak berbicara dengan seorang pemuda yang kelihatannya seumuran dengan Ali. Janggutnya tumbuh lumayan lebat, tapi dipotong pendek. Begitu pula dengan kumisnya. Pandangan matanya cukup tajam. Tidak seperti Ali dan Aisya, dia memiliki bau kalip yang lebih berkesan gelap, seperti bau tanah ketika habis diguyur hujan. Sepertinya dia orang yang banyak melihat kematian. Nafsnya pun berbau anyir, tapi bukan anyir mayit. Lebih seperti bau daun yang sudah gugur dan jatuh ke atas tanah. Setelah dia pergi, tinggal Aisya dan Ali yang berbicara. Tapi dari kejauhan aku bisa melihat kalip Aisya dan lelaki itu seperti menyatu. Hoho, ternyata mereka saling menyukai? Tapi sepertinya laki-ladi menarik juga. Sekilas aku mendengar mereka juga membicarakan proyek pencarian pelaku pembunuhan ini. Besok sepertinya aku harus menemuinya. Untuk hari ini, aku harus segera laporan ke Enja.

*

“APA KATAMU?!”

Suara perempuan itu menggelegar ke berbagai penjuru ruangan. 

“Kau tidak perlu terkejut seperti itu. Ini kan hanya pendapatku.”

“Yang benar saja! Kau meragukan satu-satunya saksi kunci kita untuk memecahkan masalah ini, dan malah menuduhnya sebagai pelakunya?! Mana bisa aku percaya kekonyolan itu!”

Aku mengambil gelas kecil, menuangkan air minum, lalu menaruh di dekat mejanya. 

“Seperti yang kubilang, ini hanya pendapatku.”

Sebenarnya aku ingin menambahkan; konyol dan tidak konyol itu hanya karena kamu tidak mengerti saja bagaimana sesuatu terjadi. Kau hanya bergantung pada kebiasaan yang pernah kau temui saja, bukan berpijak pada kenyataan yang sesungguhnya. Seandainya kau punya hidung sepertiku tidak mungkin kau mengatakannya konyol, dasar perempuan pemarah. Tapi kuurungkan niatku.

“Terserahmu kau menerimanya atau tidak, tapi menurutku bisa saja dia berbohong dan melakukan semua pembunuhan itu sendirian kan?”

“Kalaupun kau anggap begitu, bagaimana dia bisa? Dia sudah tua, untuk mengangkat tiga puluh orang ke tempat ini lalu membunuhnya tidak mungkin membutuhkan tenaga kecil.”

“Bagaimana kalau dia mengundang mereka, agar datang malam-malam. Mungkin menawarkan sesuatu yang bisa mempermudah hidup mereka? Kan bisa saja terjadi begitu.”

“Apapun ini, semuanya sekedar hipotesis yang tidak berdasar. Lebih baik kau segera keluar dan cari bukti-bukti yang lebih riil. Aku tak mau kau sama tidak bergunanya dengan polisi yang lain.”

“Baiklah baiklah. Jangan marah-marah mulu, kau akan semakin sulit dapat momongan.”

Dia hanya mendengus dan tidak membalas perkataanku. 

Ya sudah, kutinggalkan saja dia dengan hatinya yang masih mendongkol.

*

“Oh, siapa ya?”

“Permisi, saya polisi yang membantu penyelidikan kasus pembunuhan di taman itu Pak. Dengar-dengar di sini rumah bapak Rangga ya?”

“Oh, saya bapaknya Pak. Rangganya ada di dalam. Ada keperluan apa ya Pak?”

Ternyata di sinilah letak tempat tinggal pria yang kemarin kutemui. Rumah yang lumayan sederhana. Di sekelilingnya banyak tumbuh tanaman-tanaman buah, seperti mangga, jambu biji, dan lainnya. Cat hijau yang dominan menghiasi rumah ini semakin menambah suasana asri.

“Oh tidak Pak, saya hanya ingin tahu menanyakan beberapa hal saja pada penduduk desa, siapa tahu bisa membantu penyelidikan. Sebenarnya bukan ke Mas Rangganya sih Pak, tapi lebih ke penghuni keluarga di rumah ini. Saya sudah mengunjungi rumah Pak Slamet dan beberapa penduduk lainnya. Kalau Bapak tidak keberatan, boleh saya bertamu?”

“Oh, baiklah kalau begitu Pak. Di luar saja tidak papa Pak? Di dalam masih berantakan habis digunakan untuk memasak buat kondangan esok hari.”

“Iya Bapak, justru saya berterima kasih sudah dikasih waktu.”

Tak lama setelah itu, aku pun berbincang dengan keluarga Rangga ini. 

*

“Jadi, kamu wartawan?”

“Betul, Pak.”

Aku mengambil roti kering yang disediakan di meja, lalu memakannya. Hanya tersisa aku dan Rangga yang berbicara di rumahnya. Kedua orang tuanya tiba-tiba harus pergi mengikuti kondangan bagi seluruh warga desa. Wah desa ini banyak sekali melakukan kondangan, pikirku.

“Sudah meliput apa saja?”

“Banyak Pak, ya pokoknya sekitar peperanganlah. Bapak sendiri jadi polisi sudah lama?”

“Oh, aku masih muda. Seperti dirimu. Kukira kita seumuran.”

Dia hanya tersenyum.

“Ngomong-ngomong,” aku melanjutkan pembicaraan kami. “Kau dekat dengan Aisya?”

“Aisya? Ah, tidak begitu dekat Pak. Kami baru saja kenal beberapa saat yang lalu setelah saya datang.”

“Oh, begitu. Kalau Ali? Kau dekat?”

“Lumayan dekat Pak. Dia teman saya sejak kecil. Kenapa ya Pak?”

“Tidak papa. Apakah pernah terbesit padamu, di antara mereka melakukan pembunuhan ini?”

Raut wajahnya berubah. Menjadi serius dan seperti mempertahankan diri. Tentu, tidak mungkin dia bisa percaya bahwa orang yang dia kenal dekat dan yang dia sukai melakukan tindakan seperti pembunuhan.

“Tidak Pak. Tidak sedikit pun. Apa ada sesuatu yang mengarah pada dugaan bahwa mereka melakukan pembunuhan?”

Aku membalasnya dengan tersenyum.

“Ah, tidak. Aku hanya sekedar bertanya. Kalau menurutmu, siapa yang paling dekat menjadi tersangka di kasus ini, dari orang yang kamu kenali?”

“Hmm. Sepertinya saya tidak kenal dengan seseorang yang memiliki niat membunuh sekeji itu, Pak.”

Aku menangkap keraguan darinya. Sepertinya wartawan ini, sepertiku, memiliki ‘intuisi’ yang cukup tinggi. Aku mencium kalipnya berbau seperti kamboja; pertanda bahwa dia sedang memikirkan sesuatu dalam-dalam.


Penyelidikan tidak berkembang begitu pesat.

Ya, setidaknya penyelidikan yang dilakukan oleh Enja. Sementara penyelidikanku, menurut perhitunganku sendiri, sudah lebih maju. Setidaknya aku memiliki beberapa orang yang bisa kucurigai sebagai tersangka, dari desa ini. Masih bersifat dugaan, karena belum pasti. Malam itu aku pun kembali ke kantor desa dan menyepi di ruanganku sendiri. Teringat olehku kisah-kisah semasa masih ada di Tirambui. Entah kenapa ketika malam tiba aku sering merindukan desa itu.

Salah satu kenangan yang masih kuingat adalah saat aku belajar salah satu teknik penciuman tingkat tinggi yang bernama Simulakra. Teknik ini adalah teknik penciuman sekaligus teknik pemetaan untuk mengetahui di mana musuh dan pergerakan mereka. Bila teknik ini sudah digunakan, kami bisa mengawasi dari jauh orang-orang yang berniat buruk. Ini menjadi salah satu teknik andalan para Balaraung. Aku sempat belajar dari Simbal, walaupun tidak sampai menguasainya betul.

Karena iseng dan tidak ada kerjaan, aku pun memutuskan untuk merapal Simulakra. Kubersihkan lantai kamar ini, lalu duduk bersila dan mulai membersihkan jiwaku dari kotoran-kotoran yang ada. Untuk bisa merapal teknik ini kau harus mengakui kesalahan-kesalahanmu pada Tuhan, meminta maaf kepadanya dengan tulus, dan berjanji untuk berbuat baik dengan menggunakan teknik ini. Hal yang tidak mudah, dan oleh karenanya hanya sedikit orang yang bisa melakukannya. Bahkan Balaraung yang benar-benar ahli pun butuh waktu lama agar Simulakra bekerja. 

Beberapa saat berlalu, aku mengingat dan meminta maaf atas dosa-dosaku, dan kemudian berkonsentrasi penuh memusatkan konsentrasi ke dahi atasku untuk menyambungkan penciumanku dengan alam semesta. Dan tidak kusangka, di kejauhan, di taman Seroja, sosok dengan nafs yang sangat busuk berada di sana, dan sepertinya hendak berbuat kejahatan.

*

Tidak salah lagi, bau busuk yang tercium sangat kuat berasal itu berasal dari dekat pohon tempat kejadian pembunuhan itu. Tanpa menyia-nyiakan waktu aku segera memakai jaket untuk sekedar melindungi dari hawa dingin, pistol revolver sebagai senjata utama, dan tidak lupa pemantik yang selalu kubawa untuk menerangi malamku. Molotov dan beberapa botol bensin kubawa untuk sekedar berjaga-jaga.

Dengan cekatan aku segera melangkah menuju ke pohon Hayat, begitu orang sini memanggilnya. Pistol kusiapkan di saku sebelah kanan. Dinginnya malam ini kuterobos dengan tekad kuat untuk menangkap pembunuh berdarah dingin itu. Aku yakin siapapun yang ada di sana pastilah pembunuh kemarin.

Sesampainya di sana, tidak terlihat ada seorang pun. Kegelapan membisu dan mempermainkanku. Namun bau orang itu masih tercium dengan kuat, bahkan bertambah lebih kuat lagi. Aku segera mendekat ke pohon itu, hingga pada akhirnya sinar rembulan menerangi sosok tubuh yang rupanya sudah menatapku dari kejauhan dengan sorot matanya yang berwarna merah. 

“Siapa kau?”

Gigi taringnya terlihat bersinar.

Aku mengambil pemantik apiku, menyalakannya, kemudian menumpahkan bensin yang kubawa sembunyi-sembunyi di saku kiriku. Dengan cekatan orang itu mendekat padaku, melangkahkan kakinya dengan cepat dan mengarahkan tangan kanannya untuk mencekik leherku!

Duk!

Dengan pistol yang untungnya sempat kukeluarkan dan dengan tenaga yang kumiliki aku mendorongnya ke arah kiri, menuju api yang sekarang menerangi tempat ini. Tapi ternyata dia selamat dari kobaran api itu.

Dari figur itu, ternyata seperti yang sudah kuduga sebelumnya, orang ini adalah Samidi. 

“Sepertinya kau masih menyimpan tenaga yang cukup besar kakek tua.”

Dia hanya menyeringai. 

“Heh. Orang Tirambui memang selalu menyebalkan.”

Orang ini, mengenal desaku?

“Dari mana kau tahu desa itu? Siapa kau sebenarnya?”

“Tidak ada yang perlu kau bicarakan denganku. Anak muda sepertimu tidak akan pernah tahu kisah Balaraung generasi pertama.”

Aku diam, tak percaya. Apakah orang ini Balaraung?

“Heh. Tidak usah kau pasang wajah begitu. Permusuhan kita sepertinya masih saja diteruskan hingga saat ini. Akan kubalas kekalahan orang-orangku di Makesit.”

Apa yang orang tua ini bicarakan, aku sama sekali tak mengerti.

“Seperitnya kau benar-benar sudah sangat tua. Berapa umurmu sekarang? Apakah kau sezaman dengan Kurawa dan Pandawa? Atau jangan-jangan kau temannya Hades?”

“Hahaha. Kau belum tumbuh dewasa sepertinya. Apakah pengucilan dari desa membuatmu tidak paham sejarah bangsamu sendiri?”

“Aku tidak pernah suka sejarah. Dan aku juga tidak berminat diajari oleh seorang kakek tua bermata merah sepertimu. Jadi apakah kau pembunuh orang-orang itu?”

“Apakah kau masih perlu bertanya? Bukankah sudah jelas? Hahaha. Ya. Akulah yang membunuh mereka. Manusia-manusia bodoh yang percaya pada kekuatan pohon besar yang mereka panggil Hayat untuk mendapatkan kekayaan ini kupanggil dengan mudah. Begitu sampai di sini kubunuh mereka semua untuk mendapatkan darah manusia yang kotor! Nikmat!!”

Cara orang ini tertawa begitu memekikkan telinga.

“Sepertinya kau jelmaan iblis yang benar-benar nyata. Sejak kapan kau melakukan itu?”

“Ohohoho. Aku memang binatang pemakan darah. Semakin aku menghisap darah aku semakin kuat. Aku adalah evolusi dari serigala. Jangan khawatir, ini bukan tahayul sama sekali.”

“Aku tidak bertanya tentang hal itu. Aku bertanya sejak kapan kau melakukannya. Apa kau tuli?!”

Tetapi setelah itu tidak ada lagi pembicaraan dari kami. Dengan cekatan, kakek itu kembali berlari ke arahku. 

Aku menangkis pukulannya yang sangat kuat hingga aku terpental menabrak pohon besar itu. Aku menembakinya beberapa kali, namun sepertinya itu masih belum cukup. 

Kami beradu pukulan, cakarnya berhasil mengenai leherku, namun aku juga berhasil menembak tepat di jantungnya, bila dia manusia biasa. Dia memang terlihat sangat kesakitan, namun dia masih bisa bertahan. 

Rasa sakit di leher ini benar-benar mengganggu. Dan sialnya, satu pukulan dari kakek itu berhasil mengenai pelipisku hingga aku terjatuh. Sekarang dia menindihku, cakarnya tepat mengarah ke wajahku.

“Mayat berikutnya adalah dirimu sendiri!”

Sial, ini bukan lelucon. Apakah aku akan mati sekarang? Tidak! Aku tidak bisa membiarkan binatang ini lepas begitu saja!

Pemantik milikku terlihat menyala di sisi kiri dekat dengannya. Ini kesempatan! Dengan sekuat tenaga yang tersisa aku melemparkan molotov mini yang masih kusimpan di saku kiriku. Satu, dua, tiga, empat detik berlalu, hingga akhirnya aku berhasil terlepas dari genggaman cakarnya.

“Argh!!!”

Serunya kesakitan karena terkena pecahan kaca molotov yang kulempar. Tapi sepertinya dia lebih kesakitan lagi karena punggungnya terbakar akibat api yang menjalar ke tubuhnya tadi. Aku juga terkena api, tapi segera kupadamkan dengan jaketku

Sekarang waktunya penghabisan. Bau nafs kakek ini semakin kuat. Pertanda bahwa niat membunuhnya, semakin membesar. 

Aku mengambil kembali pemantikku yang untungnya masih utuh. Beruntung pemantik ini bukan pemantik murahan. Aku harus berterima kasih pada Darmadi ketika bertemu dengannya lagi. 

Aku membutuhkan api. Satu-satunya peralatan yang kumiliki adalah pemantik, pisau dan pistolku yang pelurunya telah habis. Aku harus mencari sesuatu yang bisa menghasilkan ledakan besar. 

Di kejauhan aku melihat sebuah bangunan untuk mengawasi taman ini. Satu-satunya peluang yang bisa kulakukan adalah mencari sesuatu untuk dibakar di sana. Aku berharap menemukan bensin lagi. Maka tak butuh waktu panjang, aku segera berlari dengan sekuat tenaga, meski rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Beruntung akibat latihan yang dulu kuterima di desa, aku masih kuat berlari walaupun badan ini sudah penuh darah. Kakek tua itu masih belum bisa bangkit karena api yang membakar punggungnya. Tapi begitu aku sampai di pintu masuk bangunan itu, dia segera berlari mengejarku! Sialan! Aku harus cepat-cepat!

*

Aku mengunci pintu depan, jendela, dan celah masuk lain dari bangunan penjaga ini. Masa bodo dengan kekuatan cakarannya, aku yakin penguncian ini bisa mengulur waktu. Dengan cekatan aku mengobrak-abrik ruangan itu dan akhirnya kutemukan sebotol bensin yang seperitnya menjadi persediaan untuk kendaraan. Tapi..

Brak!

“Uhk!!”

Kakek tua itu menabrakku dari belakang dan mencakar punggungku! 

Cengkeramannya sangat kuat hingga aku tidak bisa melepaskannya. Aku pun tak bisa bernafas. Dunia serasa berputar dan aku bisa mendengar suara jantungku yang semakin lemah. 

“Sepertinya kau tetap akan menemui kematianmu manusia!”

Nafasku semakin lemah dan dunia serasa semakin gelap. 

Dor! Dor! Dor!

Tiga tembakan itu mengarah tepat pada kakek tua ini. Dia pun melepaskan cengkeramannya dariku. Pikiranku kembali aktif.

Aku segera berbalik, dan menancapkan pisau kecilku pada bahunya.

“Arrrgh!” dia meraung-raung dengan keras. Tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku pun menyiramkan bensin yang kutemukan dan segera menyulut pemantikku lalu melemparkan kepadanya.

“Sialan kau bocah! Sialan! Dasar Balaraung sialan!!!”

Tak kuhiraukan dirinya. Aku berlari menyelamatkan diri ke luar dari bangunan itu.

*

Aku terjatuh setelah beberapa langkah berjalan, bangunan itu terbakar. Maklum, seluruh bangunan itu terdiri dari kayu. Mungkin karena itulah Samidi begitu mudah menjebolnya.

Dengan menahan rasa sakit yang masih menjalar ke seluruh bagian tubuhku, aku masih memasang alarm waspada. Siapa orang yang menembaknya tadi. Ya, memang karena itu aku bisa selamat, tapi bukan berarti dia tidak akan membunuhku juga. 

Diam-diam aku bisa merasakan bau nafs yang membusuk datang mendekatiku. Tapi dari orang ini juga tercium bau yang tidak asing bagiku, bau seorang yonui

Suara langkah kakinya semakin jelas kudengar. Dan tampaklah di hadapanku seorang pria berumur menenteng senjata api. Orang ini, bukankah dia kepala desa?!

“Bapak kelapa, eh kepala desa?”

Tanpa menunjukkan ekspresi sedih atau marah, dia memandangku.

“Aku tidak pernah menyangka akhirnya aku akan membunuhnya. Sejarah mengulangi jalan yang sama.”

Aku tidak mengerti.

“Bapak ini sebenarnya siapa?”

Bau Yonui yang dia miliki bisa kurasakan dengan kuat. Sepertinya dia orang yang banyak melakukan dosa namun juga melakukan kebaikan sebagai gantinya.

“Aku sama sepertinya. Sepertinya orang Tirambui yang muda tidak lagi belajar sejarah. Kami adalah spesies Homo Lugentivus. Kami bukan manusia biasa. Seperti orang-orang Tirambui, kami memiliki keunikan khusus bisa mengenali orang, tapi tidak lewat bau seperti kalian, namun melalui tatapan mata. Bila memakan darah, kekuatan kami bertingkat-tingkat lebih hebat.”

Oh sial, aku menyesal tidak mendengarkan Puak dengan baik saat dia mengajari sejarah dulu. 

“Kau lebih baik menyembuhkan dirimu. Esok hari aku akan mengumumkan bahwa terjadi kecelakaan pada Samidi sehingga dia membakar dirinya sendiri. Orang-orang desa akan sulit menerima bahwa pembunuhnya adalah Samidi.”

Diam-diam aku setuju dengannya. Tidak mungkin orang juga percaya dengan kejadian yang menimpaku barusan. Orang-orang seperti kami yang berbeda dari mereka, sangat sulit untuk dipercayai ada, walaupun secara biologis kami memang benar-benar ada. 

“Sebelum itu aku harus bertanya pada Anda. Ya, sebelumnya terima kasih sudah menyelamatkanku. Tapi kau juga memiliki bau yang sama busuknya dengan Samidi. Apa yang sebelumnya kau lakukan? Aku harus memastikan kau tidak akan seperti dirinya.”

Pria itu meletakkan senjatanya untuk mengambil rokok lalu menyulutnya. Pandangan matanya, terlihat sayu. 

“Aku sudah melakukan banyak hal buruk. Aku sedang mencoba memperbaiki itu semua.”

“Kalau begitu aku tidak akan tinggal diam saja. Aku akan terus mengawasimu.”

“Bisakah kau melakukannya dengan tubuh yang penuh luka seperti itu? Sembuhkanlah tubuhmu sendiri baru mengurusku.”

Aku tak bisa memperlama debat ini. Bukan karena aku kehabisan teknik untuk membuatnya menceritakan masa lalunya, tapi karena aku sudah tidak tahan dengan rasa sakit. Maka aku pun berpisah darinya yang sampai akhir masih kulihat, hanya menatap bangunan yang terbakar itu dengan sedih. Kulitnya berbau mawar, kalipnya juga berbau mawar, tanda bahwa dia sedang sangat bersedih hati. Mungkin Samidi adalah orang yang sangat dekat dengannya.

*

Sesampainya di kantor kelurahan aku dimarahi habis-habisan oleh Enja yang diam-diam kulihat khawatir. Dari mana kau, kenapa bisa terjadi seperti ini, kebodohan apa yang kau lakukan, dan kata-kata yang serupa terus saja mengucur dari mulutnya. Aku tidak menghiraukannya. Cukup sudah badan ini sakit, tidak perlu ditambahi dengan ucapannya yang memang selalu menyakitkan telinga.
Aku ingin beristirahat, tapi aku tetap kepikiran Kepala Desa tadi. Pasti tidak mudah baginya untuk menebus kesalahan yang pernah dia lakukan, bahkan dengan bau Yonui yang sekuat kemarin pun, nafsny masih berbau busuk, walaupun tidak sebusuk bau nafs Samidi.

Sebagai seorang Yonui, aku sama-sama memahami, untuk menebus kesalahan itu kami harus melakukan kebaikan yang sangat banyak. 

Sebab satu kebaikan tidak lantas bernilai sebagai sebuah kebaikan, bergantung pada niat dan selainnya, sementara sebuah keburukan, akan langsung menambah bau nafsmu semakin busuk.

Tapi apapun itu, aku menyukai bau Yonui yang muncul dari orang-orang yang berupaya memperbaiki kesalahannya. 

Wanginya memang tidak semanis mereka yang penuh dengan kebaikan, tapi bagiku, bau inilah yang lebih sesuai dengan seleraku. Adanya orang-orang Yonuilah yang membuatku tidak putus asa untuk memperbaiki kesalahanku. Lebih dari apapun, aku sangat ingin kembali ke desa. Bertemu dengan ibu dan bapak, yang sudah berselimut tanah.

*

You Might Also Like

1 komentar

  1. Bagus sekali cerpenya. Baru pertama ini saya menemukan alamat ini. Saya pikir orang2 dengan indra penciuman seperti itu memang ada 😃

    BalasHapus