catatan

Lima Belas Ribu untuk Simbah

18.43.00

‘Kota’ Caruban semakin hari semakin berkembang. Pembangunan jalan tol, alun-alun kabupaten, hingga pembangunan kantor pemerintah. Tak jauh dari sekolah SMA saya dulu, lahan sawah di sebelah utara jalan yang semula luas membentang harus mengalah sedikit dengan kemajuan zaman. Sejak saya masih kelas 11, lahan sawah yang ada di utara jalan itu sudah mulai diubah untuk mengikuti tata ruang pembangunan daerah.

Walaupun perubahan semakin menjadi, ada pula yang masih tetap seperti dulu. Perubahan-perubahan lainnya antara lain; adanya lampu merah di perempatan sesudah toko buah, dekat dengan lapangan yang sering dibuat untuk pasar malam; di dekat pertigaan jalan di samping kiri SMAN 1 Mejayan sekarang pun juga sudah dibangun lampu merah; sebagian tempat yang dulu merupakan pasar Caruban, sekarang sudah disulap menjadi taman kota. Sepertinya tak lama lagi Caruban akan menjadi pusat ekonomi di Kabupaten Madiun. Sepertinya sih begitu. 

Sementara yang masih tetap keadaannya pun tak kalah banyak. Jalan Raya Ngawi di depan RSUD Caruban, masih ramai dengan truk dan bis. Di jalan Raya Ngawi itu ada sebuah kompleks pertokoan. Berjejer-jejer dari ujung ke ujung berbagai macam toko; dari toko telepon genggam, pakaian, sablon, dan lain sebagainya. Ada pula pedagang kaki lima yang mengadu nasibnya dengan berjualan di depan kompleks toko yang sedang tutup. Memanfaatkan tiadanya pemilik toko itu untuk menyulap kompleks pertokoan yang saya kira pasti mahal harganya itu, menjadi sebuah atap dadakan bagi para pembeli.

Siang tadi, setelah pulang dari Madiun melalui jalan raya Wonoasri yang juga tak luput dari pembangunan, saya sempat mampir di salah satu toko telepon genggam  di jalan raya Ngawi itu untuk membeli sim card baru. Kartu sim yang saya pakai selama ini, sangat sulit mendapatkan sinyal bila saya sedang berada di rumah. Akibatnya aktivitas-aktivitas yang memerlukan koneksi internet sangat sulit saya lakukan. Padahal, saya termasuk orang yang tergantung dengan internet. Tanpa internet hidup saya hampa, halah. Tidak seekstrem itu juga, sih. Tapi memang tanpa internet saya agak kesulitan menjalankan aktivitas sehari-hari. 

Sambil menunggu mas-mas yang sedang mengaktifkan kartu sim yang baru saya beli, kedua mata saya tergiur oleh segarnya es oyen yang sedang dibungkusi oleh si kakek penjual untuk pembelinya. Porsinya cukup besarlah, tidak terlalu sedikit. Dengan harga 5000, lebih murah seribu rupiah dari pedagang di tempat lain, saya rasa sudah cukup pantas. Kakek itu merupakan salah satu pedagang keliling yang sepertinya cukup sering berada di tempat ini. Sebabnya yang membeli cukup banyak; ada tiga orang seingat saya yang sedang antre ketika saya mengamati beliau. Kalau tidak sering berada di sini, tidak mungkin ada banyak orang yang antre. 

Namun tidak berhenti di situ mata saya jelalatan. Di samping kakek ini, ternyata terdapat pedagang asongan lainnya yang juga tengah mengadu nasib dengan berjualan banyak hal; kerupuk beras, tape, singkong, dan lainnya. Beliau mengenakan baju khas perempuan Jawa (seperti batik itu, aduh lupa namanya) berwarna biru laut. Dengan jarik cokelatnya dia duduk bersandar di pintu geser toko yang sedang tertutup. Di kepalanya terlilit sebuah kain berwarna abu-abu. Saya menduga itu adalah sebuah selendang, atau entah apa.

Kulit nenek itu sudah berwarna cokelat kehitam-hitaman. Wajahnya sudah sangat keriput, tulang pipinya sampai terlihat. Rambutnya juga sudah banyak beruban, bahkan tidak tersisa warna hitam di kepalanya. Semua rambutnya berwarna putih keabu-abuan. Bibirnya berwarna merah pucat, bahkan cenderung abu-abu hitam. Giginya sudah banyak yang ompong, tersisa sekitar empat atau lima gigi di sisi depan yang terlihat seperti tombak runcing yang sudah rapuh. Barang-barang yang ia jual di letakkan di atas sebuah kardus minuman gelas yang sudah tidak terpakai.

“Piroan mbah?” 

Ujar saya dalam bahasa Jawa Ngoko. Artinya kurang lebih berapaan Nek?. 

“Opone le?”

Balasnya dengan sedikit menyipitkan matanya sambil melihat ke arah saya. Apanya Nak, kira-kira begitu yang beliau katakan. Dia menggeser tubuhnya mendekati saya. Mungkin suara saya terlalu lembut sehingga beliau sulit mendengar apa yang saya ucapkan. 

Dengan telunjuk tangan kanan saya menunjukkan bahwa yang saya maksud adalah kerupuk beras yang beliau jual. Bukannya menjawab berapa harganya, saya malah ditanya tersisa berapa. Maka saya pun menghitung jumlah bundelan kerupuk beras yang ada. Rupanya jumlahnya sepuluh bungkus. 

“Sepuluh Mbah.”

“Oooh, sepuluh.”

Setelah itu beliau malah terdiam. Karena bingung apa yang mesti saya lakukan, maka langsung saja saya bertanya, “Sepuluh ribu Mbah?”

“Wooh, ya jangan.”

“La terus berapa Mbah?”

“Seperti biasanya. Kalau yang buat perempuan, seribu lima ratus satu bungkus. Berarti sepuluh dikali seribu lima ratus.”

“Lima belas ribu berarti ya Mbah?”

Saya baru mengerti bahwa sebenarnya nenek ini berharap saya akan membeli seluruh kerupuk beras yang ia jual. Saya berpikir, jangan-jangan memang hanya sepuluh bungkus ini saja yang ia jual. Sebab dari tali rafia yang ia gunakan untuk mengikat bungkus-bungkus kerupuk beras itu, terlihat sangat pas untuk sepuluh bungkus kerupuk. Dan tidak ada tanda-tanda ada bungkusan kerupuk yang sudah diambil sebelumnya. 

“Rumahmu di mana lo?”

“Saya? Saradan Mbah. La kalau Simbah di mana?”

“Ooh, aku Dumpil le. Sudah pernah ke sana?”

Saya tidak asing dengan kata ‘Dumpil’, namun saya lupa tempat itu ada di mana. Menurut adik saya yang lebih familier dengan daerah sekitar Caruban. Rupanya Dumpil adalah salah satu nama daerah di Balerejo. Balerejo dengan tempat ini, saya kira jaraknya lumayan jauh. Paling tidak kalau berjalan kaki bisa pegal lah. 

“Hahaha. Belum Mbah. Ya nanti kapan-kapan saya ke sana ya Mbah.”

Saya merogoh saku kanan jaket hitam saya. Ternyata hanya terdapat selembar sepuluh ribuan dan beberapa koin yang tidak terdefinisikan jumlahnya. Tidak enak karena sudah membuat beliau berharap, maka saya pun mencari-cari uang lain di dalam tas kecil yang saya bawa. Alhamdulillah, ada satu lembar lima ribuan yang sudah sangat kumal seperti wajah saya. 

“Lima belas ribu ya Mbah.”

Kemudian saya menyerahkan dua lembar uang itu. 

Oleh karena beliau tidak memastikan lagi berapa jumlah bungkus kerupuk beras yang saya beli, maka saya sendiri yang menghitung ulang benarkah jumlah kerupuk beras yang ada di hadapan saya itu berjumlah sepuluh bungkus. Satu per satu saya hitung kembali, dan untungnya tepat sepuluh sebagaimana yang saya bilang sebelumnya. Dari situ, maka saya menduga nenek yang saya hadapi saat ini juga menderita rabun. Dari bola matanya yang sudah sayu itu, memang kelopak mata hitamnya cenderung berwarna abu-abu, tidak hitam sepenuhnya. Dengan kata lain, nenek itu sebenarnya tidak tahu betul berapa jumlah kerupuk beras yang ada dan memercayakan sepenuhnya pada saya untuk menghitungnya. Waduh saya jadi khawatir, kalau-kalau saya salah menghitung, sudah pasti nenek itu akan terdzalimi. 

“Nggak beli tapenya sekalian Nak? Satu saja deh, delapan ribu gitu.”

Sekejap saya langsung menolak. Bukan karena tidak ingin membeli, namun karena saya sudah tak punya uang. Dua ratus ribu pemberian ibu sudah lenyap saya belikan bensin; kartu sim; dan headset yang harganya lumayan menguras kantong. Setelah itu kami sedikit tawar menawar; berapa saja deh, itu yang ada di kantong sini buat simbah; nggak usah ya mbah; dan seterusnya. Pada akhirnya, perdebatan saya menangkan. Hohoho. 

“Sudah itu saja ya Mbah. Saya pamit dulu.”

“Iya le. Iya.”

Dengan membawa sepuluh bungkus kerupuk beras itu saya pulang. Sementara nenek itu masih terus berjuang menunggu dagangannya laku terjual. Semoga modernisasi kota Caruban ikut pula membawa jaminan hari tua yang lebih layak bagi mereka yang saat ini kesulitan menyambung hidup. Semoga ada orang lain yang segera membeli tapemu, Nek.

cerpen

Bau Yonui

08.29.00

*

Jika kamu dapat mengetahui isi hati seseorang, apa yang akan kamu lakukan? Kalau aku, akan menggunakannya untuk menangkap penjahat.

*

Orang-orang di Desa Tirambui sore itu berkumpul di lapangan bekas persawahan yang sudah kering. Tanah itu sudah lama tidak digunakan untuk menanam padi atau tumbuhan palawija lainnya. Sekitar sepuluh orang pemuda dan pemudi, duduk berlutut di atas tanah. Kepala mereka menunduk ke bawah, pandangan mata mereka lurus menghadap tanah. Seorang Tetua di tanah itu, dengan topi kecapinya menyiramkan air sungai Kamboja dari atas kepala mereka. Namanya Paman Bawang. Setelah itu mulutnya berkomat-kamit. Ia sedang merapal doa-doa warisan leluhur yang sampai sekarang masih terukir dalam ingatannya.

Apa yang terjadi pada para pemuda dan pemudi itu merupakan prosesi pelepasan mereka. Setelah ritual selesai, mereka akan dianggap sebagai orang dewasa. Setelahnya mereka bertanggung jawab sepenuhnya atas diri mereka sendiri, serta apa yang mereka lakukan di masyarakat kami. Mereka harus membuat rumah sendiri, terpisah dari orang tua mereka. Orang tua mereka menangis haru. Kalau aku punya anak seperti mereka, mungkin aku juga akan menangis. Aku hanya bisa menatap dari kejauhan, sebab orang yang sudah dikeluarkan dari desa, tak boleh satu kali pun menyentuhkan kakinya ke atas tanah Tirambui. Siapa yang mendatangi desa lagi, maka para Bebenit akan mengejar lalu membunuh kami.

Orang-orang di desa kami memiliki sebuah bakat alami. Selama kamu memiliki hubungan darah dengan suku Tirambui, kamu pasti memiliki bakat tersebut. Bakat itu adalah sebuah indra penciuman yang tajam, hingga mampu mencium aroma jiwa seseorang. Mereka yang berjiwa bersih, wanginya adalah seperti bunga melati. Anak-anak muda akan berwangi seperti bau jeruk yang sudah matang, sementara orang yang bijak akan beraroma seperti buah kelapa yang sudah masak. Perawan, perjaka, janda, duda, masing-masing memiliki aroma warna tersendiri. Masing-masing dari kami memiliki tingkat kepekaan atas bau yang berbeda-beda. Sepuluh orang yang memiliki penciuman paling tajam di desa ini, adalah mereka yang biasa kami sebut sebagai Pasukan Balaraung. Merekalah penjaga desa kami, dari setiap orang yang berniat buruk, atau memiliki dosa besar, dan layak untuk dikeluarkan dari desa agar tidak terjadi kekacauan. 

Kakakku yang bernama Simbal, adalah salah satu dari Balaraung. Tiap hari ia mengitari desa dan berjaga-jaga. Pernah suatu ketika dia mencium bau yang teramat busuk, menandakan ada orang yang hendak berbuat jahat. Dan ternyata benar, setelah ditelusuri, orang yang dibau itu hendak membunuh seseorang. Maka dengan cekatan Simbal segera menangkapnya, lalu membuatnya mengaku. Kemudian orang itu diberi hukuman keluar dari desa, Oh iya, bau yang kami cium dari seseorang biasanya ada tiga lapis bau. Bau pertama adalah bau kulit, yaitu bau yang dimunculkan oleh orang itu ketika bergaul dengan orang-orang. Bau kedua adalah bau kalip, yaitu bau yang menunjukkan apa yang sebenarnya ada di pikiran dan perasaan orang itu ketika sedang berhubungan dengan orang lain. Dan bau yang ketiga, dan yang paling sulit untuk dideteksi adalah bau nafs, yaitu bau jiwa seseorang. Untuk bisa mencium bau nafs, kami harus menempuh latihan berkali-kali, sekalipun itu merupakan bakat alami yang kami miliki. Orang-orang yang memiliki bau nafs busuk seperti bangkai, menunjukkan betapa kotor dan bejatnya orang itu. Tentu seiring perbuatan baik yang dia jalani, bau itu juga akan berubah. Tapi ada satu bau baru yang akan muncul bila orang yang berdosa itu mulai menyadari kesalahannya dan kemudian berbuat baik. Bau itu adalah bau Yonui. Bau itu, katanya hanya bisa dicium oleh orang-orang khusus saja, yaitu mereka yang sama-sama sudah memiliki bau itu. Bau Yonui berbeda dengan bau nafs, walaupun mereka bisa saling berhubungan.

Selesai upacara itu aku segera membalikkan badanku dan berjalan secepat mungkin menuju kendaraan yang kuparkir di kejauhan. Teringat olehku upacara pengusiranku, ketika aku tertangkap hendak membunuh orang di desa seberang. Setelah itu, aku tak lagi boleh datang ke desa ini. Bapak dan Ibu terlihat kecewa, dan aku pun begitu.

*

Matahari masih malu-malu menampakkan kecantikan wajahnya, namun kantor sudah berisik dengan suara mesin ketik yang tak capek bergoyang. Perempuan di sebelahku masih saja menggerutu.

“Pak Uli, mengapa bapak yakin sekali bahwa Joseph adalah pembunuhnya?”

Anita, polisi muda yang menemaniku kali ini bertanya penasaran. Di tangannya tergenggam buku catatan dan pulpen hitam yang tintanya sudah hampir mengering.

“Bukannya terlihat jelas dari gurat wajahnya yang penuh dengan kecemasan saat kita menginterogasinya?”

Tanyaku balik. Tentu tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku sangat yakin dia adalah seorang pembunuh karena bau nafsnya sangat busuk.

“Tapi kecemasan itu bisa terjadi karena banyak hal Pak. Bisa saja kan dia cemas karena takut berikutnya akan jadi korban? Kenapa Bapak meyakini kecemasan itu sebagai tanda dia membunuh seseorang dan takut diinterogasi?”

Aku hanya mengangkat bahuku pelan.

“Ya kita lihat saja nanti. Mau taruhan kah?”

“Dih Pak Uli ini. Dilarang negara Pak!”

Aku tertawa kecil.

*

Anita adalah perempuan yang baik. Nafs-nya berbau segar, seperti buah apel yang baru masak. Menunjukkan bahwa dia wanita yang periang, selalu optimis, dan sangat menyukai tantangan-tantangan. Pantas saja kariernya naik dengan cepat. Aku baru menghabiskan waktu sekitar tiga minggu dengannya, namun kami sudah cukup dekat. Pekerjaan sebagai seorang detektif sebenarnya tidak terlalu merepotkan, sebab aku punya hidung yang bisa mendeteksi siapa saja yang kemungkinan melakukan keburukan. Dari situ aku akan memulai investigasi lanjutan. Dari 1000 kasus yang kutangani, tak sekalipun pelaku berhasil menipuku. Mungkin karena itulah komandan selalu percaya padaku; apapun yang kuminta untuk menyelesaikan kasus, seaneh dan segila apapun itu, mereka pasti mengizinkanku. 

Pernah suatu ketika aku meminta izin untuk memata-matai ibu kos yang menjadi wali salah satu korban penculikan. Dari baunya aku mencium nafs yang lumayan mengganggu hidungku. Mereka pun mengizinkanku, walaupun secara alibi orang itu tidak mungkin melakukan penculikan sama sekali, dia juga menangis sampai pingsan ketika putrinya hilang. Namun berkat pengintaian dan kecurigaanku padanya, akhirnya ibu itu mengaku bahwa dialah yang memerintahkan orang untuk menculik putrinya, karena dia ingin memberi pelajaran pada putrinya agar tidak sering keluar malam. Siapa sangka penculik bohongan yang dia percayai itu justru memerkosa putrinya sampai dia mati, dengan cangkul yang membusuk di kelaminnya. 

Tidak semua polisi berbau seperti Anita. Ada yang sangat lihai menutupi bau nafsnya dengan bau kulit dan kalip yang terlihat wangi. Sebenarnya orang biasa pun dapat dengan mudah merasakan bau kulit dan kalip, tapi tidak sampai bau nafs. Beberapa detektif yang sudah banyak pengalaman menangani kasus-kasus pun memiliki kepekaan yang lumayan tinggi akan bau kalip seseorang, yang kemudian mereka sebut dengan intuisi. Dan ada juga yang menurutku bisa sedikit meraba area nafs, tapi ini pun sangat jarang, dan hanya satu orang saja yang kukenal memiliki kemampuan seperti itu. Namanya Darmadi. Intelijen negara yang sudah malang melintang ke mana-mana dan terakhir kali ditugaskan ke daerah terpencil itu pernah bekerja sama denganku. Dan harus kuakui, untuk seseorang yang tidak berasal dari Tirambui, dia memiliki kepekaan yang sangat tinggi. 

*

“Halo?”

“Li? Apa yang kamu kerjakan sekarang?”

“Lagi nganggur saya sekarang Pak. Ada sesuatu Pak?”

“Sekarang kamu berangkat ke Kauman. Sendirian saja. Ada kasus yang perlu kamu pecahkan.”

Seketika itu juga aku segera berangkat dengan menggunakan mobil dinas. Namun belum genap aku melangkah, aku kembali menoleh pada Anita.

“Kauman itu, di mana ya?” 

*

Kurang lebih 6 jam aku mengemudi, hingga akhirnya sampai di desa Kauman. Secara administratif, desa ini bukan termasuk wilayah kerjaku. Namun bila Kapolda sudah meneleponku, pastilah komandan juga sudah memberikan izin, maka aku pun memberanikan diri datang. Setelah bertanya pada beberapa warga sekitar, aku pun sampai pada kantor desa, yang sepertinya sudah disulap menjadi pos investigasi khusus. Tanpa membuang waktu, aku pun segera memasukinya.

“Permisi.”

Seorang perempuan yang wajahnya tak asing bagiku menjawab salamku.

“Kau? Buat apa kau ke sini?”

Aku mengangkat teleponku dan menunjukkan riwayat teleponku. Tanpa butuh waktu lama, dia-yang-lulus-dari-akademi-dengan-nilai-sempurna- akhirnya mengerti. Namun dari raut wajahnya aku bisa menangkap kekesalannya bertemu lagi denganku. Orang yang pernah memukul kekasihnya ketika kami beradu di ring tinju. Ya bukan salahku sih, namanya juga sedang tinju kan?

“Aku berharap bisa membantu. Apa yang terjadi?”

Wanita itu pun mengambil beberapa larik kertas. Jilbabnya masih saja berwarna gelap, semoga tidak segelap suasana hatinya, pikirku dalam hati.

“30 korban. Terjadi dalam waktu 1 hari. Semua korban bukan warga asli desa. Dan menurut saksi mata tidak ada kendaraan atau apapun yang pada malam sebelumnya mendatangi tempat kejadian. Dengan kata lain; pembunuhan ini sangat berkelas.”

Oh sialan. Walaupun dengan penciumanku, tidak mungkin aku bisa menemukan pembunuh ini dengan mudah.


Keesokan harinya investigasi masih terus dilanjutkan di tempat yang sama. Sebabnya pihak desa pun ingin mengetahui jalannya penyelidikan secara langsung. Sekelompok pemuda yang cinta desanya, kata Enja, komandan perempuan tadi, adalah yang membuat penyelidikan harus dilakukan seperti itu. Besar kemungkinan pelaku memang asli orang sini, katanya. Entah apa alasannya. Aku pun meminta izin untuk melakukan penyelidikan berdasarkan caraku sendiri, tentu akan aku koordinasikan dengan penyelidikan yang Enja lakukan. Beruntung, kami tidak banyak berdebat, dan dia langsung mengizinkanku menjalankan sesuai yang kukehendaki.

Maka agenda pertama yang kulakukan adalah berjalan mengelilingi desa, mengamati siapa saja orang di desa ini, termasuk wisatawan yang masih tinggal di desa ini, untuk mengetahui mana yang berbau busuk dan mana yang berbau harum. Tidak kusangka, ada banyak sekali jenis bau yang bisa kucium. Ada yang nafsnya berbau sangat harum, orang yang memiliki ini ternyata bernama Aisya, pendatang dari Jakarta. Tidak kalah harum dari bau nafs Aisya adalah bau seorang pemuda bernama Ali. Bau harum mereka menunjukkan kebaikan, tetapi berbeda jenisnya, yang satu karena kebaikan hatinya untuk memberi, sementara satunya adalah karena kerja kerasnya dalam berjuang untuk orang-orang desa. Tapi ada juga orang yang memiliki bau nafs sangat busuk, busuk saja, sampai tidak terlalu busuk. Hidungku semakin terlatih walaupun tidak berada di dalam desa.

Singkatnya, dari beberapa orang yang berhasil kucatat itu, ada beberapa nama yang menandakan bau busuk sangat kuat; bisa jadi mereka yang membunuh orang-orang itu. Kubilang bisa jadi, karena bisa saja bau busuk mereka itu karena sebab yang lain. Untuk memastikan ini, aku pun mendatangi mereka satu per satu. 

Orang pertama yang kudatangi, namanya Samidi. Lelaki yang sudah cukup berumur ini tampaknya rajin mengelola sawahnya. 

“Permisi, Bapak Samidi ya?”

Dia menjabat tanganku setelah membersihkan tangannya dari lumpur-lumpur sawah. 

“Oh iya betul,” katanya. Dari raut wajahnya aku bisa menebak kebingungannya. “Siapa ya?”

“Oh, saya hanya polisi yang ikut membantu menyelesaikan kasus kemarin kok Pak. Dengar-dengar Bapak ya yang mengawasi taman Seroja waktu terjadinya kasus itu?”

“Oh. Iya betul Mas. Tapi saya sudah cerita ke para polisi sebelumnya kok.”

Gurat-gurat yang tampak di muka wajahnya menunjukkan ketegasannya secara tersembunyi.

“Ah iya Pak, saya hanya ingin ngobrol saja kok dengan bapak. Ya itung-itung cari kenalan baru Pak di kota lain. Maklum Pak, bukan asli sini saya.”

“Oalah, begitu to. Iya-iya, kalau begitu saya selesaikan dulu ya Mas, nggak enak ngobrol sambil ndaut begini.”

Aku pun mengiakannya. Berikutnya aku pun bertanya-tanya padanya. Berapa umurnya, asli sini atau tidak, waktu malam itu sedang apa, hingga, ‘Bapak tidak membunuh mereka ‘kan?”

*

Pembicaraan dengan Samidi berjalan cukup lama dan melelahkan. Walaupun baunya cukup busuk, namun dia berhasil menutupinya dengan baik. Dan sampai saat ini aku juga belum dapat mengetahui apa yang membuatnya bisa berbau sebusuk itu.

Ashar sudah tiba, dan aku bersama penduduk yang lain pergi ke masjid besar desa ini. Pada akhir salat, imam mengumandangkan doa yang lumayan panjang. Walaupun aku tidak tahu artinya, yang penting ikut ‘amin’ saja seperti para makmum lainnya, aku yakin doa ini berkaitan dengan kasus yang baru saja menimpa desa ini. Mereka pasti merasakan dampak yang cukup besar.

Usai salat aku kembali melihat dua orang yang memiliki bau nafs wangi tadi, yaitu Aisya dan Ali. Mereka berdua tampak berbicara dengan seorang pemuda yang kelihatannya seumuran dengan Ali. Janggutnya tumbuh lumayan lebat, tapi dipotong pendek. Begitu pula dengan kumisnya. Pandangan matanya cukup tajam. Tidak seperti Ali dan Aisya, dia memiliki bau kalip yang lebih berkesan gelap, seperti bau tanah ketika habis diguyur hujan. Sepertinya dia orang yang banyak melihat kematian. Nafsnya pun berbau anyir, tapi bukan anyir mayit. Lebih seperti bau daun yang sudah gugur dan jatuh ke atas tanah. Setelah dia pergi, tinggal Aisya dan Ali yang berbicara. Tapi dari kejauhan aku bisa melihat kalip Aisya dan lelaki itu seperti menyatu. Hoho, ternyata mereka saling menyukai? Tapi sepertinya laki-ladi menarik juga. Sekilas aku mendengar mereka juga membicarakan proyek pencarian pelaku pembunuhan ini. Besok sepertinya aku harus menemuinya. Untuk hari ini, aku harus segera laporan ke Enja.

*

“APA KATAMU?!”

Suara perempuan itu menggelegar ke berbagai penjuru ruangan. 

“Kau tidak perlu terkejut seperti itu. Ini kan hanya pendapatku.”

“Yang benar saja! Kau meragukan satu-satunya saksi kunci kita untuk memecahkan masalah ini, dan malah menuduhnya sebagai pelakunya?! Mana bisa aku percaya kekonyolan itu!”

Aku mengambil gelas kecil, menuangkan air minum, lalu menaruh di dekat mejanya. 

“Seperti yang kubilang, ini hanya pendapatku.”

Sebenarnya aku ingin menambahkan; konyol dan tidak konyol itu hanya karena kamu tidak mengerti saja bagaimana sesuatu terjadi. Kau hanya bergantung pada kebiasaan yang pernah kau temui saja, bukan berpijak pada kenyataan yang sesungguhnya. Seandainya kau punya hidung sepertiku tidak mungkin kau mengatakannya konyol, dasar perempuan pemarah. Tapi kuurungkan niatku.

“Terserahmu kau menerimanya atau tidak, tapi menurutku bisa saja dia berbohong dan melakukan semua pembunuhan itu sendirian kan?”

“Kalaupun kau anggap begitu, bagaimana dia bisa? Dia sudah tua, untuk mengangkat tiga puluh orang ke tempat ini lalu membunuhnya tidak mungkin membutuhkan tenaga kecil.”

“Bagaimana kalau dia mengundang mereka, agar datang malam-malam. Mungkin menawarkan sesuatu yang bisa mempermudah hidup mereka? Kan bisa saja terjadi begitu.”

“Apapun ini, semuanya sekedar hipotesis yang tidak berdasar. Lebih baik kau segera keluar dan cari bukti-bukti yang lebih riil. Aku tak mau kau sama tidak bergunanya dengan polisi yang lain.”

“Baiklah baiklah. Jangan marah-marah mulu, kau akan semakin sulit dapat momongan.”

Dia hanya mendengus dan tidak membalas perkataanku. 

Ya sudah, kutinggalkan saja dia dengan hatinya yang masih mendongkol.

*

“Oh, siapa ya?”

“Permisi, saya polisi yang membantu penyelidikan kasus pembunuhan di taman itu Pak. Dengar-dengar di sini rumah bapak Rangga ya?”

“Oh, saya bapaknya Pak. Rangganya ada di dalam. Ada keperluan apa ya Pak?”

Ternyata di sinilah letak tempat tinggal pria yang kemarin kutemui. Rumah yang lumayan sederhana. Di sekelilingnya banyak tumbuh tanaman-tanaman buah, seperti mangga, jambu biji, dan lainnya. Cat hijau yang dominan menghiasi rumah ini semakin menambah suasana asri.

“Oh tidak Pak, saya hanya ingin tahu menanyakan beberapa hal saja pada penduduk desa, siapa tahu bisa membantu penyelidikan. Sebenarnya bukan ke Mas Rangganya sih Pak, tapi lebih ke penghuni keluarga di rumah ini. Saya sudah mengunjungi rumah Pak Slamet dan beberapa penduduk lainnya. Kalau Bapak tidak keberatan, boleh saya bertamu?”

“Oh, baiklah kalau begitu Pak. Di luar saja tidak papa Pak? Di dalam masih berantakan habis digunakan untuk memasak buat kondangan esok hari.”

“Iya Bapak, justru saya berterima kasih sudah dikasih waktu.”

Tak lama setelah itu, aku pun berbincang dengan keluarga Rangga ini. 

*

“Jadi, kamu wartawan?”

“Betul, Pak.”

Aku mengambil roti kering yang disediakan di meja, lalu memakannya. Hanya tersisa aku dan Rangga yang berbicara di rumahnya. Kedua orang tuanya tiba-tiba harus pergi mengikuti kondangan bagi seluruh warga desa. Wah desa ini banyak sekali melakukan kondangan, pikirku.

“Sudah meliput apa saja?”

“Banyak Pak, ya pokoknya sekitar peperanganlah. Bapak sendiri jadi polisi sudah lama?”

“Oh, aku masih muda. Seperti dirimu. Kukira kita seumuran.”

Dia hanya tersenyum.

“Ngomong-ngomong,” aku melanjutkan pembicaraan kami. “Kau dekat dengan Aisya?”

“Aisya? Ah, tidak begitu dekat Pak. Kami baru saja kenal beberapa saat yang lalu setelah saya datang.”

“Oh, begitu. Kalau Ali? Kau dekat?”

“Lumayan dekat Pak. Dia teman saya sejak kecil. Kenapa ya Pak?”

“Tidak papa. Apakah pernah terbesit padamu, di antara mereka melakukan pembunuhan ini?”

Raut wajahnya berubah. Menjadi serius dan seperti mempertahankan diri. Tentu, tidak mungkin dia bisa percaya bahwa orang yang dia kenal dekat dan yang dia sukai melakukan tindakan seperti pembunuhan.

“Tidak Pak. Tidak sedikit pun. Apa ada sesuatu yang mengarah pada dugaan bahwa mereka melakukan pembunuhan?”

Aku membalasnya dengan tersenyum.

“Ah, tidak. Aku hanya sekedar bertanya. Kalau menurutmu, siapa yang paling dekat menjadi tersangka di kasus ini, dari orang yang kamu kenali?”

“Hmm. Sepertinya saya tidak kenal dengan seseorang yang memiliki niat membunuh sekeji itu, Pak.”

Aku menangkap keraguan darinya. Sepertinya wartawan ini, sepertiku, memiliki ‘intuisi’ yang cukup tinggi. Aku mencium kalipnya berbau seperti kamboja; pertanda bahwa dia sedang memikirkan sesuatu dalam-dalam.


Penyelidikan tidak berkembang begitu pesat.

Ya, setidaknya penyelidikan yang dilakukan oleh Enja. Sementara penyelidikanku, menurut perhitunganku sendiri, sudah lebih maju. Setidaknya aku memiliki beberapa orang yang bisa kucurigai sebagai tersangka, dari desa ini. Masih bersifat dugaan, karena belum pasti. Malam itu aku pun kembali ke kantor desa dan menyepi di ruanganku sendiri. Teringat olehku kisah-kisah semasa masih ada di Tirambui. Entah kenapa ketika malam tiba aku sering merindukan desa itu.

Salah satu kenangan yang masih kuingat adalah saat aku belajar salah satu teknik penciuman tingkat tinggi yang bernama Simulakra. Teknik ini adalah teknik penciuman sekaligus teknik pemetaan untuk mengetahui di mana musuh dan pergerakan mereka. Bila teknik ini sudah digunakan, kami bisa mengawasi dari jauh orang-orang yang berniat buruk. Ini menjadi salah satu teknik andalan para Balaraung. Aku sempat belajar dari Simbal, walaupun tidak sampai menguasainya betul.

Karena iseng dan tidak ada kerjaan, aku pun memutuskan untuk merapal Simulakra. Kubersihkan lantai kamar ini, lalu duduk bersila dan mulai membersihkan jiwaku dari kotoran-kotoran yang ada. Untuk bisa merapal teknik ini kau harus mengakui kesalahan-kesalahanmu pada Tuhan, meminta maaf kepadanya dengan tulus, dan berjanji untuk berbuat baik dengan menggunakan teknik ini. Hal yang tidak mudah, dan oleh karenanya hanya sedikit orang yang bisa melakukannya. Bahkan Balaraung yang benar-benar ahli pun butuh waktu lama agar Simulakra bekerja. 

Beberapa saat berlalu, aku mengingat dan meminta maaf atas dosa-dosaku, dan kemudian berkonsentrasi penuh memusatkan konsentrasi ke dahi atasku untuk menyambungkan penciumanku dengan alam semesta. Dan tidak kusangka, di kejauhan, di taman Seroja, sosok dengan nafs yang sangat busuk berada di sana, dan sepertinya hendak berbuat kejahatan.

*

Tidak salah lagi, bau busuk yang tercium sangat kuat berasal itu berasal dari dekat pohon tempat kejadian pembunuhan itu. Tanpa menyia-nyiakan waktu aku segera memakai jaket untuk sekedar melindungi dari hawa dingin, pistol revolver sebagai senjata utama, dan tidak lupa pemantik yang selalu kubawa untuk menerangi malamku. Molotov dan beberapa botol bensin kubawa untuk sekedar berjaga-jaga.

Dengan cekatan aku segera melangkah menuju ke pohon Hayat, begitu orang sini memanggilnya. Pistol kusiapkan di saku sebelah kanan. Dinginnya malam ini kuterobos dengan tekad kuat untuk menangkap pembunuh berdarah dingin itu. Aku yakin siapapun yang ada di sana pastilah pembunuh kemarin.

Sesampainya di sana, tidak terlihat ada seorang pun. Kegelapan membisu dan mempermainkanku. Namun bau orang itu masih tercium dengan kuat, bahkan bertambah lebih kuat lagi. Aku segera mendekat ke pohon itu, hingga pada akhirnya sinar rembulan menerangi sosok tubuh yang rupanya sudah menatapku dari kejauhan dengan sorot matanya yang berwarna merah. 

“Siapa kau?”

Gigi taringnya terlihat bersinar.

Aku mengambil pemantik apiku, menyalakannya, kemudian menumpahkan bensin yang kubawa sembunyi-sembunyi di saku kiriku. Dengan cekatan orang itu mendekat padaku, melangkahkan kakinya dengan cepat dan mengarahkan tangan kanannya untuk mencekik leherku!

Duk!

Dengan pistol yang untungnya sempat kukeluarkan dan dengan tenaga yang kumiliki aku mendorongnya ke arah kiri, menuju api yang sekarang menerangi tempat ini. Tapi ternyata dia selamat dari kobaran api itu.

Dari figur itu, ternyata seperti yang sudah kuduga sebelumnya, orang ini adalah Samidi. 

“Sepertinya kau masih menyimpan tenaga yang cukup besar kakek tua.”

Dia hanya menyeringai. 

“Heh. Orang Tirambui memang selalu menyebalkan.”

Orang ini, mengenal desaku?

“Dari mana kau tahu desa itu? Siapa kau sebenarnya?”

“Tidak ada yang perlu kau bicarakan denganku. Anak muda sepertimu tidak akan pernah tahu kisah Balaraung generasi pertama.”

Aku diam, tak percaya. Apakah orang ini Balaraung?

“Heh. Tidak usah kau pasang wajah begitu. Permusuhan kita sepertinya masih saja diteruskan hingga saat ini. Akan kubalas kekalahan orang-orangku di Makesit.”

Apa yang orang tua ini bicarakan, aku sama sekali tak mengerti.

“Seperitnya kau benar-benar sudah sangat tua. Berapa umurmu sekarang? Apakah kau sezaman dengan Kurawa dan Pandawa? Atau jangan-jangan kau temannya Hades?”

“Hahaha. Kau belum tumbuh dewasa sepertinya. Apakah pengucilan dari desa membuatmu tidak paham sejarah bangsamu sendiri?”

“Aku tidak pernah suka sejarah. Dan aku juga tidak berminat diajari oleh seorang kakek tua bermata merah sepertimu. Jadi apakah kau pembunuh orang-orang itu?”

“Apakah kau masih perlu bertanya? Bukankah sudah jelas? Hahaha. Ya. Akulah yang membunuh mereka. Manusia-manusia bodoh yang percaya pada kekuatan pohon besar yang mereka panggil Hayat untuk mendapatkan kekayaan ini kupanggil dengan mudah. Begitu sampai di sini kubunuh mereka semua untuk mendapatkan darah manusia yang kotor! Nikmat!!”

Cara orang ini tertawa begitu memekikkan telinga.

“Sepertinya kau jelmaan iblis yang benar-benar nyata. Sejak kapan kau melakukan itu?”

“Ohohoho. Aku memang binatang pemakan darah. Semakin aku menghisap darah aku semakin kuat. Aku adalah evolusi dari serigala. Jangan khawatir, ini bukan tahayul sama sekali.”

“Aku tidak bertanya tentang hal itu. Aku bertanya sejak kapan kau melakukannya. Apa kau tuli?!”

Tetapi setelah itu tidak ada lagi pembicaraan dari kami. Dengan cekatan, kakek itu kembali berlari ke arahku. 

Aku menangkis pukulannya yang sangat kuat hingga aku terpental menabrak pohon besar itu. Aku menembakinya beberapa kali, namun sepertinya itu masih belum cukup. 

Kami beradu pukulan, cakarnya berhasil mengenai leherku, namun aku juga berhasil menembak tepat di jantungnya, bila dia manusia biasa. Dia memang terlihat sangat kesakitan, namun dia masih bisa bertahan. 

Rasa sakit di leher ini benar-benar mengganggu. Dan sialnya, satu pukulan dari kakek itu berhasil mengenai pelipisku hingga aku terjatuh. Sekarang dia menindihku, cakarnya tepat mengarah ke wajahku.

“Mayat berikutnya adalah dirimu sendiri!”

Sial, ini bukan lelucon. Apakah aku akan mati sekarang? Tidak! Aku tidak bisa membiarkan binatang ini lepas begitu saja!

Pemantik milikku terlihat menyala di sisi kiri dekat dengannya. Ini kesempatan! Dengan sekuat tenaga yang tersisa aku melemparkan molotov mini yang masih kusimpan di saku kiriku. Satu, dua, tiga, empat detik berlalu, hingga akhirnya aku berhasil terlepas dari genggaman cakarnya.

“Argh!!!”

Serunya kesakitan karena terkena pecahan kaca molotov yang kulempar. Tapi sepertinya dia lebih kesakitan lagi karena punggungnya terbakar akibat api yang menjalar ke tubuhnya tadi. Aku juga terkena api, tapi segera kupadamkan dengan jaketku

Sekarang waktunya penghabisan. Bau nafs kakek ini semakin kuat. Pertanda bahwa niat membunuhnya, semakin membesar. 

Aku mengambil kembali pemantikku yang untungnya masih utuh. Beruntung pemantik ini bukan pemantik murahan. Aku harus berterima kasih pada Darmadi ketika bertemu dengannya lagi. 

Aku membutuhkan api. Satu-satunya peralatan yang kumiliki adalah pemantik, pisau dan pistolku yang pelurunya telah habis. Aku harus mencari sesuatu yang bisa menghasilkan ledakan besar. 

Di kejauhan aku melihat sebuah bangunan untuk mengawasi taman ini. Satu-satunya peluang yang bisa kulakukan adalah mencari sesuatu untuk dibakar di sana. Aku berharap menemukan bensin lagi. Maka tak butuh waktu panjang, aku segera berlari dengan sekuat tenaga, meski rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Beruntung akibat latihan yang dulu kuterima di desa, aku masih kuat berlari walaupun badan ini sudah penuh darah. Kakek tua itu masih belum bisa bangkit karena api yang membakar punggungnya. Tapi begitu aku sampai di pintu masuk bangunan itu, dia segera berlari mengejarku! Sialan! Aku harus cepat-cepat!

*

Aku mengunci pintu depan, jendela, dan celah masuk lain dari bangunan penjaga ini. Masa bodo dengan kekuatan cakarannya, aku yakin penguncian ini bisa mengulur waktu. Dengan cekatan aku mengobrak-abrik ruangan itu dan akhirnya kutemukan sebotol bensin yang seperitnya menjadi persediaan untuk kendaraan. Tapi..

Brak!

“Uhk!!”

Kakek tua itu menabrakku dari belakang dan mencakar punggungku! 

Cengkeramannya sangat kuat hingga aku tidak bisa melepaskannya. Aku pun tak bisa bernafas. Dunia serasa berputar dan aku bisa mendengar suara jantungku yang semakin lemah. 

“Sepertinya kau tetap akan menemui kematianmu manusia!”

Nafasku semakin lemah dan dunia serasa semakin gelap. 

Dor! Dor! Dor!

Tiga tembakan itu mengarah tepat pada kakek tua ini. Dia pun melepaskan cengkeramannya dariku. Pikiranku kembali aktif.

Aku segera berbalik, dan menancapkan pisau kecilku pada bahunya.

“Arrrgh!” dia meraung-raung dengan keras. Tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku pun menyiramkan bensin yang kutemukan dan segera menyulut pemantikku lalu melemparkan kepadanya.

“Sialan kau bocah! Sialan! Dasar Balaraung sialan!!!”

Tak kuhiraukan dirinya. Aku berlari menyelamatkan diri ke luar dari bangunan itu.

*

Aku terjatuh setelah beberapa langkah berjalan, bangunan itu terbakar. Maklum, seluruh bangunan itu terdiri dari kayu. Mungkin karena itulah Samidi begitu mudah menjebolnya.

Dengan menahan rasa sakit yang masih menjalar ke seluruh bagian tubuhku, aku masih memasang alarm waspada. Siapa orang yang menembaknya tadi. Ya, memang karena itu aku bisa selamat, tapi bukan berarti dia tidak akan membunuhku juga. 

Diam-diam aku bisa merasakan bau nafs yang membusuk datang mendekatiku. Tapi dari orang ini juga tercium bau yang tidak asing bagiku, bau seorang yonui

Suara langkah kakinya semakin jelas kudengar. Dan tampaklah di hadapanku seorang pria berumur menenteng senjata api. Orang ini, bukankah dia kepala desa?!

“Bapak kelapa, eh kepala desa?”

Tanpa menunjukkan ekspresi sedih atau marah, dia memandangku.

“Aku tidak pernah menyangka akhirnya aku akan membunuhnya. Sejarah mengulangi jalan yang sama.”

Aku tidak mengerti.

“Bapak ini sebenarnya siapa?”

Bau Yonui yang dia miliki bisa kurasakan dengan kuat. Sepertinya dia orang yang banyak melakukan dosa namun juga melakukan kebaikan sebagai gantinya.

“Aku sama sepertinya. Sepertinya orang Tirambui yang muda tidak lagi belajar sejarah. Kami adalah spesies Homo Lugentivus. Kami bukan manusia biasa. Seperti orang-orang Tirambui, kami memiliki keunikan khusus bisa mengenali orang, tapi tidak lewat bau seperti kalian, namun melalui tatapan mata. Bila memakan darah, kekuatan kami bertingkat-tingkat lebih hebat.”

Oh sial, aku menyesal tidak mendengarkan Puak dengan baik saat dia mengajari sejarah dulu. 

“Kau lebih baik menyembuhkan dirimu. Esok hari aku akan mengumumkan bahwa terjadi kecelakaan pada Samidi sehingga dia membakar dirinya sendiri. Orang-orang desa akan sulit menerima bahwa pembunuhnya adalah Samidi.”

Diam-diam aku setuju dengannya. Tidak mungkin orang juga percaya dengan kejadian yang menimpaku barusan. Orang-orang seperti kami yang berbeda dari mereka, sangat sulit untuk dipercayai ada, walaupun secara biologis kami memang benar-benar ada. 

“Sebelum itu aku harus bertanya pada Anda. Ya, sebelumnya terima kasih sudah menyelamatkanku. Tapi kau juga memiliki bau yang sama busuknya dengan Samidi. Apa yang sebelumnya kau lakukan? Aku harus memastikan kau tidak akan seperti dirinya.”

Pria itu meletakkan senjatanya untuk mengambil rokok lalu menyulutnya. Pandangan matanya, terlihat sayu. 

“Aku sudah melakukan banyak hal buruk. Aku sedang mencoba memperbaiki itu semua.”

“Kalau begitu aku tidak akan tinggal diam saja. Aku akan terus mengawasimu.”

“Bisakah kau melakukannya dengan tubuh yang penuh luka seperti itu? Sembuhkanlah tubuhmu sendiri baru mengurusku.”

Aku tak bisa memperlama debat ini. Bukan karena aku kehabisan teknik untuk membuatnya menceritakan masa lalunya, tapi karena aku sudah tidak tahan dengan rasa sakit. Maka aku pun berpisah darinya yang sampai akhir masih kulihat, hanya menatap bangunan yang terbakar itu dengan sedih. Kulitnya berbau mawar, kalipnya juga berbau mawar, tanda bahwa dia sedang sangat bersedih hati. Mungkin Samidi adalah orang yang sangat dekat dengannya.

*

Sesampainya di kantor kelurahan aku dimarahi habis-habisan oleh Enja yang diam-diam kulihat khawatir. Dari mana kau, kenapa bisa terjadi seperti ini, kebodohan apa yang kau lakukan, dan kata-kata yang serupa terus saja mengucur dari mulutnya. Aku tidak menghiraukannya. Cukup sudah badan ini sakit, tidak perlu ditambahi dengan ucapannya yang memang selalu menyakitkan telinga.
Aku ingin beristirahat, tapi aku tetap kepikiran Kepala Desa tadi. Pasti tidak mudah baginya untuk menebus kesalahan yang pernah dia lakukan, bahkan dengan bau Yonui yang sekuat kemarin pun, nafsny masih berbau busuk, walaupun tidak sebusuk bau nafs Samidi.

Sebagai seorang Yonui, aku sama-sama memahami, untuk menebus kesalahan itu kami harus melakukan kebaikan yang sangat banyak. 

Sebab satu kebaikan tidak lantas bernilai sebagai sebuah kebaikan, bergantung pada niat dan selainnya, sementara sebuah keburukan, akan langsung menambah bau nafsmu semakin busuk.

Tapi apapun itu, aku menyukai bau Yonui yang muncul dari orang-orang yang berupaya memperbaiki kesalahannya. 

Wanginya memang tidak semanis mereka yang penuh dengan kebaikan, tapi bagiku, bau inilah yang lebih sesuai dengan seleraku. Adanya orang-orang Yonuilah yang membuatku tidak putus asa untuk memperbaiki kesalahanku. Lebih dari apapun, aku sangat ingin kembali ke desa. Bertemu dengan ibu dan bapak, yang sudah berselimut tanah.

*

cerpen

Ranting-ranting Seroja

11.48.00

*

Di desa kami, ada satu tempat yang sudah lazim dikenal sebagai tempat untuk berkeluh kesah. Namanya taman Seroja. Tepatnya, pohon beringin besar di taman itulah yang menjadi tempat untuk bercerita. Namanya Hayat.

Pertama kali Ibu membawaku ke sana ketika aku berumur tiga tahun lebih sedikit. Gigi taringku baru tumbuh satu, di sebelah kiri. Sementara ibu sudah berumur 30 tahun. Dia mengajakku ke taman itu untuk bercerita tentang Bapak.

Bapak, kata ibu, sudah lama tidak mengunjungi kami. Pekerjaannya membuatnya tak bisa membagi waktu untuk keluarganya sendiri. Dia bekerja di tengah laut, mencari minyak bumi. Bahkan rasa cinta yang berapi-api di antara Bapak dan Ibu pun tak sanggup membuat Bapak pulang. Tapi untunglah semua berubah ketika Bapak dipecat dari pekerjaannya itu. Pada akhirnya dia bisa pulang kembali pada kami. Dengan sesenggukan dia meminta maaf padaku. Aku hanya manggut-manggut pelan. Sementara ibu, mungkin karena sudah lama memendam rindu, tak ingin tahu apa yang terjadi pada Bapak selama dia jauh dari kami. Dari pandangan mata Bapak, Ibu sudah bisa merasakan dan mengetahui apa yang terjadi pada Bapak, pikirku.

Yang penting kamu di sini mas, kita utuh. Katanya. Setelah itu Bapak mulai merintis karier menjadi penulis; menceritakan kisah-kisah dia alami selama di tengah laut, dan juga membantu para petani lokal untuk meningkatkan kualitas produksi tanah kami melalui manajemen yang kompleks.

Semenjak saat itu aku sering bermain di Seroja. Hanya aku seorang diri, bocah yang rajin bermain ke sana. Selepas pulang dari sekolah, setelah makan siang disuapi Ibu, aku lekas pergi ke sana. Kawan-kawan pun mulai memanggilku dengan sebutan ‘Seroja’. Nama yang unik, mengingat aku laki-laki, sementara nama ‘Seroja’ lebih cocok untuk seorang anak perempuan. Nama itu terus melekat hingga aku kuliah, bahkan hingga aku bekerja menjadi seorang wartawan perang saat ini. Aku selalu menggunakan nama itu untuk memperkenalkan diriku, alih-alih menyebut nama asli pemberian Ibu dan Bapak. Bagiku ‘Seroja’ berarti utuhnya kembali keluargaku, dan karenanya aku menyukainya.

Pada suatu waktu, aku pulang dari meliput peperangan di Yaman dan Suriah. Aku pulang bukan karena perang itu sudah usai. Tapi aku pulang karena aku sudah merindukan rumah. Untungnya kepala direksi menyetujui pengajuan cutiku selama tiga bulan. Sudah hampir 10 tahun aku ada di luar negeri; melihat peperangan tiap hari. Aku merindukan malam yang tenang dan hening, yang bermandikan kesejukan, dan berbalut sajak-sajak dedaunan yang menari di malam hari. Aku terlalu lelah meliput dan melihat beribu-ribu anak kecil yang terpanggang; beratus-ratus perempuan muda yang ditawan dan diperkosa; dialog dan pembelaan dari para kelompok yang bertarung; berjuta-juta misil yang menggempur rumah penduduk tanpa menyebut salam. Dan mungkin yang lebih dalam dari itu semua; aku merindukan Ibu dan Bapak, dan tentu taman Seroja itu sendiri.

Saat pulang, aku memutuskan untuk mampir terlebih dahulu ke taman Seroja. Mumpung hari masih pagi, pikirku. Aku ingin melihat embun-embun yang sejak dulu selalu tumbuh dengan genit di sela-sela rumput tanah Seroja.

Bapak dan Ibu, menurut penuturan Ibu, pertama kali juga bertemu di sini. Mereka berkenalan di taman ini, sewaktu masih kecil. Maklum, dua-duanya asli orang sini. Ayah sempat pergi ke luar desa untuk menuntut ilmu sampai mendapatkan kerja, sementara ibu tetap menetap di desa ini untuk meneruskan cita-citanya mendidik bocah-bocah desaku; yang sudah banyak diserang dengan budaya-budaya barat.

Entah sejak kapan taman ini menjadi tempat orang mengeluarkan apa yang mereka pendam dalam hati. Bila ada orang yang ingin meluapkan isi hatinya, maka dia akan pergi ke sebuah pohon paling besar di taman ini, lalu berbisik pada pohon di sana. Orang desa kami sejak dulu percaya bahwa perkataan kami akan didengar oleh pohon itu, kemudian akan ia simpan. Simbol dari luapan hati kami adalah pada daun-daun, buah, dan juga cabang-cabang batangnya. Satu cabang batang berarti satu orang, dedaunan berarti jumlah keluhan yang ia rasakan, buah yang muncul berarti kepuasan yang muncul pada orang itu setelah meluapkan perasaan kesal mereka. Daun-daun itu pada awalnya berwarna hijau, seiring dengan hilangnya perasaan terpendam pada sang empu, daun itu akan menguning. Cabang itu akan terus tumbuh selama sang empu yang memiliki curahan hati itu hidup, dan bila dia mati, maka cabangnya juga akan gugur, bersama dengan dedaunan dan buah-buah yang muncul pada cabang batang tersebut. Begitulah cerita yang disampaikan oleh ibu padaku dari nenek.

Apakah Ibu dan Nenek juga punya cabang di sana?

Tentu. Hanya kamu yang belum memiliki cabang di pohon itu, Rangga.

Begitulah percakapan yang masih kuingat.

Pohon itu sekarang tumbuh semakin rindang. Batangnya semakin besar, kulitnya semakin keras. Akarnya juga sudah terlihat dari permukaan, besar dan membujur seperti rudal yang dijatuhkan dari pesawat. Rantingnya semakin banyak, daunnya juga semakin rindang.  Sementara buahnya, sepertinya juga semakin banyak. Setidaknya begitu bila kuperhatikan sekilas dari banyaknya bakal buah yang terjatuh di tanah.

Aku menyentuh kulit batang pohon itu. Terasa kasar, dan kokoh. Semoga liburan kali ini menyenangkan, aku mengelus kulit pohon itu sekali lagi. Berharap dia betul-betul mendengarku.

*

Aku sampai di rumah tepat pada pukul sembilan pagi. Ibu sedang mencuci sementara bapak sedang berada di halaman belakang; seperti kebiasaannya sejak dulu, mengisi TTS sambil mengamati Ibu. Sesekali dia juga membantu ibu membilas baju. Umur mereka sudah sama-sama kepala lima sekarang.

“Rangga?!”

“Rangga?!”

Kata Bapak dan Ibu hampir bersamaan saat aku datang. Melihatku, Ibu segera mencuci tangannya lalu berlari ke arahku yang masih terdiam sambil tersenyum di depan pintu rumah. Bapak dengan cekatan meminum jus mangganya sampai habis dulu, baru berlari mengikuti ibu.

“Aku pulang, Pak, Bu.” Kataku pelan.

Sedetik berikutnya bisa ditebak; kami berpelukan, dan melepas rindu. Berikutnya Ibu dan Bapak mengajakku ke halaman belakang, untuk membantu mereka mencuci. Duh, awalnya berpikir aku akan dijamu dengan jamuan yang spesial, ternyata bapak dan ibu sama saja seperti dulu; tidak terlalu mementingkan seremonial-seremonial semacam itu. Namun bukan berarti mereka tidak menunggu cerita-ceritaku. Bahkan pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah,

“Sesibuk apa kau di sana, hingga tidak pernah menelepon rumah?”

Maka mulailah aku menceritakan kepada mereka, apa yang kulakukan di Timur Tengah terakhir kali sebelum aku pulang. Aku menceritakan anak-anak yang mati kelaparan karena kelangkaan makanan di Yaman; serangan rudal Saudi Arabia yang menimpa pelabuhan tempat penyediaan makanan di lepas pantai Yaman; militer Suriah yang mengepung kota Aleppo untuk memberangus oposisi; sebagai bonus, aku juga menceritakan kisah yang dibawa oleh temanku tentang para nelayan yang tertipu dan terpaksa menjadi budak, selama 30 tahun mereka mengembara sebagai budak dan akhirnya baru bisa pulang tahun lalu; dan cerita yang lain, yang terlalu banyak untuk bisa kuceritakan dalam satu jam. Tidak ada cerita yang mampu membuat mereka gembira. Mereka malah cemberut, menggeleng-gelengkan kepala, dan kadang kala menepuk jidat mereka sendiri. Tapi bapak dan ibu tahu, pekerjaanku memang bukan untuk meliput kebahagiaan.

“Aku menelepon sebulan dua kali lo, Bapak Ibu tega sekali melupakannya.”

*

“Pohon itu katanya akan ditebang, Ngga. Kemarin bapak rapat sama Pak Kades dan warga lain, katanya ada rencana dari pemerintah daerah untuk membangun taman yang lebih modern. Pembangunannya menyeluruh, termasuk mengubah tata letak pohon yang tumbuh di taman.”

“Loh, apa warga desa mengizinkan Pak?”

“Kalau sekedar membangun ulang taman itu, kami ya bersedia saja. Tapi rencana pembangunan yang lain, termasuk menjadikan tanah gagamit sebagai tempat penginapan, menghancurkan pohon Hayat itu yang kami tolak.”

Aku meminum teh yang dibuatkan oleh ibu pelan-pelan, sambil menyelami maksud perkataan bapak.

“Memangnya pengunjung desa ini semakin ramai apa Pak?”

Bapak membenahi kacamatanya yang turun ke bawah.

“Kata Pak Kades begitu. Banyak wisatawan yang terpikat panorama desa kita, sunrise-nya, dan banyak lagi yang lain.”

“Pegunungan Semalawaru ini memang indah. Ibu pernah lihat di internet, desa kita ini masuk sepuluh besar destinasi pariwisata baru yang menawarkan keindahan pemandangan gunung paling keren sedunia!”

“Jadi mungkin karena itu, mereka ingin menarik uang lebih banyak lagi melalui perombakan desa kita.”

“Termasuk dengan mengorbankan pohon Hayat?”

Bapak dan ibu mengangguk. Sepertinya liburan ini tetap akan menarik.

*
Salah satu doktrin ekonomi pembangunan yang pernah kupelajari, adalah memanfaatkan sektor teknologi dan pariwisata untuk meningkatkan kemampuan produksi. Manusia secara alamiah membutuhkan tempat untuk menyegarkan jiwanya dari kepenatan aktivitas sehari-hari, dan pariwisata ada untuk memenuhi itu. Alam karenanya diolah sedemikian rupa agar mampu menghadirkan pengalaman penyegaran jiwa yang paling maksimal; kemudian mereka yang ‘memiliki’ daerah pariwisata itu yang akan mendapatkan keuntungan. Uang mengalir, ke dalam saku-saku mereka.

Besok kita akan menemui kepala desa. Kita tuntut agar mereka tidak menyentuh tanah ‘gagamit’ dan pohon ‘Hayat’ sedikit pun.

Begitu yang kudengar dari Ali, sahabat karibku yang lahir dan besar di desa ini. Perawakannya gagah, layaknya Soekarno. Pidatonya berapi-api dan mampu menggetarkan jiwa siapa pun yang mendengarkannya. Sementara aku, lebih mirip Widji Thukul. Kami sama-sama kurus; dia kurus karena harus kucing-kucingan dengan pemerintah Orde Baru, sementara aku kurus karena harus berlarian menyelamatkan diri ketika tentara ISIS, Jabhat Fateh al-Sham, Boko Haram, dan kelompok-kelompok lain yang tahu aku sedang merekam aksi-aksi mereka, mengejarku dan mengincar leherku untuk dipenggal. Aku tak ingin bernasib seperti wartawan-wartawan lain yang terpenggal lehernya di tangan algojo mereka.

Kamu ikut?

Ali menawariku, sambil mengarahkan kotak rokoknya padaku.

Aku mengangkat tanganku, untuk menolak rokoknya tentu saja, bukan untuk menolak tawarannya berdemo.

Boleh. Tapi posisiku tetap sebagai wartawan.

Ujarku. Dia pun menyetujuinya. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah saat dia mengomandani demonstrasi membantu warga Kendeng menuntut pemberhentian pembangunan pabrik semen. Kabarnya sejak jaman Orba, darah pemimpin sudah mengalir di keluarga Ali sampai pada dirinya saat ini.

Jadilah sekarang aku berada di depan kantor kepala desa, melihat sekelompok pemuda dan beberapa warga desa lainnya mengerumuni tempat ini. Sepertinya aku datang terlalu siang, karena dari raut wajar orang-orang yang ada di sini, aku bisa menebak bahwa proses dialog sudah terjadi di dalam. Aku meminta ijin untuk masuk ke dalam, namun di tolak oleh satpam. “Sudah penuh Mas, nanti Masnya malah nggak kebagian tempat,” ujarnya. “Sudah tunggu di depan saja sama yang lain.”

Aku pun menurut dan kembali ke halaman depan. Di sana aku melihat bapak dan ibu yang juga baru datang.

“Bagaimana?” Tanya mereka.

Aku hanya mengangkat bahu. Lantas mereka berdua berjalan untuk masuk ke dalam. Dan entah kenapa, mereka diperbolehkan masuk begitu saja oleh satpam tadi!

Sialan, pikirku.

*

“Dasar penduduk desa kolot, jumud, musyrik semua!!”

Keras sekali makian kepala desa itu. Aku yang ada di perpustakaan desa saja dapat mendengarnya. Niatku untuk mencari dokumentasi perizinan pembangunan yang kata sekretaris desa bisa dilihat di perpustakaan, jadi terganggu. Aku jadi penasaran, dan ingin mewawancarai kepala desa itu. Maka dengan bersegera aku membereskan barang-barang semacam buku catatanku dan bergegas keluar dari perpustakaan; setelah sebelumnya mengambil beberapa buku untuk dibaca di rumah.

Untunglah aku membawa kartu wartawanku, dan beberapa perlengkapan untuk meliput. Maka aku pun menuju ruangan kepala desa. Aku tidak berharap bisa segera mewawancarainya. Yang penting aku tahu dulu, bagaimana responsnya bila ada wartawan yang datang.

Tapi sepertinya yang kuduga, begitu aku memperkenalkan diri sebagai wartawan, pintu ruangan itu langsung ditutup dengan keras. Tepat di depan mukaku. Dari dulu pemerintah selalu begini. Ketika aku meminta penjelasan mereka merasa terusik. Seolah-olah, merekalah yang menjadi pihak yang bersalah dalam kasus-kasus yang hendak kuliput.  

Tapi keberuntungan selalu datang pada wartawan, mungkin lebih tepatnya padaku. Ada seorang perempuan, katanya dia adalah asisten sekretaris desa. Dia menghampiriku lalu bertanya dengan cantiknya.

“Mas, mau bertanya tentang pohon Hayat dan tanah gagamit di desa ini ya?”

“Iya mbak. Kalau boleh, mau saya wawancarai mbak?”

Pipinya langsung merona merah. Entah karena malu bertemu pria sekumal dan sekucel diriku, atau karena sangat bahagia ada yang ingin meliput kasus ini. Dengan semangat dia pun menganggukkan kepalanya dan mempersilakanku mewawancarainya.

*

Namanya Aisya. Berjilbab. Umurnya 28 tahun. Berjarak 2 tahun dariku yang sudah menginjak umur 30 di tahun ini.

Masih lajang. Baiklah, sebenarnya ini tidak terlalu penting. Tapi entah kenapa kutulis juga di catatanku.

Menurutnya, kenapa Pak Kades menyetujui pembangunan ini adalah untuk menjauhkan warganya dari praktik-praktik klenik. Menurutnya, pohon Hayat dan tanah gagamit itu sering dijadikan tempat untuk penyembelihan sesajen, pengundian nasib, bahkan juga sering kali ditemukan bangkai di sana; katanya bangkai untuk tumbal agar orang yang kaya di desa kami semakin kaya. Tanah gagamit sebenarnya adalah daerah mata air yang banyak ditumbuhi tanaman-tanaman dan juga terdapat sumber mata air Andaswaru yang biasa digunakan warga desa ini untuk beraktivitas. Letaknya di atas bukit Gandaluwung. Dari situ kita memang bisa melihat pemandangan yang luar biasa cantiknya. Selain itu juga sangat luas.

“Memang orang yang paling kaya di desa ini siapa, Mbak Aisya?”

Aisya hanya tersenyum kikuk.

“Mungkin Pak Broto, Mas. Mas Seroja tahu?”

Aku memang menyebutkan kalau aku lebih suka dipanggil Seroja dibandingkan Rangga. Aku menggeleng. Lalu dia menceritakan tentang Pak Broto.

Katanya dia pengusaha yang sukses; punya hotel banyak, pabrik tekstil, restoran, sampai toko-toko kecil miliknya banyak tersebar baik di kabupaten ataupun sampai ke luar kota. Nasibnya mujur, bahkan bisa mengalahkan Bu Yunarti yang sudah lama berkiprah di bidang politik untuk menjadi bupati di kabupaten kami. Macam nasib Trump yang bisa mengalahkan Clinton.

“Jadi bukan untuk meningkatkan pendapatan daerah?”

Aisya mengangguk.

“Kata Pak Kades kemarin begitu.”

*

 “Apa? Klenik?”

Ibu bertanya padaku sambil mengangkat sebelah aslinya.

“Memang ada beberapa orang yang melakukan itu, tapi bukan seluruh warga desa begitu. Kabarnya sekarang yang dulu mempraktikkan klenik semacam itu sudah berhenti. Mereka membela lingkungan milik mereka sendiri bukan karena bisa digunakan untuk pesugihan; tapi untuk menjaga warisan nenek moyang dan keseimbangan lingkungan, Ngga.”

Ujar Bapak.

“Siapa saja yang melakukan praktik klenik itu memangnya, Pak?”

“Wah, ya kau cari sendiri sajalah. Bapak juga mana tahu, wong mereka selalu melakukan aksinya di malam hari. Kata Samidi, penunggu taman itu,  justru warga sekitar itu juga paling benci kalau pohon Hayat itu dijadikan tempat untuk ngalap berkah. Seperti mereka tidak ada Allah saja minta ke pohon. Dari dulu memang nenek moyang kita mengajari begitu? Kan ya tidak. Hanya kalau ada masalah yang sulit diutarakan, pergilah ke pohon itu untuk bercerita. Apa kau masih percaya kalau ranting-ranting dan daun-daun itu mencerminkan jumlah penduduk desa? Kan ya tidak. Warga juga sudah tahu tentang itu, bahwa itu semua adalah simbol saja. Maksud nenek kakek kita itu, lingkungan ini harus kita jaga, karena kita bergantung padanya.”

Aku manggut-manggut pelan.

“Sudah kamu mandi dulu. Ibu sudah menyiapkan air hangat, kalau tidak sekarang nanti keburu dingin airnya.”

Aku pun mengangguk dan segera bangkit.

“Baik Bu.”

Sembari mengambil handuk tiba-tiba aku teringat sesuatu.

“Oh iya, ngomong-ngomong Aisya itu bukan warga asli sini ya?”

“Oh?! Kamu sudah ketemu Aisya? Bagaimana, cantik kan dia? Tertarik kamu?"

Ujar Bapak, memelintir kumisnya. Aku hanya mendengus pelan.

“Yah Bapak, bukan begitu. Wajahnya tampak asing, padahal harusnya dia adik kelasku kalau memang asli orang sini.”

“Dia memang bukan asli sini kok. Sebenarnya dia berasal Jakarta Selatan, tapi katanya lahir di Bandung. Jadi memang bukan orang sini. Tapi lumayan itu Ngga kalau dibuat istri. Orangnya rajin, ulet, kerja keras, dan baik hati sekali. Dia sudah terkenal ramah dan sering membantu orang sini.”

“Oh begitu.”

“Buruan Ngga kalau mau mendekati, lumayan lo bibit-bebet-bobotnya. Dulu waktu jamannya SMA sama kuliah saja getol banget cari perempuan sampai kau lupa belajarmu, nah ini sudah waktunya cari istri malah dilupakan.”

Aku tak mengomentari perkataan Bapak. Kutinggal saja mereka berdua yang tersenyum-senyum jahil meledekku sepuasnya.

*

“Pak Kades tetap saja ingin melanjutkan pembangunan itu, Ngga. Dia masih kekeh sepakat sama pemerintah daerah.”

“Apa izinnya sudah dikeluarkan sama pemerintah daerah?”

Ali membuang satu rokoknya, lalu mengambil rokok baru. Dengan kakinya dia menginjak puntung rokok yang barusan dia buang.

“Nah ini yang jadi masalah. Lagi-lagi seperti kasus dulu-dulu. Tiba-tiba izin sudah keluar. Padahal studi AMDAL saja belum dilakukan. Tidak ada kabar apapun dari pemerintah kalau mereka akan melakukan pembangunan secara resmi. Inilah peluang yang bisa digunakan untuk melawan di PTUN!”

“Kamu sudah memikirkan sejauh itu?”

“Tentu saja,” ujar Ali. “Kalau lewat jalan baik-baik tidak bisa, maka ya lewat jalur hukum.”
Aku bisa melihat keseriusan Ali dari caranya mengepalkan tangan di atas meja.

“Kamu sudah dengar kalau menurut pemerintah desa, tanah gagamit dan pohon Hayat penting untuk diubah untuk menghilangkan praktik klenik di sana?”

“Klenik? Klenik dengkulmu[1]! Tidak ada klenik-klenik semacam itu! Kami menjaga mereka berdua karena mereka adalah warisan leluhur, tanah yang harus dijaga dengan baik. Gusti Allah memerintahkan kita untuk mengelola alam dengan seimbang, itu yang sedang kami lakukan. Kami sedang berupaya untuk menjaga agar pembangunan pariwisata tidak dilakukan di daerah itu. Cuma itu, bukan berarti kami menolak rezeki! Bisa-bisanya mereka membuat propaganda semacam itu.”

“Sudah kamu sampaikan hal ini ke kepala desa?”

“Sudah berkali-kali! Tapi mereka tetap bergeming saja. Bahkan mereka punya foto-foto orang yang katanya melakukan pesugihan di tempat-tempat itu. Kami juga menolak percaya, orang gambarnya tidak jelas, orang yang difoto tidak jelas siapa, dan lebih aneh lagi dari siapa foto itu didapatkan juga tidak dibuka dengan jelas oleh pihak pemerintah. Pastilah mereka menjadikan itu alasan agar bisa mengubah taman Seroja dan tanah gagamit supaya sesuai dengan model futuristik yang mereka kehendaki, yaitu mendirikan pabrik semen juga nanti.”

“Loh sebentar-sebentar, apa iya mereka mau membuat pabrik LI?”

Ali memandangku tajam.

“Tidak secara tertulis. Tapi aku curiga mereka punya niat begitu.”

Malam itu kuhabiskan di pelataran rumah Ali, bersama warga desa yang lain, ngerumpi masalah pembangunan ini.

*

“Rangga!”

Ibu memanggilku dengan keras. Aku yang sedang mengamati pohon mangga di belakang rumah jadi terkaget-kaget. Padahal hari masih begitu pagi.

“Ada apa sih Bu? Teriak begitu?”

“Ada mayat! Ada bangkai manusia banyak sekali!”

“Hah?! Ada yang dibunuh Bu?”

Ibu mengangguk dengan panik.

“Iya, di bawah pohon Hayat terdapat banyak mayat! Cepat lihat!”

Kutinggalkan mangga yang tidak kunjung berbuah itu untuk segera melihat apa yang sebenarnya terjadi.

*

Tidak ada kata yang bisa melukiskan kekhawatiran dan ketakutan warga saat itu dengan tepat. Anak-anak dipulangkan lebih cepat, polisi kabarnya cepat ditelepon. Beberapa wisatawan bahkan bergegas pulang karena takut akan ada apa-apa di sini. Belum ada konfirmasi apapun, tapi isu sudah bermunculan. Mulai dari tumbal pesugihan, ‘penunggu’ yang marah, sampai teori konspirasi macam flat-earth tersebar ke mana-mana. Mungkin karena itulah birokrat desa segera mengumpulkan seluruh warga agar kepanikan bisa segara dikontrol.

Siangnya para warga berkumpul di balai desa untuk membahas peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi. Ternyata memang ada banyak bangkai yang tadi pagi ditemukan di bawah pohon Hayat. Jenisnya beragam, dari mayat bayi, sampai mayat laki-laki dan perempuan dewasa. Ada juga mayat ayam, kambing, kucing dan lain sebagainya. Tentu saja hal ini menguatkan tuduhan adanya praktik klenik di pohon Hayat. Bahkan di tanah gagamit juga katanya ditemukan hal yang serupa. Mayat-mayat itu ditemukan dalam bentuk yang tragis. Terlalu sadis untuk kulukiskan di sini. Tapi yang jelas, masih lebih ngeri pemandangan yang sehari-hari kulihat di medan perang. Beberapa mayat yang ada sempat kulukis di buku catatanku. Kebiasaan ini membantu untuk mengingatkan padaku betapa berharganya hidup yang kupunya ini.

Dengan cekatan aku mengamati dan mencatat hal-hal yang kuanggap penting dalam pertemuan pagi ini. Ali dengan semangat berapi-apinya mengutuk siapa pun yang melakukan perbuatan itu. Namun secara tegas dia juga menyatakan bahwa pelakunya tidak mungkin warga desa asli sini, karena hal itu bertentangan dengan norma yang mereka miliki. Atau kalaupun pelakunya warga desa sini, pasti mereka yang tidak ingin menjaga lingkungan dan ingin mendapatkan keuntungan dari kejadian tadi. Aku bisa menebak, maksud pernyataan Ali adalah bahwa yang melakukan itu, kemungkinan besar adalah pemerintah yang ingin sekali mencabut pohon Hayat dan membangun hotel atau vila di tanah gagamit.

“Ibu, Bapak, mohon tenang dulu ya. Kita cari sama-sama siapa yang melakukan kegiatan tadi. Mohon tenang ya, diredakan dulu emosinya, mari pikirkan baik-baik bersama ya” ujar Aisya. Nampaknya dia jadi moderator di pertemuan kali ini. Warga yang tadinya riuh dan saling tuduh menuduh perihal pelakunya siapa, mulai tenang kembali. Saat ini dia tak nampak seperti Aisya yang kuwawancarai kemarin. “Sekarang tenang dulu ya, airnya silakan diminum.”

Aku menghampiri Aisya dari tepi. Dia tampak tidak memperhatikanku, dan fokus untuk menenangkan warga. Sementara Ali dan Pak Kades terlihat berdialog dengan ulet. Aku berharap mereka tidak beradu tinju di sini.

Beberapa saat berjalan, akhirnya pertemuan itu diakhiri dengan kesepakatan bahwa desa akan membentuk tim khusus untuk menyelidiki siapa yang bertanggung jawab atas kejadian tadi pagi. Melihat ini, aku jadi teringat mas Darmadi. Beberapa saat yang lalu dia mengirimkan padaku kisahnya berhadapan dengan Adimas Kanjeng, orang yang katanya bisa menggandakan uang di daerah tempatnya bertugas sebagai asisten pemerintah di bidang pengembangan daerah. Benar-benar cerita yang menarik, mengingat dia harus berhadapan dengan sebuah padepokan yang punya pengikut ribuan orang. Beruntung dengan kecerdikannya yang sudah tidak lagi kuragukan, dia berhasil membuat orang menyadari kesalahan percaya pada Adimas Kanjeng tersebut.

Akhirnya Aisya pun menutup pertemuan itu, Pak Kades dan Ali kemudian masuk ke kantor desa untuk mendiskusikan lebih lanjut tim yang akan mereka bentuk. Mereka terlihat seperti golongan muda dan golongan tua. Mirip sekali waktu golongan muda ingin segera proklamasi sementara yang tua masih mengedepankan diplomasi dengan pihak lawan. Aku menghampiri Aisya yang masih melengkapi berkas-berkas di meja pertemuan.

“Boleh kubantu?” tanyaku seramah mungkin.

“Eh? Mas Rangga? Eh, maksud saya Mas Seroja.” Kata Aisya sambil membenahi berkas-berkas itu. Entah kenapa dia terlihat gugup sekarang.

“Rangga saja juga tak apa kok,” balasku. “Kalau boleh tahu, apa tidak ada dugaan sama sekali dari pihak desa terkait masalah penemuan mayat itu?”

Aisya menggeleng pelan.

“Sepertinya tidak ada Mas.”

“Sama sekali?”

Dia mengangguk.

“Pak Kades tadi marah besar, kami juga ikut marah besar melihat apa yang terjadi di pohon Hayat dan tanah Gagamit. Tidak disangka ada orang yang setega itu. Selain pembunuhan, ini juga membuat taman Seroja dan tanah gagamit jadi kotor. Akibatnya wisatawan pada ketakutan semua.”

“Sudah menghubungi polisi?”

“Sudah. Kalau tidak salah nanti polisi akan membantu penyelidikan ini, tapi dari pihak desa, sebagaimana Mas dengar sendiri, juga akan membentuk tim khusus.”
Aku merapikan berkas-berkas itu lalu membantu Aisya memindahkannya ke ruang berkas, tepatnya di kantor sekretaris desa.

“Pak Sekdes mana?” tanyaku.

“Oh, beliau sedang keluar desa mewakili Pak Kades untuk koordinasi dengan pemerintah daerah. Mungkin beberapa hari ke depan pulang.”

Aku melihat ruangan ini tampak tertata dengan rapi. Buku-bukunya tersusun dengan rapi, meja dan lantainya pun tampak bersih. Di sudut ruangan ini terdapat brankas untuk menyimpan berkas-berkas pertemuan penting seperti yang barusan dilakukan.

“Hmm... Sudah lama kerja di sini Dek?”

Aisya mengangguk pelan. Sengaja kuganti memanggilnya dengan Dek, setelah sebelumnya dengan ‘Mbak’. Tidak enak menyebut orang yang berada di bawah umurku dengan sebutan ‘Mbak’.

“Ya kurang lebih 4 tahunan Mas. Kok Mas ke sini lagi? Apa masih ditugaskan untuk meliput di sini?”

“Oh. Tidak, aku memang tinggal di desa ini kok.”

Aisya nampak tak percaya.

“Wah, kukira kamu orang luar desa Mas.”

Pembicaraan kami mungkin akan berlanjut bila seseorang tidak segera datang dan memanggil Aisya menuju ruang rapat. Setelah saling berpamitan, aku kembali ke rumah, untuk segera pergi lagi ke taman Seroja. Waktu masih panjang hari ini. Aku ingin melihat tempat kejadian perkara lagi.

*

Saat aku kembali, polisi sudah bersiaga di tempat itu. Sepertinya aku tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada lisensi yang bisa membuatku melakukan interogasi pada petugas yang berwenang. Investigasi juga sedang berlangsung. Tak ingin sia-sia ke sini, aku berusaha mencari Pak Samidi, orang yang disebut bapak penunggu tempat ini. Aku mencarinya di tempatnya biasa mangkal. Di dekat gubuk di ujung barat, kata Bapak. Maka aku pun berjalan ke sana. Di situ, kulihat seorang pria kurang lebih berumur 50an seperti Bapak yang sedang giat mencangkul. Di pinggir sawah itu terdapat banyak bibit yang mungkin akan ia tanam. Sempat-sempatnya bapak ini mau menanam sehabis ada pembunuhan, pikirku.

“Pak Samidi?”

Dia menoleh padaku. Tatapan matanya awas.

“Iya?”

“Saya Rangga Pak, anaknya Pak Slamet. Masih kenal saya Pak?”

Tanyaku sambil tersenyum.

Dengan segera dia menyambut tanganku terlebih dulu, tapi dari raut wajahnya aku bisa merasakan bahwa dia masih tidak ingat padaku.

“Yang dulu sering main di sawah membantu Bapak macul, lalu kakinya terkena pacul itu, Pak. Ingat?”

Tiba-tiba dia tersenyum.

Woooo! Mas Rangga! Waduh lama tidak ketemu Mas. Jadi lupa!”

Beliau tertawa dengan renyah.

“Hahaha. Iya Pak, saya bekerja di luar kota.”

“Oh begitu? Sekarang liburan apa bagaimana?”

“Ya bisa dibilang begitulah Pak. Boleh saya ajak Pak Samidi ngobrol-ngobrol kan ya?”

“Woh, tentu Mas! Saya justru senang ada teman ngobrol! Tadi pagi benar-benar menakutkan sekali buat saya. Siapa sangka ada mayat di taman yang saya jaga ini.”

Pembicaraan kami pun berlanjut. Dari awalnya saling membicarakan masa lalu yang kami habiskan di Seroja, sampai akhirnya, sesuai tujuan awalku, bertanya tentang kasus pembunuhan dan pembuangan mayat di tanah gagamit dan pohon Hayat yang baru saja terjadi.

*

Dari Pak Samidi, aku mendapatkan banyak informasi penting.

Pertama berkaitan dengan jumlah dan identitas mayat yang ditemukan. Korban yang ditemukan semuanya berjumlah sekitar 30 orang. Tentu jumlah yang luar biasa. Mayat-mayat itu terdiri dari 10 laki-laki dan 10 perempuan dewasa, sementara sisanya 3 bayi perempuan, 3 bayi laki-laki, 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Yang jelas ini bukan pekerjaan satu orang saja, pikirku. Apalagi menurut penuturan polisi sore harinya, mayat-mayat itu baru meninggal kurang lebih 24 jam dari pertama kali ditemukan. Artinya, mereka semua baru saja dibunuh satu hari sebelumnya. Seluruh warga desa ini, sama sekali tak ada yang mengenal mereka. Data administratif yang ada di desa ini tidak dapat membantu banyak. Tes DNA sekalipun tidak akan membantu karena data DNA orang-orang di negara ini belum tersinkronisasi dengan baik. Dengan demikian, satu-satunya dugaan yang bisa diajukan adalah mereka merupakan orang luar desa. Membunuh satu hari sebelumnya, kemudian memindahkan orang itu ke tempat ini, tentu butuh usaha yang luar biasa.

Pak Samadi yang berjaga di malam hari pun, katanya tidak melihat ada semacam truk atau alat pengangkut lain yang menyambangi taman Seroja malam harinya. Tidak ada orang lain yang menunggu taman Seroja karena memang destinasi utama desa ini bukan di taman itu. Jadi satu-satunya saksi yang bisa dipercaya, ya hanya beliau semata. Sepertinya polisi akan menggunakan informasi Pak Samidi ini untuk melanjutkan penyelidikan berikutnya. Tapi penyelidikan, bisa kupastikan, akan memakan waktu yang cukup lama.

*

Malam itu Ali mendatangiku. Dengan membawa sebuah kertas yang kemudian dia berikan padaku.

“Apa ini?”

“Formulir pendaftaran tim khusus bentukan desa. Kau tidak ingin mendaftar?”

Aku melihat kertas putih yang disodorkan Ali padaku. Kulihat-lihat sebentar, sebelum memutuskan untuk menolak tawarannya.

“Tidak. Aku ingin mengamati dari jauh saja.”

“Ayolah, sia-sia kau ada di sini kalau tidak membantu kami.”

“Aku selalu terbuka bila kau meminta bantuanku. Hanya saja aku menolak bila harus bergabung dalam sebuah tim seperti ini.”

Ali menghela nafas panjang. Entah kenapa semangatnya untuk mengajakku tiba-tiba berubah begitu saja.

“Karena kejadian ini, para wisatawan, anak-anak, orang tua pun, merasa khawatir. Kami ketakutan, Ngga.”

Aku tidak berkomentar apa-apa. Kubiarkan ia menikmati rokoknya.

“Tapi sebenarnya aku sedikit bersyukur ada kejadian ini. Paling tidak rencana pembangunan yang akan dilakukan di desa ini pasti akan mundur, dan semoga saja gagal. Aku yakin pihak pengembang tak akan repot-repot membuat jasa di tempat yang pernah terjadi pembunuhan berdarah.”

“Menurutku justru ini bisa saja menjadi daya tarik baru, wisata dengan nuansa mistis,” ujarku. “Tapi memang, pasti rencana pembangunan akan mundur.”

“Ya. Hanya saja aku tidak bisa memaafkan orang yang membunuh lalu menempatkan mayat-mayat itu di tempat-tempat yang selalu kami jaga sejak dulu. Aku merasa harga diriku terinjak-injak.”

Aku mencoba untuk memahami apa yang dirasakan oleh Ali. 10 tahun tak ada di sini sepertinya membuat ikatan perasaanku dengan desa ini melemah.

Tak lama setelah itu, seorang polisi datang mencari Ali dan kemudian memintanya untuk kembali ke kantor desa.

Ali pun berjalan mengikutinya; dari wajahnya bisa kulihat lelah yang berkumpul memenuhi batinnya.

*

Malam itu aku malah tidak bisa tidur. Kasus ini diam-diam menggangguku. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan mengitari desa. Aku yakin suasana desa cukup ramai. Semua mayat sudah dipindahkan oleh polisi, namun banyak polisi yang masih berjaga-jaga. Kasus seperti ini adalah yang pertama terjadi di desa ini. Tapi sekalipun bukan yang pertama, aku yakin warga tetap akan khawatir.  

Jalanan malam itu, ternyata tidak seperti yang kukira, relatif sepi. Hanya daerah sekitar kelurahan yang ramai karena disulap jadi pos polisi, sementara taman Seroja masih tampak di jaga oleh garis polisi. Pak Samadi kulihat juga tidak lagi berada di gubuk itu. Sepertinya dia ikut pindah ke kelurahan untuk sementara waktu. Mungkin karena ketakutan, seperti yang dia ungkapkan tadi waktu bicara padaku.

Saya takut sekali mas sebenarnya, jadi nggak bisa tidur sama sekali. Khawatir kalau-kalau saya yang berikutnya jadi mayat.

Taman Seroja malam itu benar-benar sepi. Hanya lampu-lampu di pinggir taman yang menjadi teman pohon Hayat malam itu. Aku memandang pohon Hayat lekat-lekat. Kemudian aku mendekat padanya. Sampai di batas garis kuning polisi aku berhenti.

Aku masih tetap melihatnya berdiri dengan kokoh.

“Hai, lama tak bertemu kawan.” Kataku. Entah kenapa aku ingin berbicara saja dengannya.

“Aku jadi ingat terakhir kali aku bermain di sini. Waktu itu hujan, dan aku berteduh di bawahmu. Siapa sangka, sekarang kau juga memberikan kesejukanmu itu pada mayat-mayat.”

Aku menatap ke sekeliling, memastikan tak ada yang melihatku berbicara dengan pohon. Bisa-bisa aku dikira gila.

“Sebenarnya selama 10 tahun hidupku sudah terlalu dekat dengan mayat, kau tahu? Di Yaman, Libya, Arab, Nigeria, dan banyak lagi, keseharianku selalu bersentuhan dengan mayat, atau orang yang akan menjadi mayat. Persis seperti yang pagi tadi berteduh di bawahmu. Dari anak-anak hingga mereka yang sudah tua. Aku merasa ke mana pun aku melangkah, malaikat pencabut nyawa selalu menyertaiku. Kuharap kali ini tidak ada lagi mayat-mayat yang bermunculan. Aku harap Tuhan membantu kami dalam menyelesaikan masalah kali ini.”

Aku merasa kedinginan; malam sepertinya sudah semakin larut.

“Sepertinya malam sudah terlalu dingin. Kalau begitu aku akan pulang. Baik-baiklah. Semoga tidak ada lagi mayat yang berteduh di bawahmu besok. Dan semoga kau tidak jadi ditebang. Kau berarti penting bagi warga desa ini.”

Ujarku mengakhiri pembicaraan singkat itu. Aku pun segera melangkah untuk pulang. Sembari berjalan, samar-samar aku bisa mendengar suara ranting yang tumbuh dari pohon itu.

Dan malam pun berlalu.

*




[1] Umpatan khas orang Jawa, biasa diucapkan bila sudah kesal dan marah, serta untuk mencela perbuatan orang lain.