catatan

Mendayung di antara Senja

21.23.00

Foto laut di pantai Pasir Putih Situbondo. Milik pribadi lo.

Sebenarnya isi tulisan saya kali ini bukan tentang mendayung di antara senja sama sekali. Saya hanya berpikir itu adalah judul yang bagus dan nyambung sedikit, dengan isi tulisan saya kali ini. Tapi, semoga tulisan kali ini tetap semenawan judulnya. Tulisan ini masih tentang kepedulian, teman-teman.

Dalam perjalanan terakhir saya dari Surabaya menuju Madiun, di daerah Mojokerto, tepat di perempatan lampu merah besar menuju daerah Krian, terdapat seorang Kakek tua yang duduk-duduk di taman pinggir lampu merah itu. Tangan kanannya memegang wadah yang terbuat dari botol air mineral bekas yang dibelah menjadi dua. Tangan kirinya memegang tongkat kecil dengan panjang kurang lebih satu lengan orang dewasa. Di bawah janggutnya tumbuh rambut berwarna putih, sementara kulitnya terbakar hingga berwarna kehitaman. Sesaat sebelum lampu berubah warna menjadi hijau, seorang pemuda menghampirinya dan memberinya beberapa lembar uang sambil tersenyum dan menyapanya. Raut muka Kakek itu terlihat senang, sambil beberapa kali mengucapkan terimakasih beberapa kali dalam bahasa Jawa pada pemuda tersebut.

Dalam salah satu ceramahnya, Gus Mus pernah mengatakan bahwa beliau merasa malu saat mengaji Al Qur'an. Penyebabnya, karena dalam ayat-ayat Al-Quran yang beliau baca, banyak ciri atau karakter orang kafir/munafik yang mirip dengan dirinya sendiri, padahal beliau sering dianggap sebagai orang yang mukmin. Perkataan beliau ini, di satu sisi berfungsi untuk menyindir orang yang mendengar beliau. Oleh karena pada kalimat berikutnya beliau mengatakan beruntunglah anda-anda yang jarang membaca Al-Quran karena tidak perlu merasa malu. Tapi juga bisa dianggap sebagai sebuah refleksi atas keimanan kita. Saya pun juga, kadang kalau, ehmm, tidak, mungkin hampir setiap saat merasakan hal yang sama. Saya merasa bila di tempatkan dalam barisan orang-orang musyrik atau munafik, bisa-bisa saya 11/12 dengan mereka. 

Salah satu ciri orang Islam, menurut saya, adalah adanya kepedulian pada nasib orang-orang yang ada di sekitarnya. Buktinya Rasul pernah menyebutkan dalam haditsnya, belum sempurna iman seseorang bila dia tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya menanggung lapar. Kondisi masyarakat Madinah, atau Arab pada umumnya, di tengah kondisi geografis yang menyulitkan untuk bertahan hidup, menyebabkan tidak semua orang memiliki sumber daya yang sama-sama kuat untuk meraih kekayaan. Walaupun dorongan kerja keras sangat digalakkan oleh Rasul pada waktu itu, namun bantuan tetap dibutuhkan untuk mempercepat proses pemerataan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat pada waktu itu. Tanpa rasa peduli pada orang lain akan sulit bagi masyarakat untuk mengalami perkembangan. Ada banyak hal yang membuat kepedulian dengan sesama itu sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan bermasyarakat ataupun individu. Salah satunya, menolong orang lain akan membuat orang lain mampu menyelamatkan dirinya dari nasib buruk, seperti kemiskinan dan sejenisnya, yang berpotensi besar menghambat keimannya, atau perannya dalam masyarakat. Memberikan bantuan berupa dana, untuk mengembangkan dirinya atau menyekolahkan anaknya, akan membantu orang lain melewati masa-masa sulitnya.

Dulu sekali saya pernah mendengar beberapa kasus tentang berbaliknya orang-orang menjadi murtad karena keadaan miskin yang kemudian menyebabkan seseorang itu memilih berpindah agama daripada menanggung lapar terus-terusan. Memang, bila berbicara salah siapa tentu orang itu salah, karena dia bisa dianggap menjual agamanya dengan hal lain yang lebih rendah. Tapi, dalam kasus itu, pembacaan yang lebih riil akan memperlihatkan betapa orang-orang yang miskin berada pada kondisi yang sangat rawan untuk mengalami kegoyahan iman. Di sini saya hendak menunjukkan bahwa keadaan miskin bisa mendorong seseorang untuk menjual imannya, tidak sama dengan menggeneralisir bahwa orang yang miskin itu imannya lemah lo ya.

Tetapi, dalam menolong itu pun kita harus memilih bentuk mana yang paling sesuai. Rasul dalam beberapa hadisnya pernah melaknat -seingat saya, kalau ada kesalahan mohon diingatkan- orang-orang yang hanya meminta saja tanpa melakukan usaha apapun. Mungkin teman-teman juga sudah hafal dengan kisah bagaimana seorang alim ulama memberikan bantuan kepada orang yang kerjanya hanya berdoa saja di dalam rumah, tidak hanya dengan memberikan bantuan makanan/dana, tetapi dengan memberikan nasihat yang mendorong agar orang itu bekerja dan mencari penghidupan pula melalui surat-surat yang dikirim olehnya.

Menemukan bentuk pertolongan yang paling sesuai itu sendiri pun, menurut saya juga cukup sulit, karena sifatnya bisa sangat kasuistik. Misalnya, dalam beberapa kasus kejadian adanya seorang nenek yang hidup sebatang kara dan sudah susah menggerakkan badannya, seperti yang diberitakan kurang lebih 3 tahun yang lalu -saya ingat betul karena kisah ini adalah kisah yang cukup memilukan dan terjadi di daerah dekat kampung halaman saya-, bentuk pertolongan yang menyuruh orang itu bekerja sangat tidak sesuai, menurut saya. Mengapa? Karena satu hal saja, hal itu justru akan membuatnya menderita, karena dari segi fisiknya saja sudah tidak mencukupi untuk melakukan hal tersebut. Lain lagi ceritanya bila memberikan bantuan sekedar dana jangka pendek saja untuk orang yang masih muda dan punya tenaga banyak, karena hal itu justru akan menimbulkan ketergantungan, hal yang mungkin akhir-akhir ini sangat dikhawatirkan oleh dinas sosial. Menolong memang baik, namun bentuknya pun harus disesuaikan. Prinsip apa yang bisa dipegang? Saya sendiri masih mencoba untuk menemukan hal tersebut. Tapi setidaknya saya percaya kalau menolong yang baik adalah yang membuat orang itu mampu lepas dari belenggu kemiskinan yang mereka alami dengan kekuatan mereka sendiri, bila kita berbicara dalam ranah ekonomi.

Oleh karenanya, di satu sisi, saya merasa bersalah tidak dapat membantu kakek tua tadi, namun di satu sisi bersyukur masih ada orang-orang seperti pemuda itu yang dengan senang hati membantu kakek tua itu, beserta mengobati jiwanya yang mungkin lelah dan membutuhkan perhatian dari orang lain. Bagi saya orang seperti pemuda tadi, memiliki nilai yang lebih di bandingkan orang lain yang ada di sekitarnya.

Mereka yang tahu tapi hanya diam dan mengutuk dalam hati, bernilai lebih rendah daripada mereka yang tahu dan bergerak. Mungkin begitulah peribahasa asal-asalannya.

Saya sangat bersyukur, setidaknya bisa menemukan tempat untuk belajar menjadi orang yang mau bergerak untuk membantu orang lain. Tahun ini saya memiliki lahan belajar yang sangat bagus untuk menjadi orang yang lebih baik. Walaupun tidak secara langsung membantu orang lain, tapi saya diberi kesempatan untuk belajar menjadi orang yang mampu membantu orang lain. Dengan demikian, mungkin ketika bertemu dengan Mbah Sopo atau Mbah Salim yang dulu pernah saya ceritakan, saya bisa mengajak beliau berbicara dengan lebih nyaman dan enak, serta lebih sesuai untuk membantu mereka.

Kesempatan menolong orang lain, bagi saya adalah kesempatan untuk menambal pakaian iman yang sudah compang-camping karena berbagai keburukan yang senantiasa menghiasi saya dalam keseharian ini. Kesempatan menolong orang lain, berperan dalam hal itu, merupakan kesempatan untuk memperbaiki tiang iman yang hari-hari sebelumnya rapuh karena digerogoti oleh godaan hawa nafsu yang sering kali saya ikuti. Kesempatan menolong orang lain, adalah media untuk meraih dan mengumpulkan serpihan tiket menuju surga yang insyaallah kita inginkan bersama.

Nah, bagi saya kesempatan itu hanya sebentar saja. Selama hidup ini kesempatan itu hanya datang sebentar saja, seperti lamanya senja yang hanya timbul tenggelam sesaat. Mungkin karena itu judul ini bisa pas sama isi tulisan saya (haha). Jadi, selamat mendayung di antara senja-senja yang tersedia untukmu. Semoga senja terakhirmu menampilkan keindahan dan kebahagiaan untuk semesta.

~ Madiun, 26 Mei 2016.

catatan

Dua Nikmat yang Dilupakan

07.10.00

Gambar kakek tua pembawa suling in diambil oleh Rosi Ayu Sholihah, adik kelas saya. 
Rasulullah sebagai tokoh panutan umat Islam, semasa hidupnya selalu aktif memberikan solusi untuk menghadapi permasalahan umat. Sudah sewajarnya bila umat muslim, mempelajari apa yang beliau tinggalkan untuk mengambil hikmahnya, untuk diterapkan dalam kehidupan saat ini, yang sudah mengalami banyak dinamika dan perubahan jaman. Permasalahan yang kita hadapi, baik menyangkut masalah sosial maupun berkaitan dengan lingkungan alam sekitar kita, semakin beragam. Salah satu hal yang dapat kita ambil dari apa yang Rasul tinggalkan adalah bagaimana cara rasul merumuskan pemecahan masalah yang mampu menyelesaikan masalah pada umatnya saat itu. Oleh karenanya, mempelajari hadis, dapat menjadi salah satu sarana untuk mengambil hikmah ini.

Dalam Shahih Bukhari, pada hadis nomor 5933[1], telah dikabarkan Rasul mengatakan bahwa dua nikmat yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. Ucapan rasul ini sangat sering kita dengar pada ceramah keagamaan, diskusi hadis, ataupun di saat-saat yang lain. Namun, beberapa yang luput dari penjelasan umumnya adalah pemahaman terhadap kondisi yang melingkupi rasul saat itu. Hal itu penting, oleh karena tidak mungkin perkataan itu muncul bila tiada masalah yang disoroti oleh rasul. Dengan memahami hal itu, kita dapat mengetahui titik masalah apa yang disoroti rasul pada waktu itu. Dengan demikian kita dapat mengetahui bagaimana cara rasul dalam menyelesaikan permasalahan umat pada saat itu.

Hadis-hadis yang berkaitan dengan perilaku yang dicontohkan oleh rasul atau nasihat-nasihat yang diberikan oleh beliau, utamanya berkaitan dengan sisi-sisi kemasyarakatan atau sifat-sifat kemanusiaan, dalam pandangan penulis kemungkinan besar muncul pada masa setelah rasul hijrah, atau ketika beliau telah berada di Madinah. Misalnya hadis berkaitan dengan hukum, pengaturan ekonomi, dan sejenisnya. Oleh karena pada masa tersebut rasul beserta sahabat sudah menghadapi masa pembangunan masyarakat Islam dengan mengawalinya di Madinah. Berbeda halnya dengan masa Mekkah, di mana yang menjadi titik tekan pada waktu itu adalah pembangunan nilai-nilai tauhid, kesabaran, dan dakwah serta yang sejenisnya. Dalam kondisi masyarakat seperti saat di Madinah yang masih berada pada tahap awal pembangunan, tentunya dibutuhkan kekuatan yang besar untuk membangun masyarakat baik dari segi moril ataupun materiil. Kekuatan ekonomi harus dibangkitkan, agar masyarakat Islam dapat memiliki kekuatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau menopang aktivitas struktur sosial yang lainnya sehingga tidak menggantungkannya pada masyarakat lain.

Dorongan rasul untuk melakukan sedekah, agar orang-orang bekerja dengan giat, atau untuk membantu fakir miskin, dari sudut pandang tertentu dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat sektor ekonomi masyarakat Madinah saat itu. Ekonomi memang menjadi sektor yang sangat penting di masyarakat, karena apabila sektor ekonomi masyarakat rapuh maka besar kemungkinan pembangunan masyarakat akan sulit, dan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, dan sejenisnya akan meningkat dan sulit diatasi. Menghadapi kondisi seperti itu, setidaknya dibutuhkan moral bekerja keras yang kuat, tolong menolong yang tinggi, serta semangat yang kuat dalam menghadapi masalah.

Pada awalnya, umat Islam di Madinah sempat menggantungkan kehidupan ekonominya pada penduduk asli Madinah dengan sistem ribanya. Sistem riba itu, sederhananya, apabila uang yang dipinjamkan tidak dapat dikembalikan tepat waktu maka hutangnya akan diakumulasikan pada waktu berikutnya. Padahal pada waktu itu umat muslim masih kesulitan mendapatkan pekerjaan karena baru berpindah ke Madinah, dan harta mereka semuanya ditinggalkan di Mekkah, sehingga tidak mungkin bisa mengembalikan uang pinjaman itu tepat waktu. Riba kemudian justru dilarang oleh Allah karena pada hakikatnya sistem riba membuat ekonomi masyarakat tidak akan berkembang. Oleh karena kemustahilan bagi pengutang yang ada dalam sistem tersebut untuk bisa membayar kembali utangnya karena tidak memiliki sumber pendapatan primer dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bagaimana kondisi untuk membangun sektor masyarakat, khususnya ekonomi pada awal kedatangan umat Islam di Madinah sangat penting. Namun dalam perkembangannya, pembangunan sektor ekonomi ataupun sektor yang lain juga sangat dibutuhkan dan harus dikerjakan oleh umat Islam pada masa itu. Hal itu dilakukan untuk membangun umat yang kuat dan melandaskan ajarannya atas nilai-nilai tauhid.

Kebutuhan akan pembangunan tentunya mendorong rasul untuk bagaimana membuat masyarakat saat itu memiliki gairah yang besar dan semangat yang kuat dalam melakukan pembangunan. Kesehatan manusia, baik jasmani maupun rohani, tentunya menjadi salah satu hal yang utama sebagai penopang bagi masyarakat agar dapat melakukan kerjanya. Ketika manusia memiliki kesehatan, semua fungsi tubuhnya dapat berjalan dengan baik, tubuh dapat menghasilkan energi yang besar sehingga menjadi pendukung utama dalam aktivitas sehari-hari seorang manusia. Tanpa kesehatan, setidaknya akan sangat sulit bagi manusia untuk mengerjakan sesuatu dengan maksimal. Ketika Rasul mengatakan bahwa kesehatan menjadi salah satu nikmat yang dilupakan oleh manusia, hal ini menunjukkan setidaknya rasul melihat adanya masalah pada bagaimana umat Islam saat itu menggunakan nikmat kesehatan dengan tidak optimal. Bentuk melupakannya, dalam pandangan penulis bisa dalam berbagai macam bentuk, seperti misalnya tidak mengucapkan terima kasih kepada Allah atas kesehatan yang dimiliki, tidak memanfaatkan kesehatan yang dimiliki untuk beraktivitas dengan baik atau melakukan aktivitas yang produktif, atau justru di saat memiliki kesehatan mencoba untuk mendekatkan diri kepada sumber-sumber penyakit tubuh manusia.

Di sisi lain, perilaku mengingat nikmat, dalam pandangan penulis menjadi awal agar kita dapat mensyukuri nikmat itu sendiri. Di mana bentuk syukur itu pun bisa berbagai macam. Seperti yang disampaikan Allah dalam surat Saba’ ayat 13 misalnya, ketika Allah mengatakan[2]: “Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” Dari ayat ini dapat kita diketahui bahwa bekerja, termasuk ke dalam bentuk syukur atas nikmat yang Allah berikan kepada manusia, yang dalam hal ini adalah keluarga Nabi Daud. Atau sebagaimana ketika Nabi Musa ketika mengatakan[3] bahwa demi nikmat yang telah diberikan kepadanya oleh Allah, dia tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa. Dari beberapa peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa syukur tidak hanya dapat berwujud dalam ucapan terima kasih, namun juga dapat dalam bentuk-bentuk yang lain.

Ketika dihubungkan dengan kondisi umat saat itu, tentu hal itu akan menjadi sebuah masalah besar. Oleh karena perilaku demikian dapat menunjukkan penghambaan yang tidak sesuai seharusnya, atau menghambat proses pembangunan yang terjadi. Apabila manusia melupakan tentang nikmat yang diberikan oleh sang pencipta, dan tidak mensyukurinya, hal ini bisa dianggap melupakan apa yang seharusnya dilakukan, yaitu mensyukuri apa yang diberikan oleh sang pencipta. Bentuk syukur salah satunya adalah mengucapkan terima kasih, kemudian mempergunakan apa yang dimiliki terebut seusia dengan fungsinya. Dalam proses pembangunan yang dilakukan, dapat dimaknai bahwa kemudian terdapat beberapa orang yang memiliki rasa malas untuk menggunakan kesehatannya untuk melakukan aktivitas yang bermanfaat, seperti bekerja dan yang selainnya. Akibatnya jumlah orang yang fokus untuk melakukan pembangunan menjadi sedikit dan memakan waktu yang cukup lama, oleh karenanya hal itu menjadi masalah yang besar. Oleh karena semua orang dalam masyarakat harus bekerja keras, yang artinya harus menggunakan tenaganya, atau kesehatannya untuk melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi pembangunan masyarakat saat itu. Bila demikian yang terjadi perkembangan umat Islam di Madinah akan berlangsung secara cepat dan memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapi tantangan, baik dari internal ataupun eksternal masyarakat Madinah seperti misalnya kaum kafir Mekkah, dan selainnya.

Berkaitan dengan masalah waktu luang, secara sederhana dapat dikatakan bahwa waktu luang adalah kesempatan yang dimiliki manusia untuk melakukan aktivitas tertentu yang diinginkan olehnya tanpa terikat tuntutan tertentu, seperti deadline, atau yang sejenisnya. Biasanya waktu luang diidentikkan dengan waktu saat kita bisa beristirahat dari pekerjaan tertentu yang menguras tenaga, dan seterusnya. Penggunaan waktu luang ini murni ditentukan atas kehendak pribadi itu sendiri, dalam arti tidak ada unsur paksaan yang datang dari pihak lain dan akibat langsung yang dirasakan bilamana tidak melakukan hal tersebut. Oleh karenanya, waktu luang yang dimiliki oleh seseorang, memang memiliki potensi untuk dimanfaatkan dengan baik ataupun dimanfaatkan dengan cara yang buruk.

Ketika Rasul mengatakan bahwa waktu luang merupakan nikmat yang dilupakan, maka dalam pandangan penulis, sebagaimana kasus di atas, besar kemungkinan pernah atau sedang terjadi pola penggunaan waktu luang yang tidak begitu baik pada beberapa kalangan umat Islam saat itu yang diamati oleh Rasul. Apabila hal itu dibiarkan, maka kecenderungan yang terjadi adalah berkembangnya pola pemanfaatan waktu luang yang tidak produktif, seperti misalnya terlalu banyak bercengkerama dengan orang lain tanpa tujuan yang jelas, atau terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengelola rumahnya sendiri tanpa giat bekerja, atau bahkan salah menggunakan waktu tersebut untuk melakukan dosa-dosa yang tidak disadari seperti melakukan ghibah, dan sejenisnya. Terlepas dari bagaimana perilaku penggunaan waktu luang yang merupakan bentuk melupakan nikmat tersebut, dalam pandangan penulis terdapat benang merahnya bahwa pasti perilaku yang dilakukan akan berdampak negatif kepada diri individu itu sendiri atau kepada proses pembangunan masyarakat secara umum. Mereka yang tidak memanfaatkan waktu luangnya dengan baik akan kesulitan dalam mengembangkan dirinya sendiri, bahkan bisa menurunkan keahlian yang dimiliki apabila yang dilakukan dalam waktu-waktu luang tersebut menjadi sebab berkurangnya keahliannya. Bagi proses pembangunan masyarakat sendiri, waktu luang dapat dianggap sebagai waktu yang sangat penting bagi masyarakat untuk melakukan hal lain di luar apa yang sudah dia lakukan untuk membantu atau melakukan peningkatan keahlian, seperti belajar, mencoba untuk berlatih pedang atau mengasah keahlian berperang (dalam konteks masyarakat Madinah yang masih berpeluang besar berperang menghadapi orang kafir Mekkah yang setiap saat bisa saja menyerang mereka di), dan selainnya. Oleh karenanya, rasul memberikan dorongan yang besar, dalam pandangan penulis dengan kata-kata yang beliau ucapkan, agar orang-orang tidak melupakan nikmat waktu luang tersebut, dalam arti melupakan dalam berbagai bentuk sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, baik tidak mengucapkan terima kasih, salah dalam memanfaatkan, atau justru tidak menjaganya dengan sebagaimana mestinya.

Dua nikmat tersebut, memang banyak dilupakan oleh manusia. Padahal dua hal itu merupakan salah dua dari keadaan yang sangat mendukung bagi kita untuk beraktivitas. Sangat wajar apabila rasul kemudian mengatakan hal tersebut untuk membuat sahabat-sahabatnya berpikir dan menyadari bahwa dua hal itu adalah sesuatu yang seharusnya mereka manfaatkan dengan maksimal.

Dapat kita lihat bahwa dalam menyelesaikan masalah, pada kasus tentang dua hal ini, rasul berpikir dengan pola berpikir yang sistematis dan cerdas. Beliau mampu menghubungkan keadaan yang ada dan potensi masalah yang mungkin terjadi apabila umatnya tidak menyadari bahwa dua hal yang mereka miliki tidak dimanfaatkan dengan baik, serta mampu merumuskan bagaimana cara mengingatkan mereka dengan menyampaikan nasihat tersebut. Inilah cara rasul dalam menyelesaikan masalah yang besar kemungkinan terjadi pada waktu itu. Cara berpikir seperti ini yang harus kita teladani. Dengan demikian, umat Islam dapat berkembang, menghadapi dinamika jaman yang kian kompleks dan membutuhkan sikap yang sesuai, menunjuk rahmat yang memang seharusnya dipancarkan oleh agama ini. Dengan menggunakan segala potensi diri kita, dari akal hingga petunjuk wahyu, kita dapat mengatasi masalah dan menjadi rahmat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh rasul pada waktu itu.
Sekian.




[1] صحيح البخاري ٥٩٣٣: حَدَّثَنَا الْمَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ هُوَ ابْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
قَالَ عَبَّاسٌ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عِيسَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ
Shahih Bukhari 5933: Telah menceritakan kepada kami Al Makki bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Sa'id yaitu Ibnu Abu Hind dari Ayahnya dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang." 'Abbas Al 'Anbari mengatakan; telah menceritakan kepada kami Shufwan bin Isa dari Abdullah bin Sa'id bin Abu Hind dari Ayahnya saya mendengar Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits di atas.
[2] Terjemah dari Depag RI.
[3] Al Qashash ayat 17. Terjemah Depag RI.

catatan

Kepedulian yang Mewujud

07.07.00

Alhamdulillah, sampai sekarang saya hidup di tengah keluarga yang serba berkecukupan. Orang tua saya keduanya sama-sama bekerja. Ibu menjadi guru, bapak meneruskan usaha pertanian dari nenek. Adik-adik saya dapat bersekolah, di tempat-tempat yang insyaallah sesuai untuk menuntut bekal ilmu. Kakak saya sudah berkeluarga, tinggal menunggu ponakan lahir. Sementara saya masih kuliah, mencari bekal menempuh jalan hidup. Di sisi lain, kakek-kakek dengan topi yang sudah kucel, baju yang sudah kecokelatan, kulit yang menghitam dan sepeda jengki yang sudah reot dan berdecit, sering kali saya temui. Baik di kampung halaman, maupun di tempat saya menuntut ilmu.

Saat pulang kampung dengan bis, saya sudah akrab dengan yang namanya pengamen. Mereka akan ikut naik bis, biasanya dari terminal pusat di ibu kota, lalu turun setelah bis menempuh perjalanan beberapa kilometer. Misalnya, mereka akan naik dari terminal bungur sampai bypass Mojokerto, atau dari terminal bungur sampai daerah sekitar Nginden, kalau di Surabaya. Mereka beragam, dari kakek tua yang membawa gitar kotak dengan senar karetnya, sampai gadis-gadis yang mungkin masih bersekolah di SMP dengan kentrung (gitar kecil) yang sudah agak lecet di bagian bawahnya. Biasanya mereka naik bis tanpa perlu membayar ongkos, atau kalaupun membayar, hanya sedikit. Mungkin hal itu adalah bentuk solidaritas dari sopir dan kernet bis yang sama-sama tahu susahnya mencari sesuap nasi dari jalanan. Saya pun mencoba untuk membantu sebisa mungkin, walaupun kadang-kadang masih menjadi dilema tersendiri. Membantu yang bagaimana?

Ibu sebenarnya memberikan contoh yang sangat baik bagaimana cara untuk membantu orang-orang seperti mereka. Sejak saya duduk di bangku SD, Ibu sudah memberikan lahan pekerjaan bagi tetangga kami yang bekerja serabutan. Sebut saja namanya Mbah Mo dan Mbah Mi, mereka berdua perempuan yang sudah berumur. Entah itu untuk menjaga adik-adik yang masih kecil, atau untuk memasak bagi keluarga kami. Dengan kerepotan Ibu sebagai kepala sekolah, memasak menjadi pekerjaan yang cukup menyita waktu. Di lain waktu, biasanya Ibu juga meminta bantuan mereka untuk menyetrika dan seterusnya. Kemudian di akhir bulan atau setelah pekerjaan mereka usai Ibu memberikan sedikit uang sebagai bentuk terima kasih atas bantuan mereka.

Praktik-praktik yang sama dengan apa yang Ibu lakukan, sedikit banyak sempat saya tiru. Bagi yang pernah membaca tulisan saya tentang Mbah Sopo, mungkin masih ingat bagaimana saya mendekati kakek pemulung itu di siang bolong lalu memberikannya dua buah air minum dari uang pemberian Ibu untuk membantu meredakan dahaga yang beliau miliki. Berawal dari situ beliau mengajak saya berbincang-bincang, ngobrol ngalor ngidul dari kisah saat beliau masih segar di masa mudanya, hingga saat beliau akhirnya harus menjadi pemulung sampai saat ini. Saya rasa itu pengalaman saya membantu orang lain dan merasakan bagaimana rasanya menjadi bermakna bagi orang lain.

Beberapa saat yang lalu, saya menjadi sebuah moderator dalam sebuah forum. Dalam forum tersebut, pembicara yang juga dosen saya sendiri, menjelaskan bagaimana keadaan masyarakat saat ini dan bagaimana seharusnya kita sebagai generasi umat Islam bertindak. Ajaran Islam menuntut kita untuk menjadi khalifah, pengganti Allah di muka bumi, untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan mengatur kehidupan kita agar sesuai dengan nilai-nilai yang baik. Maka menjadi sangat miris, bila umat Islam sama sekali tidak bergerak melihat kemiskinan dan masalah-masalah sosial yang lain ada di sekitar kita. Padahal itu sangat nyata, empiris, dan tidak perlu bukti lagi tentang betapa parahnya kerusakan yang ada di masyarakat saat ini. Waktu itu saya tertegun, ingatan saya membawa saya kembali pada sebuah berita tentang nenek-nenek yang hanya bisa terbaring di tempat tidur tanpa ada yang merawat, berita tentang nenek-nenek yang dihukum karena mencuri ketela, berita tentang gadis-gadis belia yang diperkosa. Terlalu banyak untuk disebutkan.

Saya pernah melihat sebuah film dokumenter di India, di mana sang aktor berpura-pura tertabrak kendaraan bermotor dan bersimbah darah. Di tengah jalan itu dia meminta tolong kepada orang-orang yang lewat, satu per satu. Namun yang terjadi adalah hal yang sangat miris, banyak orang yang hanya berhenti di pinggir jalan saja untuk melihatnya, namun tak ada yang dengan cekatan membantunya, kecuali seorang kakek tua yang berusaha untuk menghentikan kendaraan yang lewat agar membawa orang tersebut ke rumah sakit. Hingga akhir film, hanya kakek tua itu yang menunjukkan kepeduliannya. Saya rasa di banyak peristiwa, saya sama dengan mereka. Kita hanya berdiri di garis tepi menanti kemalangan datang menimpa orang yang sudah sangat jelas membutuhkan bantuan. Itu, seharusnya bukanlah perilaku orang-orang yang beriman kepada hari akhir dan Tuhannya.

Bila dapat dirumuskan dalam sebuah kata-kata yang sederhana, apa yang saya tangkap dari pengalaman tersebut, sebenarnya Islam mendorong kita untuk peduli pada orang lain dan memikirkan tentang hidup mereka. Bagaimana supaya hidup orang itu sejahtera, berkecukupan, dan kemudian dapat beraktivitas sesuai dengan fungsi sosial yang mereka miliki. Pembebasan budak, sedekah, zakat, dan seterusnya dalam pandangan saya mewakili hal tersebut. Itu adalah tanggung jawab yang kita miliki sebagai khalifah, pengganti Yang Maha Esa di muka bumi ini, untuk mengaturnya. Aduh, saya jadi malu sendiri. Betapa tanggung jawab yang besar itu belum juga bisa saya laksanakan.

Peduli tidak cukup dengan mengatakan kasihan. Peduli tidak cukup dengan meneteskan air mata. Peduli tidak cukup dengan mengisahkan tentang mereka. Itu sama sekali tidak cukup, karena hidup mereka tidak akan pernah berubah bila kita hanya melakukan hal itu. Mungkin terdengar klise, tapi memang begitulah kenyataannya. Tidak cukup kita menangis dan melihat saja. Tangan kita harus bergerak. Dan mungkin karena itulah, jasa orang-orang yang mencari bantuan dana, jasa orang-orang yang membantu mengajari anak-anak yang terlantar itu agar mendapatkan pengetahuan yang benar, jasa orang-orang yang membagi sebagian waktunya untuk masyarakatnya tidak akan pernah bisa dinilai dengan ukuran harta benda semata. Oleh karena kepedulian yang mewujud itu adalah amalan yang mulia, yang mungkin hanya Allah yang tahu apa yang pantas diberikan sebagai imbalannya.


Sekian.