catatan

Global Warming: Waktu untuk Merevitalisasi Transportasi Umum

21.29.00

Pasca menulis di melekin.id saya sempat hiatus beberapa saat, hingga saya melihat film terbaru Leonardo DiCaprio. Leonardo Dicaprio, aktor tampan yang banyak dikenal karena berperan dalam salah satu film romantis "Titanic" itu, dalam film dokumenter terbarunya tampak berpidato di hadapan para pemimpin dunia. Artis terkenal itu rupanya ikut dalam sidang PBB. Jauh hari sebelumnya, dia sudah berkeliling dunia, ke India, Indonesia, Amerika, Eropa, dan lain-lain untuk menjadi aktor sekaligus narator dalam sebuah film dokumenter, "Before the Flood". The message here is short and simple. Global warming is real, global warming itu nyata. Melihat film itu membuat saya tergugah--meski film itu tidak lepas dari banyak kritik--. Wah, sepertinya topik ini akan bagus untuk diulas jadi sebuah tulisan. Maka jadilah tulisan ini, dan kemungkinan beberapa tulisan berikutnya, yang akan membahas tentang global warming. Pada tulisan ini saya akan membahas apa itu global warming dan salah satu solusi yang saya pikir dapat menjadi alternatif untuk mengatasi masalah global warming.

Apakah Global Warming itu Nyata?

Global warming, menurut saya dapat didefinisikan sebagai sebuah proses dan sebuah keadaan. Sebagai sebuah proses, global warming adalah sebuah runtutan peristiwa atau kejadian yang menyebabkan keadaan suhu bumi meningkat, menjadi lebih hangat dan lebih panas dari pada kondisi sebelumnya. Sebagai sebuah keadaan, global warming adalah sebuah kondisi, a state, di mana suhu bumi secara umum relatif panas sehingga menyebabkan perubahan-perubahan iklim dunia. Dua definisi ini saling berkaitan, dan menurut saya saling melengkapi.

Berdasarkan dari pengamatan NASA, sebenarnya bumi kita ini memang mengalami pemanasan dan pendinginan secara teratur, alias memiliki siklus natural warming-and-cooling. Kita memiliki ‘gas rumah kaca alami’ yang ada di atmosfer bumi[1]. Bumi kita yang kecil ini mendapatkan cahaya dan energi panas dari matahari. Sekitar 30% dari cahaya dan energi panas matahari itu terpancar kembali ke luar permukaan bumi, sementara sisanya diserap oleh batu-batuan, tanaman, air, udara, gedung dan lain sebagainya. Benda-benda yang menyerap energi panas matahari di permukaan bumi ini, akan kembali memancarkan atau meradiasikan energi panas ke luar dari dalam dirinya, salah satu arah pancarannya adalah menuju atmosfer. Di atmosfer kita terdapat gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana dalam jumlah tertentu. Gas-gas pengikat energi panas ini, akan menyerap energi panas yang dipancarkan dari permukaan bumi tersebut. Saat mereka mendapatkan energi panas itu, molekul-molekul gas-gas tadi akan berubah menjadi semacam penghangat kecil, yang membuat mereka juga akan memancarkan kembali energi panas itu, sekalipun bila tidak ada api. Akhirnya kembalilah energi panas tadi ke permukaan bumi.

Bayangkan saja kita sedang bermain dakon. Biji dakon itu anggaplah sebagai energi panas, sementara cekungan-cekungan alias lubang dakon itu sebagai tempat energi panas itu dapat menetap. Anggap saja salah satu anggap saja bumi. Nah, gas rumah kaca itu, adalah tangan kita yang mengembalikan energi panas yang kita ‘ambil’ dari bumi, lalu kita kembalikan lagi ke ‘lubang’ bumi lagi setelah berkeliling dari lubang-lubang lainnya.

Bila jumlah gas rumah kaca yang ada di atmosfer sangat banyak, maka radiasi energi panas yang kembali ke bumi juga akan sangat banyak, sehingga terjadilah peningkatan suhu bumi yang cepat, alias global warming[2].
Grafik jumlah karbon dioksida dan metana dari tahun ke tahun hingga tahun 2000. Terlihat bahwa jumlah karbon dioksida dan metana terus mengalami peningkatan, kecuali metana untuk tahun 2000 terlihat mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Sumber: earthobservatory.nasa.gov 
Dalam salah satu mosi debat bahasa Inggris yang pernah saya ikuti, keabsahan global warming ini sempat dipertanyakan. Dan perdebatan ini pun juga ada di dunia nyata. Dari filmnya si Leonardo itu, digambarkan ada salah satu ilmuwan yang didiskreditkan karena menyimpulkan bahwa bumi semakin memanas, dan bahwa global warming adalah sesuatu yang nyata dan berbahaya. Bila kamu browsing di dunia maya dengan keyword ‘climate change denial’ pun akan banyak fenomena yang bisa dipaparkan mbah google tentang adanya perdebatan tentang global warming itu sendiri.

Perdebatan itu tentu bukan tanpa alasan. Bila secara ilmiah diakui bahwa global warming itu nyata, maka implikasi atau pengaruhnya akan merembet pada banyak hal. Kebijakan politik, perjanjian internasional, alokasi anggaran pemerintah, dan lain-lain akan menyesuaikan dengan pengetahuan yang diakui oleh pemerintah. Seperti misalnya, terjadinya kesepakatan Paris, untuk mengurangi tingkat emisi dunia-dunia yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Dalam hal ekonomi, bahan bakar yang berkontribusi besar dalam proses global warming ini tentunya akan cenderung dihindari oleh masyarakat global. Pola konsumsi akan berubah secara masif. Sebut saja produksi C02 (karbon dioksida), CH4 (metana), N02 (nitrogen oksida), akan sebisa mungkin dihindari. Tingkat konsumsi daging sapi misalnya, pasti akan mengalami penurunan sebab bila kita banyak mengonsumsi daging sapi, begitu buang air besar maka metana yang kita keluarkan akan banyak. Dan karena itulah, salah satu saran yang diusulkan oleh ilmuwan dalam film ‘Before The Flood’ itu adalah mengganti konsumsi daging sapi dengan daging ayam bagi orang-orang di Amerika. Siapa yang rugi? Tentu saja mereka yang punya kepentingan untuk mendapatkan uang dari situ.

Sejak tahun 1920, suhu bumi kita diketahui semakin meningkat, bila pun ada penurunan, rata-rata terjadi peningkatan suhu yang lebih tinggi[3]. Dalam prediksi tingkat panas yang paling tinggi, pada abad ke 21 ini akan terjadi peningkatan suhu sampai sekitar 4.8 derajat celcius[4]. Penelitian pada tahun 2015 yang dipublikasikan di jurnal Science oleh Karl et al., menambah kuat dugaan bahwa global warming itu tetap terus terjadi hingga abad ke 21 ini, dan pemanasan global itu akan semakin meningkat apabila kita tidak bertindak[5].
Grafik peningkatan suhu dari hingga tahun 2000. Terlihat bahwa mulai dari tahun 1920 terjadi peningkatan suhu bumi, dan sempat mengalami penurunan sekitar tahun 1950, namun mulai tahun 1980 meningkat secara drastis hingga 2000. Sumber: earthobservatory.nasa.gov

Apakah Global Warming Berbahaya?

Sekarang pertanyaan berikutnya, seberapa berbahayakah global warming itu? Apakah perubahan suhu bumi yang semakin memanas itu membahayakan kita? Jawabannya, iya. Perubahan suhu bumi yang semakin memanas akan menghasilkan dampak-dampak tertentu yang buruk bagi para penghuni bumi, termasuk kita sebagai spesies manusia yang memiliki tanggung jawab besar dalam mengatur bumi ini.

Dampak pertama adalah mencairnya es di kutub utara atau kutub selatan. Mencairnya es ini (dan sampai sekarang terus terjadi), akan meningkatkan permukaan air laut. Oleh sebab itu, maka potensi banjir di daerah tepi pantai akan semakin meningkat[6]. Pulau-pulau kecil bisa jadi tenggelam, dan lahan di daerah pantai bisa berkurang karena air laut meninggi.

Dampak berikutnya adalah daerah basah, alias sering hujan akan semakin basah, sementara daerah kering seperti daerah rawan curah hujan akan semakin kering[7]. Hal itu terjadi karena saat suhu bumi semakin panas, maka proses penguapan air akan semakin cepat. Di daerah yang curah hujannya tinggi alias tersedia banyak air di permukaan tanah, maka air akan cepat menguap, siklus hujan akan cenderung cepat terbentuk, maka hujan akan cepat turun pula. Sementara di daerah yang curah hujannya rendah, alias kering, yang memiliki jumlah air cenderung kecil, akan semakin sulit untuk menemukan air karena air di permukaan akan semakin cepat menguap. Dengan demikian, pada daerah yang basah, jumlah air akan semakin banyak, potensi banjir akan semakin meningkat. Pertanian atau perkebunan akan terpengaruhi oleh keadaan ini. Kegagalan panen akan semakin meningkat karena banjir dapat merusak tanaman mereka. Sementara pada daerah kering, air akan semakin sulit didapatkan. Kesulitan mendapatkan air ini tentu berdampak pada kesehatan dan harapan hidup orang yang berada di daerah tersebut. Memasak akan sulit, mandi akan sulit, minum pun juga pasti akan sulit.

Dampak berikutnya adalah potensi terjadinya heat waves, atau gelombang panas, juga akan semakin tinggi. Tidak hanya intensitasnya, kualitas dari gelombang panas yang terjadi pun juga tinggi. Heat waves adalah sebuah kondisi di mana suhu di sekitar kita terasa sangat panas, bahkan di malam hari sekalipun[8].  Bayangkan bila selama seminggu kita beraktivitas dengan kondisi lingkungan sekitar yang sangat panas, sampai 45 derajat celcius, bahkan lebih. Bayangkan bila heat waves yang terjadi di Mitribah, Kuwait[9], saat suhu lingkungan mencapai 54 derajat celcius kita alami selama satu minggu? Pernah lihat teman kita yang jatuh pingsan saat upacara bendera karena kepanasan? Kira-kira seperti itulah yang bisa kita alami. Yang paling buruk, kita bisa mati karena kepanasan.

Alhamdulillah pada tahun 2014, dalam laporan penilaian kelima Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), disimpulkan bahwa kemungkinan besar pengaruh manusialah yang menjadi faktor dominan terjadinya pemanasan (bumi) yang telah diamati sejak pertengahan abad ke 20[10]. In short, dari situ telah diakui bahwa terjadi pemanasan global, yang lebih lanjut diduga disebabkan oleh faktor manusia. Dalam Sustainable Development Goals, target ke 13 yang dicanangkan pun juga berkaitan dengan isu perubahan iklim, yang artinya, para pemuka dunia telah mengakui ada masalah perubahan iklim yang akan terjadi beberapa tahun ke depan[11]. Perjanjian Paris, yang berbicara masalah perubahan iklim dan tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasinya, juga telah disepakati oleh berbagai negara di dunia.

Global warming itu nyata, dan berbahaya. Kita adalah aktor yang menyebabkan hal tersebut, maka seharusnya kita pula yang melakukan tindakan untuk mengatasinya. Bukankah begitu?

Revitalisasi Transportasi Umum

Kota Tallinn di Estonia menerapkan transportasi publik tanpa biaya. Sumber: theguardian.com
Transportasi umum atau transportasi publik, dalam pandangan saya adalah kendaraan bukan milik pribadi atau milik pribadi yang digunakan untuk kegiatan bepergian oleh masyarakat umum dengan memberikan biaya sewa tertentu sebagai balas jasanya. Definisi ini saya ambil dengan melihat kenyataan di Indonesia, seperti penggunaan bus, taksi, ojek dan lain sebagainya. Sementara di negara lain, pengertian dengan biaya sewa tertentu itu bisa saja tidak berlaku, sebab public transportation bisa jadi gratis, seperti yang ada di Tallinn, ibu kota negara Estonia, atau Hasselt, Belgia[12].

Kendaraan yang biasa kita gunakan, seperti motor, mobil, dan lain sebagainya, merupakan salah satu sumber adanya karbon dioksida yang akhirnya berkelana ke atmosfer bumi kita. CO2 dihasilkan sebagai hasil pembakaran dari bahan bakar fosil (bensin, solar, dan seterusnya) dan aktivitas pabrik. Sekitar 65% gas rumah kaca adalah gas karbon dioksida[13]. Karbon dioksida merupakan gas rumah kaca paling banyak yang dihasilkan di dunia. Di Amerika Serikat sendiri, penyumbang terbesar kedua emisi CO2, berasal dari sektor transportasi, yaitu sebanyak 31%. Sementara dari hasil aktivitas elektronik sebanyak 37%[14]. Selain Amerika, China juga menjadi salah satu negara yang memberikan sumbangan terbesar dalam produksi CO2.

Secara prinsip, apabila kita mampu mengurangi jumlah kendaraan yang kita gunakan, atau mengganti kendaraan yang menghasilkan gas buang berupa CO2 dan sejenisnya, maka kita juga dapat mengurangi produksi CO2. Dampaknya adalah, lambat laun kita dapat mengurangi jumlah gas rumah kaca yang ada di atmosfer, dan mengembalikan atau menjaga suhu bumi kita agar tidak semakin panas lagi. Bagi saya sendiri, gagasan ini patut untuk diperjuangkan. Tentu saja dengan melakukan tindakan-tindakan lain yang juga akan berperan besar untuk mengurangi produksi gas rumah kaca, seperti mengurangi tingkat konsumsi bahan bakar fosil dan lain sebagainya.

Kendaraan di Indonesia

Di Indonesia, data terakhir dari BPS pada tahun 2015 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 121.394.185 unit[15]. Dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, terus terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia. Sejak tahun 2009, peningkatan kendaraan bermotor kurang lebih mencapai 10 juta per tahun dan terus konsisten hingga terakhir di tahun 2015. Peningkatan paling tinggi selalu dialami oleh sepeda motor. Bahkan, sejak tahun 1996, sepeda bermotor sudah berjumlah 10 juta, paling tinggi dibandingkan dengan kendaraan lain yang didata oleh BPS. Jumlah itu secara konsisten terus mengalami peningkatan hingga tahun 2015. Walaupun demikian, jumlah mobil penumpang juga banyak, sekitar 13 juta di akhir tahun 2015. Jumlah kendaraan sebanyak itu, saya rasa menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia lebih menyukai menggunakan kendaraan pribadi untuk mendukung berbagai aktivitas kesehariannya. Bahkan sejak sekolah, anak-anak kita sudah diajari dan diperbolehkan untuk membawa motor sendiri untuk bersekolah bukan?

Melekatnya kendaraan dengan kehidupan kita sehari-hari bukanlah tanpa sebab. Di jaman modern ini, kita dituntut untuk semakin cepat, efisien, dan menghasilkan banyak karya dalam waktu yang sedikit. Kerja dari jam 8 pagi, pulang jam 5 sore, di rumah mengerjakan deadline untuk esok hari. Anak-anak yang masih sekolah pun, juga memiliki rutinitas yang sama. Tuntutan tepat waktu dan disiplin membuat kita harus memiliki teknologi yang mampu membuat kita berpindah tempat dengan cepat, dan fleksibel sesuai dengan keinginan kita. Sangat menyulitkan bukan, apabila kita harus berangkat ke sekolah atau bekerja jam 8 pagi, namun tidak memiliki kendaraan dan harus mengantre lama di bis? Beruntung kalau sampai di kantor atau sekolah tepat waktu, kalau sudah menunggu dan antre dari pagi namun sampainya kesiangan, ya itu namanya cobaan hidup. Efisiensi dan kemudahan itulah yang membuat kendaraan pribadi, khususnya motor di Indonesia menjadi pilihan utama bagi mayoritas masyarakat kita.

Mewujudkan Transportasi Umum yang Menarik

Apa yang membuat masyarakat mau dan senang menggunakan transportasi publik? Tentunya apabila mereka juga mendapatkan kemudahan dan efisiensi yang serupa dengan apabila mereka menggunakan kendaraan pribadi. Semakin jauh jarak yang harus mereka tempuh, rata-rata masyarakat akan memilih untuk menggunakan kendaraan umum seperti kereta api, pesawat, dan lain sebagainya. Kecuali apabila mereka memiliki mobil sendiri, biasanya masyarakat kita akan lebih memilih menggunakan mobil itu untuk bepergian. Hal ini menunjukkan bahwa kenyamanan dan fleksibilitas masih menjadi pilihan utama dari masyarakat kita.

Bagaimana caranya, agar masyarakat mau mengubah pola berkendara mereka?

Tentunya, transportasi publik harus menjadi nyaman untuk masyarakat. Kenyamanan itu bisa datang dari banyak hal, baik dari segi fisik kendaraan itu sendiri, atau dari segi pelayanan yang diberikan, atau yang lain. Dari segi fisik, misalnya, tempat duduk harus nyaman. Jarak antar penumpang tidak boleh terlalu sempit. Ruang kendaraan juga harus bersih, bahkan wangi, dan juga adem alias tidak gerah. Sopir harus ramah, bahkan kalau bisa lebih ramah dari mbak-mbak penjaga kasir di pasar-pasar. Faktor harga juga tidak kalah penting. Harga boleh mahal asalkan pelayanannya nyaman, tapi secara alami, semakin murah pasti akan semakin banyak orang yang membeli.

Berikutnya adalah masalah tata kota. Banyak orang menggunakan kendaraan itu untuk bekerja, belanja, mengantarkan anaknya sekolah, dan lain sebagainya. Untuk memangkas faktor jarak, maka posisi kantor, sekolah, tempat berbelanja, dan lain sebagainya dapat ditata sedemikian rupa sehingga tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh sekali jalan. Memang untuk merealisasikannya dapat dipastikan membutuhkan biaya yang sangat besar. Namun sebaiknya pemerintah yang merintis pembangunan di daerahnya memerhatikan penempatan ruang-ruang publik tersebut.

Untuk menjembatani masalah di atas, maka perusahaan atau sekolah dapat memberikan fasilitas antar jemput dengan menggunakan kendaraan yang dimiliki oleh sekolah atau perusahaan itu. Apabila di tengah kerja mereka harus pergi mendadak, dapat dijembatani dengan memberikan kendaraan umum yang dapat disewakan pada para karyawannya. Dengan demikian mereka masih tetap dapat bepergian dengan fleksibel walaupun di tengah jam kantor.

Fleksibilitas memang faktor paling utama yang membuat masyarakat memilih kendaraan pribadi untuk menunjang kenyamanannya berkendara. Namun, saya percaya sebagian besar masyarakat kita masih memiliki kesadaran yang tinggi dan masih memiliki kepedulian yang besar untuk menjaga lingkungan kita agar tidak rusak. Sosialisasi dan penyadaran, melalui lembaga-lembaga pendidikan, sosial media, peraturan pemerintah, dan jalan lain saya ras mampu untuk meningkatkan kesadaran bersama akan pentingnya menjaga lingkungan kita agar tidak terjadi kerusakan alam.

Secara prinsip, ada banyak pihak yang harus berperan. Pemerintah menyediakan infrastrukturnya, perusahaan atau sekolah atau ruang publik lain dengan kebijakannya masing-masing, serta masyarakat dengan kerelaannya untuk mengubah gaya hidup saat ini menuju gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.

Sebagai salah satu manusia yang mengemban amanah untuk mengelola lingkungan, saya berpikir inilah saatnya untuk menjaga keseimbangan alam.

----

[1] Global Warming, 20:24 WIB, 5 April 2017.
[2] Global Warming, 20:24 WIB, 5 April 2017.
[3] Global Warming, 20:20 WIB, 5 April 2017.
[4] IPCC Fifth Assesment Report, 2013, hlm. 20. Diakses dari 20:00 WIB, 5 April 2017.
[5] Karl et al., "Possible artifacts of data biases in the recent global surface warming hiatus", Jurnal Science, vol. 348, isu 6242, hlm. 1469-1472, 26 Juni 2015. Didapatkan dari sini, diakses pada 20:33 WIB, 5 April 2017.
Penelitian ini, menurut John J. Bates adalah penelitian yang tidak absah karena menggunakan data-data yang ‘terlalu dipaksakan’. Pembaca bisa melihat pendapat beliau di sini. Namun peneliti lain membela hasil penelitian Thomas R. Karl ini, pembaca dapat melihat di sini.
[6] Global Warming 101, 19:40 WIB, pada 6 April 2017.
[7] Are effects of global warming really bad? 19:53 WIB, pada 6 April 2017. 
[8] Heat Waves Details, diakses pukul 20:08 WIB, pada 6 April 2017.
[10] IPCC Fifth Assesment Report, 2013, hlm. 16, 20:00 WIB, 5 April 2017.
[11] Sustainable Development Goals, 20:34 WIB, 5 April 2017.
[13] Global Emissions by Gas, 21:17 WIB, 6 April 2017.
[14] Overview of Greenhouse Gases, 21:21 WIB, 6 April 2017.