catatan

Memupuk Rasa Ketakjuban

13.24.00

by @esmeraldaanissa

*
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. ~ Al Baqarah : 164

*
SAYA pernah memiliki seorang teman. Sebut saja namanya Bunga. Dia adalah seorang laki-laki tulen yang macho dan keren seperti Abu Jahal, eh tidak deh, terlalu tua dan jahat itu mah.

Jadi, Bunga ini, termasuk pemuda yang dulu berawal dari lingkungan yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan, sering terpapar pergaulan bebas, tidak pernah memikirkan apa yang akan di lakukan di masa depan nanti, mengalir saja inginnya, dan dia juga memiliki ketergantungan pada nikmat-nikmat tertentu yang melampaui batas. Tidak hanya Bunga saja, ada banyak, bahkan mungkin lebih ekstrem daripada yang Bunga alami. Tapi ada banyak pula, orang-orang seperti Bunga yang kemudian berupaya untuk berubah. Saya rasa, membutuhkan usaha yang luar biasa untuk mampu berubah total menjadi seseorang yang melandaskan seluruh kehidupannya pada nilai-nilai tauhid, dari latar belakang seperti itu. Bukannya tidak mungkin, namun ada jalan-jalan tertentu yang harus ditempuh agar hal itu bisa tercapai. Sahabat Rasul pun, suatu ketika pernah bertanya kepada beliau, bagaimanakah caranya agar mereka tetap sadar akan Allah, ketika disibukkan dengan urusan duniawinya. Di situ Rasul menunjukkan doa keselamatan dunia dan akhirat yang kemudian sering kita lantunkan setiap habis salat dan setiap habis berdoa. Hal itu menunjukkan betapa godaan itu senantiasa datang menghampiri, berusaha untuk menjauhkan manusia dari nilai-nilai ketuhanan.

Bayangkan, itu saja masih di jaman Rasul, ketika belum ada internet, instagram, telegram, ambigram, pictogram, dan gram-gram lainnya, jadi belum bisa stalking-stalkingan yang bisa memicu khalwat secara tidak langsung. Tapi godaan sudah ada dan bahkan sahabat pun merasakan adanya kesulitan. Belum pula ada lazada (bukan nama sebenarnya), buka lapak (bukan nama sebenarnya juga), indomaret (masih bukan nama sebenarnya), alfamaret dan yang lain. Kemampuan kapasitas produksi dan pengolahan manusia akan bahan-bahan alam di jaman sekarang sudah semakin besar. Dari segi fisik, saya berani bertaruh lebih banyak perempuan dan laki-laki yang rupawan di jaman ini dibandingkan pada jaman Rasul, yang menyebabkan godaan pasangan semakin besar. La bagaimana tidak, sekarang sudah ada axe dan ponds broh, wong hanya pakai axe saja bidadari bisa ngibrit kok, apalagi kamu. Materialisme dibantu dengan kapitalisme dan liberalisasi pasar semakin menjadikan godaan material itu semakin besar. Saudara-saudara, selama produk-produk terus diproduksi, selama itu kita akan selalu diuji dengan beli atau tidak yaaa?

Secara pribadi, saya sepakat dengan perkataan salah satu orang yang saya hormati, bahwa memahami jalan Allah sebagai jalan yang benar saja tidak akan cukup untuk membuat manusia bertahan di jalan tersebut. Kita membutuhkan dorongan afeksi yang besar, untuk tetap bertahan. Dan bagi teman saya itu, hal ini benar-benar berlaku. Dia berjuang melawan masa lalu dan kebiasaannya dulu sembari berupaya bertahan di jalan ini. Betapa banyak orang yang tahu mana benar dan mana salah, namun tetap bertahan di jalan yang salah karena dia merasakan kenikmatan di jalan tersebut? Sebut saja, koruptor, para penyontek ketika ujian (nah lo, ini pasti kamu ya), para penembak SIM biar cepat lulus (ini juga pasti kamu ya), dan lain sebagainya. Memang, permasalahan ini bukanlah hal yang sederhana. Tidak sesederhana memilih pakaian di lemari loker saya yang hanya itu-itu saja modelnya. Dan tidak pula sesederhana membalikkan telapak kaki kita.

Ada perbedaan antara mengubah kepercayaan dan keyakinan, atau katakanlah pandangan hidup seseorang, dengan membuat mereka bertahan pada jalan hidup tersebut. Ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa sekalipun pandangan hidup mereka sudah berubah, namun nyatanya mereka tidak bertahan. Penyebabnya sendiri bisa banyak, antara lain karena menemukan penilaian baru bahwa pandangan hidup yang baru itu salah, atau karena tidak merasakan kenikmatan pada jalan tersebut, atau karena dipaksa kembali pada jalan yang lama oleh pihak-pihak tertentu, sebagaimana pernah terjadi pada jaman Rasul, sahabat yang dipaksa mengakui adanya Ilah selain Allah dengan siksaan yang begitu berat, bahkan ada pula yang kemudian orang tuanya dibunuh.

Dari sini saya akan memusatkan tulisan ini untuk membahas masalah yang kedua, yaitu kegagalan bertahan karena tidak mampu merasakan kenikmatan di jalan tersebut. Menumbuhkan kenikmatan pada gaya hidup yang baru menurut saya sendiri cukup membutuhkan usaha yang keras dan konsisten, kalau tidak ingin jatuh dalam godaan yang menyebabkan kembali pada kebiasaan lama yang menurut pengalaman rasa yang dilalui sebelumnya merupakan hal-hal yang nikmat. Secara umum untuk bisa merasakan kenikmatan, dapat dilalui melalui berbagai jalan, misalnya mencari hikmah dari jalan yang ditempuh dan apa manfaatnya untuk kita kelak. Namun, untuk memperkuat hal tersebut, saya rasa, termasuk saya sendiri, juga membutuhkan perasaan cinta kepada Tuhan. Dengan kata lain, saya memerlukan pengenalan yang dalam terhadap Tuhan untuk bisa bertahan di jalan tersebut. Mengapa? Untuk menumbuhkan rasa takjub, rasa sungkan, dan rasa malu bila akhirnya saya melanggar aturannya. Kadang kala, dan ini sering terjadi, saya mengetahui nilai penting sebuah perintah, namun saya melanggarnya. Tidak perlu saya sebutkan dosa apa yang saya lakukan, semoga Allah mengampuninya. Namun yang jelas, saya merasa bahwa hal itu terjadi karena saya tidak benar-benar meyakini, mencintai, dan merasa ada keharusan untuk mengikuti segala yang dia perintah. Atas dasar ini, maka bagi saya pribadi, saya perlu mengenal Allah dan mencintainya dalam-dalam, agar saya memiliki rasa malu dan rasa sungkan serta rasa bangga dan senang bila terus berada di jalan yang dia ridai.

Tapi bagaimana? Saya sudah meniatkan akan mengirimkan surat lewat pos, eh tapi alamat Allah katanya di ‘Arsy. Selain sulit pergi ke sana, biayanya juga pasti mahal. Pakai motor apa ya untuk bisa ke sana. Duh ini nanti malah bisa jadi merepotkan. Lalu alternatif berikutnya, sepertinya saya harus menjalin komunikasi batin dengan Allah. Lah tapi itu pun juga susah. Toh saya ini siapa, bukan rasul dan bukan sihir, eh maksudnya bukan nabi. Belum lagi tidak ada kepastian apakah Allah nanti membalas balik, dalam arti secara langsung seperti layaknya saat saya ngobrol dengan kamu. Pernah pula terpikirkan untuk stalking di instagram, lah belio nggak punya akun IG, terus aku kudu piye? Lalu saya harus bagaimana? Bagaimana saya bisa mencintai diri-Nya?

Untunglah, setelah saya meminum air minum dan setelah sekian detik berpikir, akhirnya telah kutemukan salah satu hal yang bisa menjadi jawabannya. Yaitu: memikirkan tentang alam semesta yang dia ciptakan. Kok?

*


*

Hasil dari perkuliahan studi Al Quran yang saya tempuh, salah satunya menunjukkan bahwa di dalam Al Quran, Allah menegur, mengingatkan, dan menyampaikan peringatan kepada manusia melalui informasi-informasi yang berkaitan dengan alam semesta. Sebut saja, tentang hujan, tumbuhnya tanaman, kematian tanaman lewat keringnya rerumputan (ini pernah saya tulis dalam sebuah tulisan tersendiri, mungkin beberapa hari ke depan akan saya pos juga setelah pasti ditolak oleh pihak yang saya kirimi naskah, huhu, sedihnya...). Orientasi dari penyampaian itu adalah untuk membuat manusia berpikir dan menghayati kembali tentang alam semesta, dan menurut pemikiran pribadi saya, juga agar mereka semakin yakin pada kebesaran dan keagungan Allah. That he is the only one. Sebenarnya lewat informasi kisah umat terdahulu pun juga dapat digunakan atau diorientasikan untuk hal yang sama, walaupun ada penekanan yang berbeda. Namun menurut saya, yang lebih enak untuk dilakukan adalah dengan mengamati alam semesta. Mengapa?

Sebenarnya ini bersifat dugaan, tapi melihat intensitas teman-teman satu perjuangan yang sangat sering memposting tentang panorama alam semesta di instagram mereka, atau di facebook, menunjukkan bahwa mengamati alam adalah hal yang menyenangkan dan menyegarkan pikiran. Coba deh kamu amati, hijaunya pepohonan dan sawah-sawah, kepakan sayap merpati, semilirnya angin yang menyapa wajahmu, atau dedaunan yang jatuh terbawa angin menuju kelopak matamu, bahkan bisa juga dari yang terkecil; semut yang menggeliat dan menjajah kulit-kulit tanganmu, nyamuk-nyamuk yang selalu mengganggu waktu mau tidur, dan seterusnya, dan seterusnya. Tidak membutuhkan banyak berpikir, pada tahap pertama, karena yang kamu perlu lakukan adalah melakukan sensasi. Ya, kamu hanya perlu mengamati dulu. Gunakan kedua bola matamu yang indah itu untuk melihat dan mengamati bentuk, tekstur, warna, kesimetrisan, dan aspek-aspek penglihatan lain dari alam semesta ini. Gunakan telingamu yang mungil nan lentik itu untuk mendengarkan detak jantung alam ini. Gunakan kedua tanganmu untuk merabanya dan merasakan kebesaran Allah yang terpancar dan membekas pada setiap sudut ciptaanNya, serta gunakan lidahmu yang lentur nan tak pernah kering itu untuk mencicipi manis dan kecutnya buah-buah yang senantiasa tumbuh tanpa perlu kau tarik dari akarnya. Kamu hanya butuh merasakannya, baru setelah itu menghayatinya. Siapa yang bisa menciptakan semua ini?

Nah kalau level segitu sudah terlampaui, cobalah untuk menghayati lebih dalam lagi dengan menambah pengetahuan kita tentang alam semesta ini dari segi yang paling kecil. Misalnya, coba kita perhatikan bakteri, virus, vitamin, protein, enzim, dan seterusnya. Saya pun belum banyak tahu, tapi sejauh yang saya baca, pada ciptaan-ciptaan yang sangat mikro itu, terdapat hal-hal luar biasa yang bahkan bisa membuat dirimu sendiri takjub. Bakteri, yang katanya organisme paling sederhana itu, memiliki berjuta-juta nukleotida yang dimampatkan dalam bakteri yang sebenarnya sudah sangat-sangat kecil. Panjangnya nukleotida pada bakteri berkisar sekitar 1,400 micron, sementara ukuran sel bakteri hanya sekitar 2-3 mikron![1] Bayangkan betapa sumpeknya di dalam sana. Kalau dalam manajemen kependudukan sudah pasti kepadatan penduduknya sangat tinggi! Bakteri juga termasuk organisme yang sangat bandel, bahkan ada yang ditemukan berumur sekitar 700 tahun di dalam batu-batu garam.[2] Kalau mau tahu lebih dalam tentang enzim supaya kamu juga bisa lebih sehat, bacalah bukunya Dr. Hiromi Shinya. Lebih lanjut silakan baca dan mengamati sendiri deh, saya takut nanti malah jadi guru biologi. Prinsipnya, dari situlah kita bisa merasakan betapa agungnya sosok yang menuntun kita itu.

Jadi, apakah sudah kau merasakan kebesaran Allah?

*

وَفِي أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang yakin, dan pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
~ Adz-Dzariyaat 20-21.

*

Semoga tulisan ini mampu memberikan jalan keluar bagi mereka yang sulit merasakan kehadiran Allah dalam setiap nafas kehidupannya. Dan semoga kamu semakin sering mengamati alam semesta, syukur-syukur ngesare di sosial media baik instagram ataupun yang lain, supaya orang-orang yang nggak sempat hunting foto alam semacam saya ini bisa kecipratan ketakjubanmu kepada Tuhan. Terima kasih khususnya pada @esmeraldaanissa, @nurfeby_07, yang telah mengizinkan saya menggunakan foto hasil jepretan mereka untuk membuat tulisan ini. Selamat berjuang menempuh deadline yang masih tersisa. :)

Surabaya,  18 September 2016.




[1] Harun Yahya, “The Microworld Miracle”, hlm.26.
[2] Ibid, hlm. 40.

catatan

Filosofi Sopir dan Kenek Bus

18.30.00

Sumber gambar : kaskus.us


*

Ini hanyalah sekedar tulisan melepas penat di tengah deadline. Walaupun ada embel-embel filosofi jangan terlalu berharap Anda akan mendapatkan isi konten yang mencerahkan hidup Anda, bisa digunakan sebagai quote lalu dipajang di DP BBM, share di instagram, atau yang lainnya. Tapi kalau di-forwardin sedikit-sedikit boleh lah. Tidak dipungut biaya kok.

*

JADI, ceritanya saya sedang mengalami gejala hedonic treadmill di tengah mengerjakan deadline. Biasanya saya semangat, bahkan saking semangatnya, biasanya tanya jawab asumsi soal belum selesai saya sudah mengumpulkan deadline duluan. Ini betul terjadi lo rek, tapi nggak usah ditiru ya. Hanya orang-orang golongan tertentu yang bisa melakukannya. Setidaknya kamu perlu puasa 40 hari 50 malam supaya bisa mencapai tingkat keahlian semacam ini.

Nah, entah ada angin apa, saya tiba-tiba jadi ingin mandi di sore hari. Padahal biasanya saya tak pernah mandi. Lalu mandilah saya, jebur-jebur, srek srek, lalu selesailah dalam waktu kurang lebih 2 menit. Di tengah itu, saya jadi teringat masa lalu saya, saat masih halus kulit wajahnya tanpa jerawat, yang pernah memiliki keinginan dan cita-cita serta harapan untuk menjadi seorang kenek bus. Tahu kenek bus kan? Iya, yang itu lo.

Waktu kecil saya sangat sering bepergian naik bus dengan kakek. Maklum, untuk mengisi waktu vakum dari sekolah selama satu tahun karena saya nggak mau sekolah, kakek saya yang baik itu mengajak saya bepergian ke berbagai tempat. Mungkin orientasinya adalah untuk mengenalkan saya dengan berbagai macam social environment, dengan demikian muncul keberanian dalam diri saya untuk bergaul, lepas dari Ibu ataupun kakek saya sendiri. Kami pergi ke berbagai kota, naik bus Sumber Kencono, Mira, Eka, dan merek-merek lain yang waktu itu tarifnya masih murah. Apalagi cuma dari Madiun ke Ponorogo, Magetan, atau Solo saja. Kami berangkat pagi, dan pulang di sore hari. Di tengah perjalanan berhenti di terminal untuk mencari warung bakso, lalu makan dua porsi, satu untuk saya, satu lagi untuk kakek, walaupun lebih sering dua-duanya untuk saya sendiri sementara kakek memilih makan di rumah atau minum air putih saja. Tak lupa kakek mengajak saya untuk sembahyang di musola terminal. 

Karena sering duduk di depan, dekat dengan kenek dan sopir bis, saya selalu mengamati bagaimana mereka bekerja. Kenek bus, yang biasanya mojok di pinggir depan kiri atau pinggir kiri belakang itu, setidaknya memiliki beberapa job description atau pekerjaan-pekerjaan khusus. Pertama, meneriakkan kepada penumpang yang berada di sekitar terminal, tentang tujuan bus itu. “Ponorogo-ponorogo! Madiun-madiun! Jombang-jombang!” dan seterusnya, tergantung destinasi bus itu sendiri. Nah, bila sudah berteriak, berikutnya adalah menawari. “Ponorogo Mbak? Jombang Mas? Gresik Mbok?” dan seterusnya. Tunggulah, bila para penumpang sudah terbius dan akhirnya mau naik, pekerjaan berikutnya adalah mencarikan tempat duduk. Dan ini sulit bukan main apalagi kalau tempatnya sudah penuh! Bahkan kalau sudah terdesak mereka akan memasang wajah polos untuk membujuk dan meyakinkan bahwa ada yang kosong, padahal aslinya sudah overkuota. Nah bila sudah, untuk sementara pekerjaan mereka berakhir. Namun mereka harus beraksi lagi apalagi sang sopir punya niat untuk menyalip. Sang kenek harus siap sedia untuk menjadi mata kedua bagi sang sopir, mencari haluan yang pas dan menilai apakah layak untuk menyalip atau tidak. Di sinilah mereka bermain kode, yang kadang kala saya tak memahami maksudnya. Ada yang mengatakan, “Ok bos!”, “Lanjut!”, “Terus!”, “Tabrak ae!” (Tabrak Saja!!) dan selainnya. Lalu pekerjaan terakhir adalah menarik biaya perjalanan tentunya.

Nah, di sisi lain, sang sopir, walau terkesan hanya duduk sambil menggerak-gerakkan tangan ke kiri dan ke kanan sambil nginjak-nginjak pedal di bawah, sebenarnya juga tak kalah susah. Mereka harus fokus, memperkirakan kecepatan, mengatur kapan ngerem, dan sebisa mungkin membuat penumpang enjoy dengan perjalanan mereka. Karena kenyamanan penumpang adalah dari bagaimana perjalanan terlalui, sob. Saya yang kecil saya tahu, bahwa pengemudi yang mengemudi dengan aman, pelan-pelan, membuat saya dapat menikmati perjalanan. Tapi memang di sini menjadi dilema tersendiri bagi sang sopir, kalau kebetulan penumpangnya keburu-buru biasanya dia didesak untuk cepat-cepat, nah sementara bila dia yang keburu-buru, penumpangnya ngotot untuk pelan-pelan saja. Yang jelas, nyawa dan masa depan para penumpang itu ada di tangan sopir.

Tapi sebenarnya ada tanggungan moral, atau etika, yang melekat pada sopir ataupun sang kenek bus. Seperti misalnya membantu mengurusi para penumpang yang biasa ada masalah, baik sakit seperti mual, atau sakit dalam arti jiwanya yang sakit. Saya pernah lo, menjumpai seorang penumpang yang sepertinya menderita demensia (gangguan ingatan atau kepikunan), tidak tahu jalan pulang ketika naik bus, akhirnya dia sedih dan meminta bantuan kenek bus dan sopir bus itu. Beruntung kalau mereka baik, sebisa mungkin akan diupayakan untuk diantarkan pulang, tapi kalau mereka sudah fokus untuk mencari uang saja, biasanya akan ditinggalkan begitu saja orang-orang itu, di pinggir jalan, yang penting uang sudah masuk. Belum lagi kalau sudah ada pengamen yang masuk, sang kenek bus harus sigap memutuskan kapan mereka turun, apakah mereka boleh berada di dalam bus, bagaimana menolaknya, dan seterusnya. Dan lagi, ternyata sopir bus itu juga bertanggung jawab terhadap makan kenek busnya lo, tapi ini hanya saya jumpai di beberapa bus sih. Jadi selesai mereka narik, ada uang yang biasanya disediakan untuk kenek dan sopirnya makan, nah ini biasanya di bawa oleh sang sopir, atau kalau tidak ya mandornya.

Lalu di mana filosofisnya?

Duh, itu sendiri yang sedang saya pikirkan. Saya menulis kadang kala hanya untuk memaparkan masalah saja. Hahaha. Tapi jangan khawatir, buat yang sudah terlanjur baca mungkin bisa memahami setidaknya hikmah yang saya tarik dari sistem per-bus-an tersebut. Saya melihat bus sebagai analogi masyarakat.

Para penumpang adalah rakyat, yang memiliki tuntutan dan kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi. Mereka memasrahkannya pada kenek dan bus, yang dianggap memiliki kemampuan untuk mencapai kebutuhan yang mereka inginkan. Karena itulah mereka menyetorkan modal/fee bagi sopir dan kenek itu, berupa bayaran. Bila sistem ini boleh dibatasi sebatas ini saja, dengan mengabaikan pihak pemilik modal bis secara makro, atau perusahaan bis itu, maka dapat dianggap bahwa kenek dan sopir bis itu sebagai mereka yang mengomandani jalannya bis itu, atau dengan kata lain mereka yang diamanahi tanggung jawab untuk mewujudkan kebutuhan masyarakat sesuai dengan sektor yang mereka pilih. Ada kenek bus dan sopir bus bagian politik, ada yang di ekonomi, ada pula yang di pendidikan, dan seterusnya. Memang realitas ini tidak sepenuhnya analog, namun bagi saya pribadi, itulah kesan yang saya dapatkan dari menghayati sistem per-bus-an itu.

Ternyata motif dari para kenek dan sopir itu pun dapat mempengaruhi jalannya bis atau sistem itu sendiri. Kenek dan sopir yang fokus untuk mencari duit akan mengabaikan para penumpang yang membutuhkan bantuan untuk pergi ke tujuan yang diinginkan, mereka akan mengabaikan apa yang dibutuhkan oleh para penumpang itu. Sementara kenek dan sopir bis yang punya niat untuk membantu para penumpangnya, akan berusaha mengantarkan mereka ke tempat tujuan bila memang dibutuhkan. Nah, artinya, bisa jadi, sistem buruk bukan karena sistemnya, namun karena orang-orangnya. Artinya, biar busnya bagus (tidak hanya cari duit tapi juga memiliki dimensi untuk menjadi altruis), juga perlu di isi dengan kenek dan sopir yang bagus.

Pun demikian, di sistem politik, di sistem pendidikan, di sistem hukum, bila orientasinya untuk mencari duit, maka semua sistem yang disusun akan bekerja untuk mencapai orientasi para pemegang kendali di sana. Bila orientasi diubah, maka jalannya sistem itu dan dampaknya terhadap para penumpang (baca: masyarakat) kemungkinan besar bahkan pasti akan berbeda pula. Saya pikir saya dan teman-teman yang membaca kelak akan menjadi kenek ataupun bus di salah satu sistem sosial yang ada di masyarakat, dan menjadi penumpang di sistem sosial yang lain. Misalnya, di sistem hukum Anda memilih jadi sopir (hakim, jaksa, dan seterusnya), sementara di sistem ekonomi Anda memilih jadi penumpang (mengikuti kebijakan para ahli ekonomi). Motif Anda ketika jadi kenek ataupun sopir dalam tiap sistem tersebut akan menentukan bagaimana nasibnya para penumpang yang Anda pegang.

Singkatnya begini, kita kelak akan memikul tanggung jawab yang besar. Pekerjaan seremeh apapun itu, bahkan jadi kenek bus betulan saja, saya rasa punya tantangan masing-masing dan untuk menjadi ahli di tiap bidang itu Anda harus melalui berbagai perjuangan. Setidaknya yang paling sedikit saja, Anda harus merelakan waktu untuk tidak menjalani aktivitas lain yang menyenangkan. Kenek dan para sopir yang tiap hari hidup di jalanan itu, harus mengorbankan hampir 18 jam hidupnya hidup di jalanan, mengabaikan keluarga yang di rumah, mengabaikan kesempatan untuk nonton di bioskop, mengabaikan kesempatan untuk leha-leha di taman, semata-mata agar mereka dapat menjalani pilihan yang mereka pilih. Kalau kamu memilih jadi sopir atau kenek di bidang hukum (baca: konsultan hukum, dan selainnya) kamu harus mengorbankan kesempatan untuk mempelajari sastra yang asyik bukan main, dan seterusnya.

Nah, begitulah realitasnya. Saya sudah memilih akan jadi kenek, biar seseorang yang kelak mengisi posisi jadi sopir, di bidang yang saya pilih. Kamu memilih yang mana? Apa motifmu berada dalam sistem itu? Mau kamu bawa ke mana penumpang kita *eh?



Teruskan belajarmu, sampai jumpa di terminal kelak. Hohoho. 

*

Surabaya, 15 September 2016. 

catatan

Kop Surat

18.03.00

* Sebenarnya, ini bukan tulisan tentang kop surat sama sekali. Tulisan ini bergaya sama dengan tulisan saya sebelumnya, yaitu ‘Tentang Translusens’ yang berkesan slengek’an (menggunakan bahasa yang kasar dan ekspresif serta jahil) cuma agak lebih halus karena konteks turunnya yang berbeda. Tulisan ini benar-benar purely emotional, berkaitan dengan diri saya dan tentunya tentang sesuatu yang bagi saya cukup penting untuk dituliskan, khususnya untuk para pembaca setia tulisan-tulisan blog ini. Uhuui.

*

Jadi, singkatnya, hari ini adalah hari pertama saya menjalani masa ujian tengah semester di semester 5 ini. Alhamdulillah sudah sampai semester 5, dan semoga bisa lulus tepat waktu. Sedikit cerita tentang pengalaman UTS pertama kali, jujur nih; saya ketiduran waktu mengerjakan soal! Mungkin ini karma karena dulu saya dengan jahilnya memotret kakak kelas yang juga ketiduran waktu tes TOEFL! Hahaha. Maafkeun daku Kak, tidak ada maksud buruk sama sekali dari diriku waktu itu! Hahaha.

Tapi sebenarnya, baik UTS ataupun tidak, saya termasuk orang yang gampang sekali mengantuk ketika di kelas. Setelah melalui uji penelitian di Ipebeh dan Itebeh, ternyata dikemukakan beberapa faktor yaitu; saya memang secara inheren sudah terlahir dengan bakat mengantuk di mana saja; pola tidur yang tidak ideal; posisi duduk yang terlalu nyaman; dan terakhir, karena tertular virus dari teman seberang, hoho. Untuk mengatasinya saya biasa keluar kelas dalam interval 15 menit, bahkan kalau sudah ekstrem betul bisa-bisa tiap 5 menit sekali saya keluar kelas, ke toilet, ngucek-ngucek mata, kalau perlu membasuh wajah berpuluh-puluh kali. Maka dari itu, mungkin adik kelas atau orang di ruangan lain pasti bertanya-tanya, kenapa makhluk yang satu ini (baca: saya) terus saja mondar-mandir di sekeliling kampus. Baiklah stop sampai di sini, walaupun saya sering mengantuk, masih ada orang yang jauh lebih parah kok dibandingkan saya. Heuheuheu.

Oke skip. Jadi langsung saja, sehabis pulang UTS saya pulang setelah membeli beberapa lauk di warung dekat kampus yang terkenal lumayan murah. Saya pulang, dengan menggenjot, eh, mengendarai sepeda motor milik Ibu yang saya bawa paksa ke Surabaya dengan kecepatan 30km per jam, niatnya sih ingin menikmati perjalanan. Begitu sampai di kos, saya buka laptop, makan-makan sedikit setelah sebelumnya dimarahi sama seseorang karena makan nggak teratur, lalu tiba-tiba tanpa permisi virus ngantuk itu datang lagi. Duh, jadilah saya bingung. Akhirnya saya browsing-browsing di internet, mencari hal-hal yang bisa membuat kantuk saya terusir. Dan entah bagaimana ceritanya, setelah buka tutup hape dan buka tutup alamat web, saya sampai pada sebuah blog yang ditulis oleh seseorang. Bukan, bukan pemilik alkerukma.blogspot.com yang menjanjikan buku tapi lama sekali janjinya terealisasi, bukan. Sebut saja blog itu blog ini *eh.

Sebenarnya blog itu masih unyu, alias belum banyak isinya, namun, tulisan-tulisan yang dia tulis (pemilik blog itu maksudnya) mengingatkan saya pada diri saya waktu masa-masa SMA. Saat itu saya masih jadi pemuda yang gagah dan tangkas, mirip Captain America ketika kebanyakan puasa (sekarang masih juga), dan masih mengawali karier dalam bidang tulis menulis, mulai dari lampu hijau, alias mulai dari nol. Hohoho.

Seingat saya, waktu SMA tulisan-tulisan yang saya hasilkan jauh berbeda dari saat ini. Menurut penilaian rekan kerja saya di salah satu grup, alias si Mbah Jumaria binti Romana bin Ababil itu, tulisan saya saat ini sudah lebih mending, walaupun sastranya masih jauh dari kaidah kesusastraan. Tapi kalau SMA dulu, duh, tulisan saya malah jauh lebih ancur, hahaha. Cerpen yang saya buat, artikel yang saya tulis, prosa yang saya gubah, bahkan musik yang saya ukir, semuanya tak mampu menggetarkan dinding hati kalian *uhuk. Tapi, ada satu hal yang membuat saya tetap melanjutkan hal itu. Tidak lain dan tak bukan adalah, karena saya merasa hanya lewat tulisan itulah saya bisa mencapai sesuatu hal. Saya yang antisosial, pesimistis, sering berpikiran negatif, gampang baper, dan seterusnya dulu itu, hanya bisa yakin pada satu hal yang mungkin akan membuat saya berubah; yaitu tulisan. Duh, melankolis sekali saya dulunya, haha.

Salah satu pencapaian yang sampai saat ini bisa saya banggakan ada dua, pertama; tulisan saya tentang fenomena pacaran yang di forward oleh berbagai orang teman, dan kedua, tulisan saya tentang "Masyarakat Sooka" yang saya buat waktu lebaran tahun lalu yang pernah menjadi headline di kompasiana. Dua tulisan itulah yang mungkin nggak sampai bombastis ke berbagai media massa, namun, bagi saya yang masih alakadut dalam menulis ini memberikan dorongan semangat tersendiri untuk terus menulis. Rasanya hati ini begitu gembira karena dua hal itu terjadi. Maka saya pun semakin giat menulis, mengevaluasi, dan sesuai saran sahabat saya dalam bidang tulis menulis, membaca banyak cerita pendek sebagai awal agar tulisan saya berkembang semakin bagus, tentu di sela-sela saya membaca buku lain yang lebih penting untuk tugas-tugas kuliah dan pengembangan ke depan.

Akhirnya secara umum ada dua jenis tulisan yang saya buat, sastra dan tulisan yang bersifat ilmiah (sebisa mungkin), seperti tulisan tentang Kurban kemarin, dan selainnya. Tulisan sastra saya fokuskan di Wattpad, sementara tulisan-tulisan bernada akademis saya rencanakan akan ditulis di blog, Kompasiana, Qureta, dan beberapa media lain, yang sejauh ini belum semuanya bisa tergapai. Tapi, senada dengan apa yang dipikirkan oleh sang penulis blog tersebut, saya akan tetap berusaha untuk menulis dan menghasilkan karya lewat tulisan ini. Bila tulisan-tulisan saya bisa menginspirasi orang, wuih saya sangat bersyukur sekali. Oleh karenanya, sejujurnya saya sangat senang (pakai buuanggeeett) bila ada yang menyukai tulisan-tulisan saya walaupun tentu saya tetap jaim, wkwkwk. Enggak ding, saya memang lempeng-lempeng begini saja, baik wajah ataupun perilakunya.

Balik lagi deh ke masalah judul. Jadi kenapa kok tulisan ini saya judulkan dengan ‘Kop Surat’? Hmm, karena kita masih mengawali jalan perjuangan ini, dari awal sekali. Kalau dihubungkan dengan masa depan nanti, aku yakin kita akan lebih banyak lagi membuat tulisan-tulisan, tentu tulisan-tulisan yang bersifat untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat. Mungkin sekali hampir setiap saat kita akan berurusan dengan teks, buku, diskusi, dan tulisan-tulisan yang harus kita analisis ataupun kita buat sendiri. 

Seperti kata-katanya Lao Tzu, yang mengatakan bahwa, “The journey of a thousand miles starts with a single step.”

And maybe, you are there, taking your first step to your own journey.

Jadi selamat berjuang, buat kalian-kalian yang membaca tulisan ini.  Kejar mimpi kalian masing-masing.

Khususnya buat sang pemilik blog, teruslah menulis ya. Walau ada kesan alur yang sama, but inspiration is endlessBuatlah tulisan keenam, ketujuh, dan seterusnya. Insyallah entar saya deh yang baca, tapi ketentuan dan syarat berlaku, wkwkw. 


Sekian. 

PS : Rom, bukunya tak tunggu. Cepetan balik ke Surabaya kau!

catatan

Kurban

10.46.00

Didapatkan dari : www.fotothing.com/foxhouse/photo/8048c3c67608c8748464ce383c4af5c9/

*

Sejak beberapa hari yang lalu, jalanan di sekitar ITS, Mulyosari, Kenjeran, dan sekitarnya, sudah mulai dibanjiri oleh para pedagang sapi ataupun kambing kurban. Lapak-lapak dagang yang tidak terpakai, atau wilayah kebon yang ada di pinggir jalan raya ditebangi dan ditata sedemikian rupa menjadi sebuah ‘pasar bebas’ mini untuk menjual kambing dan sapi-sapi kurban itu. Di satu sisi efek dari momentum hari kurban dimanfaatkan dengan sukses oleh pasar untuk menarik investor agar membiayai program seperti kurban untuk daerah-daerah terpencil. Memang, umat Islam akan segera menyambut hari yang penting, hari raya Kurban. Umat Islam beramai-ramai mempersembahkan pengorbanannya untuk Allah.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan dari Idul Kurban ini bila bergantung dari pengalaman hidup saya. Waktu kecil saya hanya biasa melihat-lihat saja, prosesi penyembelihan kambing-kambing dan sapi-sapi yang dengan ikhlasnya disembelih, dari kejauhan. Sejak SD hingga SMA saya tidak pernah satu kalipun memegang pisau atau kapak untuk menyembelih hewan kurban. Sekarang saya jadi menyesal, karena tidak memiliki skill menyembelih hewan. Duh, apa kata dunia. Tapi cukup sampai di sini saya bermelo-melo, mari kembali fokus ke hari raya Kurban. 

Pada umumnya hari raya ini dilekatkan dengan kisah dua Nabi yang terkenal, lebih terkenal dari Donald Trump atau Hillary Clinton yang sedang pada sibuk kampanye, yaitu Nabi Ibrahim dan Ismail. Secara singkat, kisah tentang beliau berdua dikisahkan dalam beberapa surat, salah satunya dalam As-Saffat ayat 100 hingga 107:

(Ibrahim berdoa) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

Ismail merupakan anak pertama Ibrahim. Ibrahim memang sudah lama sangat mengharapkan seorang anak. Sudah sewajarnya bagi seorang laki-laki mengharapkan adanya seorang anak yang akan menjadi penerusnya, menyampaikan risalahnya, menggantikan posisi sebagai kepala keluarga, dan seterusnya. Oleh karenanya Ibrahim pun berdoa, meminta anak kepada Allah, agar dia dikaruniai seorang anak. Satu saja nggak papa deh, mungkin begitu. Gayung pun bersambut, lahirlah Ismail yang ternyata dalam perkembangannya dari yang masih chubby-chubby sampai remaja menjadi anak yang sesuai dengan harapannya. Salah satu sifat yang dimiliki Ismail, sebagaimana disebutkan oleh Allah, bahwa dia adalah seorang anak yang amat sabar. Memiliki anak yang shaleh seperti itu, tentu sangat menggembirakan bagi seorang ayah. Lantas apa gerangan yang membuat Allah memberikan perintah untuk menyembelih Ismail? Apakah Allah iseng saja ingin menjahili Ibrahim?

Tentu tidak, pasti ada sesuatu yang mampu menjadi pelajaran bagi kita. Untuk bisa memahami hikmah dari kisah Ibrahim dan Ismail, mau tidak mau menurut pandangan saya kita harus memahami konteks yang melingkupi kondisi saat itu, sehingga dapat diketahui mengapa Allah menyuruh Ibrahim menyembelih Ismail. Salah satu masalah yang mungkin muncul adalah adanya kemungkinan kecintaan Ibrahim terhadap Ismail tersebut sudah terlalu tinggi, bahkan mungkin hampir sama atau setidaknya mendekati kadar cinta Ibrahim terhadap Allah. Di satu sisi, memang dapat dipahami bahwa kerinduan dan harapan Ibrahim akan seorang anak, sangat mungkin membuatnya mencintai Ismail dengan kadar yang sangat tinggi. Bila sudah sampai pada titik itu, maka kecintaan terhadap Ismail berpotensi untuk menghambat Ibrahim dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan risalahnya. Saya membayangkan misalnya, suatu ketika Ismail sakit, lalu Allah menyuruh Ibrahim untuk berdakwah, terus beliau meminta untuk diberi kesempatan merawat Ismail dulu sehingga dakwahnya terlambat. Tentu saja ini hanya khayalan saya, bukan kenyataan. Tapi setidaknya ada kemungkinan bahwa kecintaan Ibrahim terhadap Ismail itu bisa membuat lemah dirinya dalam jalan perjuangannya menyampaikan risalah ketuhanan.

Maka di sinilah Allah memberikan perintah untuk Ibrahim agar menyembelih Ismail, atau dengan kata lain untuk mengurbankan Ismail. Ada beberapa sudut pandang yang bisa digunakan untuk memaknai ini. Pertama, perintah tersebut adalah media untuk menghilangkan sumber kecintaan yang melalaikan bagi diri Ibrahim. Kedua, perintah itu sebagai ujian untuk menilai apakah Ibrahim akan tetap pada jalan Allah atau dia menyimpang dari jalan Allah. Dari segi pertama dapat kita maknai bahwa salah satu jalan yang ditunjukkan oleh Allah apabila kita sudah terlalu mencintai sesuatu hingga membuat kita mengurangi kadar kecintaan terhadap Allah adalah dengan menghilangkan atau memusnahkan hal tersebut, sehingga kita bisa kembali pada Allah. Kedua, dari sini terlihat bahwa sosok seperti Nabi Ibrahim pun, mendapatkan ujian untuk tetap menilai apakah beliau benar-benar orang yang beriman, sekalipun sebelumnya beliau sudah melalui berbagai banyak cobaan dan membuktikan dirinya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Dia diharuskan menyembelih sesuatu yang sangat dia cintai, yang sudah sangat dia harapkan diwujudkan oleh Allah. Tapi begitu terwujud, rupanya Allah menghendaki bahwa dia harus diambil kembali. Mungkin karena itulah Allah menegaskan bahwa kejadian itu memang benar-benar ujian yang nyata, ujian yang benar-benar sangat berat yang dihadapi oleh Ibrahim.

Namun berikutnya, berkat keteguhan, kesabaran, dan kesadaran yang tinggi bahwa memang Allah adalah sesembahan mereka, maka baik Ibrahim dan Ismail pun melaksanakan perintah tersebut. Namun begitu terbukti bahwa mereka benar-benar akan melaksanakannya, Allah pun membalas mereka dengan menggantikan Ismail dengan seekor sembelihan yang besar, dalam arti Ismail tidak jadi disembelih, dan Ibrahim pun disuruh untuk menyembelih sembelihan yang lain. Hal ini mengarahkan kita pada hikmah kedua, bahwa kurban yang kita lakukan tidak harus menghancurkan apa yang kita cintai hingga dia tidak lagi berfungsi, namun bisa sementara, dalam arti menjauhkan apa yang kita cintai beberapa saat untuk menjaga agar kecintaan yang kita miliki terhadapnya tidak bertambah menjadi cinta yang berlebihan, dan bila sudah kita dapat kembali menemui apa yang kita cintai itu. Sebagaimana Ibrahim setelah peristiwa itu kembali melaksanakan perintah Allah bersama dengan Ismail.  

Sebenarnya kisah pengorbanan atas sesuatu yang dicintai, juga pernah dilakukan oleh Nabi Sulaiman dan ini pun diabadikan oleh Allah di dalam Al Quran. Tepatnya dalam surat Saad, ayat 30 hingga 34:

Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya), (ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore, maka ia berkata: "Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan". "Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku". Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu. Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat.

Sulaiman adalah seorang nabi sekaligus raja yang memiliki kerajaan yang besar. Kuda kemungkinan besar menjadi salah satu hewan yang digunakan untuk mengadakan peperangan, melakukan ekspedisi, ataupun inspeksi ke daerah-daerah yang beliau kuasai. Kuda yang tenang di waktu berhenti dan kuda yang cepat waktu berlalu pada waktu sore, kemungkinan menggambarkan barisan pasukan kuda, atau mungkin barisan kuda-kuda yang dimilikinya saat sedang diarak ke suatu tempat. Barisan pasukan yang teratur dan berbaris, mungkin dapat dianalogikan sebagai sebuah pasukan infanteri, atau mungkin barisan shaf saat kita salat. Barisan yang teratur, gerakan yang teratur dari barisan-barisan itu dapat memunculkan ketakjuban dan hal itu bisa mendorong kita untuk mengaguminya. Pernahkah teman-teman melihat barisan penari yang sangat teratur dalam gerakannya, kemudian kamu takjub melihat keindahan dan keteraturan mereka dalam tarian itu lalu memuji para penari itu? Mungkin seperti itu perasaan yang muncul dalam hati Nabi Sulaiman, ketika melihat barisan-barisan pasukan kuda yang dia miliki. Hingga kemudian perasaan hal itu membuatnya lalai dalam mengingat Tuhan sampai kemudian beliau baru bisa ingat Tuhan saat kuda-kuda itu hilang dari pandangannya. Mungkin yang dimaksud mengingat Tuhan, dalam kasus ini adalah cara beribadah yang menjadi syariat saat beliau menerima ajaran Allah, bentuknya bagaimana tidak perlu dipermasalahkan, yang jelas adalah bahwa kecintaan beliau terhadap kudanya itu membuatnya sampai melupakan diri melaksanakan apa yang seharusnya beliau laksanakan.

Kemudian beliau pun menyadarinya, lalu mengatakan bahwa kuda-kuda itu rupanya melalaikan dirinya, maka bawalah kuda itu biar ku potong kaki dan lehernya (mungkin maksudnya adalah dijadikan pengorbanan). Dari kisah Sulaiman ini menjadi data tambahan bahwa kurban itu perlu dilakukan ketika kita mencintai sesuatu secara berlebihan hingga melalaikan kewajiban yang kita miliki kepada Allah, maka untuk mengatasinya adalah dengan jalan dikorbankan (dihilangkan fungsinya untuk selamanya, dalam hal ini adalah dengan membunuh kuda itu untuk dijadikan persembahan).

Dari sudut pandang etimologi, kurban, secara bahasa artinya adalah persembahan kepada Allah. Bila dihubungkan dengan konteks sejarah di atas, maka persembahan yang diberikan adalah persembahan atas sesuatu yang kita cintai dan berpotensi melalaikan kita dari jalan Allah, yang bisa dilakukan dengan menghilangkan hal itu untuk selamanya, atau sementara. Atau bisa pula dengan merusak fungsinya (membunuh kuda perang, sehingga tidak bisa digunakan untuk perang). Ada satu hal yang menarik dan perlu menjadi perhatian menurut saya, yaitu bahwa apa yang kita korbankan itu adalah sesuatu yang sebenarnya kita cintai.

Unta atau anak laki-laki bagi orang Arab, termasuk pula pada masa Ibrahim, merupakan hal yang sangat valuable atau bernilai, dan wajar bila mereka akhirnya menjadi sesuatu yang dicintai. Unta menjadi teman orang-orang Badui berkelana, khususnya di masa Nabi Muhammad, dan kurang lebih sejak masa Qusai, atau kakek Nabi yang menjadi buyutnya Quraisy, unta sudah difungsikan sebagai teman perjalanan, berdagang, melakukan ghazwah, atau mungkin dalam kondisi khusus berperang. Anak laki-laki juga begitu berharga untuk membantu dalam berdagang ataupun mempertahankan Baninya dari serangan Bani lain, bahkan sebagaimana kisah lahirnya Abdullah, bapaknya Nabi, yang begitu ingin diselamatkan oleh kakeknya agar dia tidak perlu menyembelihnya karena menganggap bahwa Abdullah adalah seorang anak yang begitu bermakna.

Unta di satu sisi juga bisa dilihat sebagai sebuah harta. Orang-orang Arab secara umum sangat ingin menjaga hartanya, bahkan ada sebagian yang menakar timbangan dengan curang agar mendapat keuntungan lebih besar waktu berdagang. Sehingga hal-hal itu mungkin bisa melalaikan mereka dari kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan, sebagaimana terjadi pada masa Abu Bakar ada sebagian orang yang menolak membayarkan zakat, salah satunya karena mereka tidak ingin kehilangan harta mereka. Untuk itulah apa yang dikorbankan pada orang-orang semacam ini berkaitan dengan harta.

Lalu bagaimana dengan kita yang ada di masyarakat modern saat ini? Apakah iya pengorbanan kita dengan satu ekor sapi atau satu ekor kambing itu sudah cukup? Atau jangan-jangan malah kita mengorbankan hal yang sebenarnya tidak layak kita korbankan karena tidak ada unsur kecintaan kita terhadap barang itu?

Untuk menjawab hal ini saya kembalikan pada teman-teman sendiri. Menurut saya pribadi, bila dikaitkan dengan harta, maka cara mengukurnya adalah dengan membandingkan dengan harta kita secara keseluruhan dan apakah ada gelagat kita mencintai harta secara berlebihan. Sejujurnya saya justru menangkap bahwa godaan yang kita temui atau dengan kata lain hal yang sangat mungkin kita cintai secara berlebihan hingga melalaikan diri dari jalan Allah kemungkinan besar berbentuk sangat halus dan kita secara pribadi tidak menyadarinya. Baik itu kecintaan terhadap keluarga, kecintaan terhadap pasangan, kecintaan terhadap sesuatu yang lain. Artinya, dalam pandangan saya, percuma kita berkorban kambing atau sapi kalau apa yang sebenarnya kita cintai secara berlebihan itu tidak kita korbankan. Sehingga saudara-saudara, pemetaan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum anda memutuskan akan berkurban apa. Yohoho...

Namun bukan berarti kita meninggalkan sunah Idul Kurban yang sudah dijalani umat Islam sejak jaman Nabi Muhammad. Tidak, sama sekali tidak. Justru yang saya maksud adalah menjaga spirit pengorbanan yang telah dicontohkan oleh Nabi, dengan memberikan kurban kambing atau sapi, sampai pada titik kita mampu menundukkan kecintaan yang berlebihan terhadap apa yang selama ini kita cintai.

Saya jadi teringat sebuah kisah, kisah fiktif yang terinspirasi dari kejadian nyata dan saya gubah sendiri untuk memudahkan bercerita.

Jadi, ada seorang anak yang mengumpulkan uang sejak dia masih berada di sekolah. Uang-uang itu dia kumpulkan untuk bekal hidupnya kelak di masa depan. Dia ingin kuliah di suatu perguruan ternama. Dia ingin memiliki karier yang bagus sehingga bisa membantu dan menjadi tulang punggung menggantikan kedua orang tuanya yang sudah tua. Pada suatu saat uang itu sudah terkumpul beberapa puluh juta. Dia begitu menghemat harta tersebut hingga akhirnya dia menjadi orang yang pelit dan sulit bersedekah, tidak lagi dia membantu kakek nenek sebelah rumahnya yang ditinggal oleh anaknya sehingga hidup mereka berdua begitu susah. Untuk makan menanti kiriman dari tetangga, tidak ada air bersih karena tidak sanggup membayar listrik atau PDAM. Bila malam datang rumah mereka selalu gelap. Anak itu tiba-tiba tersadar bahwa sebenarnya uang yang dia kumpulkan itu sudah tidak lagi semata-mata untuk kuliahnya, namun sudah mulai muncul kecintaan berlebihan terhadap harta yang dia miliki. Padahal dengan sedikit saja jumlah uang yang berhasil dia kumpulkan itu dia sudah bisa membantu orang tuanya, meneruskan kuliah, dan membantu kakek nenek itu.

Maka dia pun menyedekahkan, hampir puluhan juta dari uang itu untuk sebuah lembaga amal, dan sisanya dia gunakan untuk membantu kakek dan nenek yang tinggal di sebelah rumahnya tersebut. Sekarang setiap kali dia ingin menabung, selalu dia berdoa,

“Ya Allah, aku adalah hamba yang mengabdi untukMu. Aku menabung untuk mempermudah jalanku padaMu. Maka bimbinglah hamba agar tidak menjadikan harta ini menjadi bebanku kelak di hari akhir. Mudahkanlah hati hamba untuk senantiasa mengeluarkan harta yang berlebihan dari tabunganku ini.”

Dan bagi saya, itulah pengorbanan yang sesungguhnya.

Sebagai penutup, semoga yang berkorban tahun ini, semuanya, baik muda ataupun tua, bisa kembali mendekatkan dirinya kepada Allah dan kembali berjuang sesuai dengan kehendakNya.


* Sebagian besar tulisan ini terinspirasi dari hasil diskusi, kuliah, dan pemaknaan pribadi. Diubah pada tanggal 12 September 2016, setelah berdiskusi dengan seseorang yang memberikan masukan terhadap tulisan ini. Terima kasih buat sang pemberi masukan yang malu-malu(in) dan nggak mau disebutin namanya, hahaha.