Filosofi Sopir dan Kenek Bus

18.30.00

Sumber gambar : kaskus.us


*

Ini hanyalah sekedar tulisan melepas penat di tengah deadline. Walaupun ada embel-embel filosofi jangan terlalu berharap Anda akan mendapatkan isi konten yang mencerahkan hidup Anda, bisa digunakan sebagai quote lalu dipajang di DP BBM, share di instagram, atau yang lainnya. Tapi kalau di-forwardin sedikit-sedikit boleh lah. Tidak dipungut biaya kok.

*

JADI, ceritanya saya sedang mengalami gejala hedonic treadmill di tengah mengerjakan deadline. Biasanya saya semangat, bahkan saking semangatnya, biasanya tanya jawab asumsi soal belum selesai saya sudah mengumpulkan deadline duluan. Ini betul terjadi lo rek, tapi nggak usah ditiru ya. Hanya orang-orang golongan tertentu yang bisa melakukannya. Setidaknya kamu perlu puasa 40 hari 50 malam supaya bisa mencapai tingkat keahlian semacam ini.

Nah, entah ada angin apa, saya tiba-tiba jadi ingin mandi di sore hari. Padahal biasanya saya tak pernah mandi. Lalu mandilah saya, jebur-jebur, srek srek, lalu selesailah dalam waktu kurang lebih 2 menit. Di tengah itu, saya jadi teringat masa lalu saya, saat masih halus kulit wajahnya tanpa jerawat, yang pernah memiliki keinginan dan cita-cita serta harapan untuk menjadi seorang kenek bus. Tahu kenek bus kan? Iya, yang itu lo.

Waktu kecil saya sangat sering bepergian naik bus dengan kakek. Maklum, untuk mengisi waktu vakum dari sekolah selama satu tahun karena saya nggak mau sekolah, kakek saya yang baik itu mengajak saya bepergian ke berbagai tempat. Mungkin orientasinya adalah untuk mengenalkan saya dengan berbagai macam social environment, dengan demikian muncul keberanian dalam diri saya untuk bergaul, lepas dari Ibu ataupun kakek saya sendiri. Kami pergi ke berbagai kota, naik bus Sumber Kencono, Mira, Eka, dan merek-merek lain yang waktu itu tarifnya masih murah. Apalagi cuma dari Madiun ke Ponorogo, Magetan, atau Solo saja. Kami berangkat pagi, dan pulang di sore hari. Di tengah perjalanan berhenti di terminal untuk mencari warung bakso, lalu makan dua porsi, satu untuk saya, satu lagi untuk kakek, walaupun lebih sering dua-duanya untuk saya sendiri sementara kakek memilih makan di rumah atau minum air putih saja. Tak lupa kakek mengajak saya untuk sembahyang di musola terminal. 

Karena sering duduk di depan, dekat dengan kenek dan sopir bis, saya selalu mengamati bagaimana mereka bekerja. Kenek bus, yang biasanya mojok di pinggir depan kiri atau pinggir kiri belakang itu, setidaknya memiliki beberapa job description atau pekerjaan-pekerjaan khusus. Pertama, meneriakkan kepada penumpang yang berada di sekitar terminal, tentang tujuan bus itu. “Ponorogo-ponorogo! Madiun-madiun! Jombang-jombang!” dan seterusnya, tergantung destinasi bus itu sendiri. Nah, bila sudah berteriak, berikutnya adalah menawari. “Ponorogo Mbak? Jombang Mas? Gresik Mbok?” dan seterusnya. Tunggulah, bila para penumpang sudah terbius dan akhirnya mau naik, pekerjaan berikutnya adalah mencarikan tempat duduk. Dan ini sulit bukan main apalagi kalau tempatnya sudah penuh! Bahkan kalau sudah terdesak mereka akan memasang wajah polos untuk membujuk dan meyakinkan bahwa ada yang kosong, padahal aslinya sudah overkuota. Nah bila sudah, untuk sementara pekerjaan mereka berakhir. Namun mereka harus beraksi lagi apalagi sang sopir punya niat untuk menyalip. Sang kenek harus siap sedia untuk menjadi mata kedua bagi sang sopir, mencari haluan yang pas dan menilai apakah layak untuk menyalip atau tidak. Di sinilah mereka bermain kode, yang kadang kala saya tak memahami maksudnya. Ada yang mengatakan, “Ok bos!”, “Lanjut!”, “Terus!”, “Tabrak ae!” (Tabrak Saja!!) dan selainnya. Lalu pekerjaan terakhir adalah menarik biaya perjalanan tentunya.

Nah, di sisi lain, sang sopir, walau terkesan hanya duduk sambil menggerak-gerakkan tangan ke kiri dan ke kanan sambil nginjak-nginjak pedal di bawah, sebenarnya juga tak kalah susah. Mereka harus fokus, memperkirakan kecepatan, mengatur kapan ngerem, dan sebisa mungkin membuat penumpang enjoy dengan perjalanan mereka. Karena kenyamanan penumpang adalah dari bagaimana perjalanan terlalui, sob. Saya yang kecil saya tahu, bahwa pengemudi yang mengemudi dengan aman, pelan-pelan, membuat saya dapat menikmati perjalanan. Tapi memang di sini menjadi dilema tersendiri bagi sang sopir, kalau kebetulan penumpangnya keburu-buru biasanya dia didesak untuk cepat-cepat, nah sementara bila dia yang keburu-buru, penumpangnya ngotot untuk pelan-pelan saja. Yang jelas, nyawa dan masa depan para penumpang itu ada di tangan sopir.

Tapi sebenarnya ada tanggungan moral, atau etika, yang melekat pada sopir ataupun sang kenek bus. Seperti misalnya membantu mengurusi para penumpang yang biasa ada masalah, baik sakit seperti mual, atau sakit dalam arti jiwanya yang sakit. Saya pernah lo, menjumpai seorang penumpang yang sepertinya menderita demensia (gangguan ingatan atau kepikunan), tidak tahu jalan pulang ketika naik bus, akhirnya dia sedih dan meminta bantuan kenek bus dan sopir bus itu. Beruntung kalau mereka baik, sebisa mungkin akan diupayakan untuk diantarkan pulang, tapi kalau mereka sudah fokus untuk mencari uang saja, biasanya akan ditinggalkan begitu saja orang-orang itu, di pinggir jalan, yang penting uang sudah masuk. Belum lagi kalau sudah ada pengamen yang masuk, sang kenek bus harus sigap memutuskan kapan mereka turun, apakah mereka boleh berada di dalam bus, bagaimana menolaknya, dan seterusnya. Dan lagi, ternyata sopir bus itu juga bertanggung jawab terhadap makan kenek busnya lo, tapi ini hanya saya jumpai di beberapa bus sih. Jadi selesai mereka narik, ada uang yang biasanya disediakan untuk kenek dan sopirnya makan, nah ini biasanya di bawa oleh sang sopir, atau kalau tidak ya mandornya.

Lalu di mana filosofisnya?

Duh, itu sendiri yang sedang saya pikirkan. Saya menulis kadang kala hanya untuk memaparkan masalah saja. Hahaha. Tapi jangan khawatir, buat yang sudah terlanjur baca mungkin bisa memahami setidaknya hikmah yang saya tarik dari sistem per-bus-an tersebut. Saya melihat bus sebagai analogi masyarakat.

Para penumpang adalah rakyat, yang memiliki tuntutan dan kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi. Mereka memasrahkannya pada kenek dan bus, yang dianggap memiliki kemampuan untuk mencapai kebutuhan yang mereka inginkan. Karena itulah mereka menyetorkan modal/fee bagi sopir dan kenek itu, berupa bayaran. Bila sistem ini boleh dibatasi sebatas ini saja, dengan mengabaikan pihak pemilik modal bis secara makro, atau perusahaan bis itu, maka dapat dianggap bahwa kenek dan sopir bis itu sebagai mereka yang mengomandani jalannya bis itu, atau dengan kata lain mereka yang diamanahi tanggung jawab untuk mewujudkan kebutuhan masyarakat sesuai dengan sektor yang mereka pilih. Ada kenek bus dan sopir bus bagian politik, ada yang di ekonomi, ada pula yang di pendidikan, dan seterusnya. Memang realitas ini tidak sepenuhnya analog, namun bagi saya pribadi, itulah kesan yang saya dapatkan dari menghayati sistem per-bus-an itu.

Ternyata motif dari para kenek dan sopir itu pun dapat mempengaruhi jalannya bis atau sistem itu sendiri. Kenek dan sopir yang fokus untuk mencari duit akan mengabaikan para penumpang yang membutuhkan bantuan untuk pergi ke tujuan yang diinginkan, mereka akan mengabaikan apa yang dibutuhkan oleh para penumpang itu. Sementara kenek dan sopir bis yang punya niat untuk membantu para penumpangnya, akan berusaha mengantarkan mereka ke tempat tujuan bila memang dibutuhkan. Nah, artinya, bisa jadi, sistem buruk bukan karena sistemnya, namun karena orang-orangnya. Artinya, biar busnya bagus (tidak hanya cari duit tapi juga memiliki dimensi untuk menjadi altruis), juga perlu di isi dengan kenek dan sopir yang bagus.

Pun demikian, di sistem politik, di sistem pendidikan, di sistem hukum, bila orientasinya untuk mencari duit, maka semua sistem yang disusun akan bekerja untuk mencapai orientasi para pemegang kendali di sana. Bila orientasi diubah, maka jalannya sistem itu dan dampaknya terhadap para penumpang (baca: masyarakat) kemungkinan besar bahkan pasti akan berbeda pula. Saya pikir saya dan teman-teman yang membaca kelak akan menjadi kenek ataupun bus di salah satu sistem sosial yang ada di masyarakat, dan menjadi penumpang di sistem sosial yang lain. Misalnya, di sistem hukum Anda memilih jadi sopir (hakim, jaksa, dan seterusnya), sementara di sistem ekonomi Anda memilih jadi penumpang (mengikuti kebijakan para ahli ekonomi). Motif Anda ketika jadi kenek ataupun sopir dalam tiap sistem tersebut akan menentukan bagaimana nasibnya para penumpang yang Anda pegang.

Singkatnya begini, kita kelak akan memikul tanggung jawab yang besar. Pekerjaan seremeh apapun itu, bahkan jadi kenek bus betulan saja, saya rasa punya tantangan masing-masing dan untuk menjadi ahli di tiap bidang itu Anda harus melalui berbagai perjuangan. Setidaknya yang paling sedikit saja, Anda harus merelakan waktu untuk tidak menjalani aktivitas lain yang menyenangkan. Kenek dan para sopir yang tiap hari hidup di jalanan itu, harus mengorbankan hampir 18 jam hidupnya hidup di jalanan, mengabaikan keluarga yang di rumah, mengabaikan kesempatan untuk nonton di bioskop, mengabaikan kesempatan untuk leha-leha di taman, semata-mata agar mereka dapat menjalani pilihan yang mereka pilih. Kalau kamu memilih jadi sopir atau kenek di bidang hukum (baca: konsultan hukum, dan selainnya) kamu harus mengorbankan kesempatan untuk mempelajari sastra yang asyik bukan main, dan seterusnya.

Nah, begitulah realitasnya. Saya sudah memilih akan jadi kenek, biar seseorang yang kelak mengisi posisi jadi sopir, di bidang yang saya pilih. Kamu memilih yang mana? Apa motifmu berada dalam sistem itu? Mau kamu bawa ke mana penumpang kita *eh?



Teruskan belajarmu, sampai jumpa di terminal kelak. Hohoho. 

*

Surabaya, 15 September 2016. 

You Might Also Like

0 komentar