Lebaranmu
18.57.00
Selama masih bisa terbangun, masih mungkin saling
berjumpa. Bila tidak, kau harus merelakanku pulang.
--
Terhitung hingga hari ini, sudah 835 hari, 20040 jam, lebih 350 detik kita
tidak bertemu. Walau sudah selama itu, aku masih ingat bagaimana jalan kita
berpisah. Siapa pula yang mampu melupakan hal semacam itu. Kita memang manusia
yang lemah. Atau, lebih tepatnya, aku memang manusia yang lemah. Sambil
mengingatmu dan membaca koran pagi ini, kopi yang masih hangat-hangat kuku ini
kuhabiskan. Tak berselang lama aku keluar dari kedai kopi pinggir perempatan
lampu merah tempat kita dulu mengawali pembicaraan menuju stasiun kereta api. Di
tempat itu pertama kalinya kita berbicara dengan keadaan yang lebih pantas.
Menyusuri trotoar jalan, dari kejauhan, aku melihat jalanan masih nakal
seperti biasanya. Bunyi klakson terus bersahutan, menggerutu supaya pengendara
di depannya segera menginjak pedal gas, padahal lampu lalu lintas belum
mengizinkan mereka pergi. Para pemusik jalanan itu masih memakai topi lusuh
yang saban hari terbang tertiup angin lalu hinggap di kepala pak polisi. Betapa
baik pak polisi itu, topi itu dibuangnya ke tempat sampah. Memang tempat sampah
adalah tempat yang lebih layak untuk topi kusam itu. Tapi memang anak kecil di
ujung jalan yang lain itu sangat jahil, dengan pakaiannya yang tampak bagus dia
tega mengotorinya untuk mengambil topi kusam itu. Kemudian, dengan langkah
kecilnya dia kembali pada para pemusik itu untuk mengembalikannya. Kau bisa
lihat bagaimana mereka kemudian bersedih, sambil membungkuk pada anak kecil itu
dan membiarkan air mata yang mereka miliki berbicara. Duh, kurang ajar betul
anak itu. Sia-sia kebaikan pak polisi.
Kau tahu, Ningsih? Setiap akhir bulan Ramadan tiba, aku selalu teringat
saat kita pergi ke pantai berdua saja. Untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
Waktu itu, kita memutuskan pergi ke pantai untuk liburan, serta mengenang
pelarian yang kau lakukan ini. Kita berdua naik motor, sambil berusaha untuk
menjaga jarak. Mau bagaimana lagi, naik taksi terlalu mahal, sementara berjalan
sepertinya bukan pilihan yang paling bijak. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba
kau berbicara tentang masa lalumu dan memikirkan masa depan yang mungkin kita
tempuh, di pinggir pantai itu. Hari itu gerimis datang beberapa saat setelah kita
tiba. Memaksa kita untuk lekas pergi sebelum puas menikmati pantai yang
seumur-umur baru saat itu kutemui.
Menjadi seorang pelarian sepertimu pasti bukan hal yang mudah. Tanpa
memiliki keluarga, saudara, atau pun teman yang bisa kau percaya. Semakin jauh
kau melarikan diri dari kejaran orang yang mengejarmu, semakin kau tak tahu
akan ke mana kau berlabuh. Apalagi, tanpa adanya rumah sebagai tempat kembali. Walau
demikian, aku tetap berusaha menghibur dan meyakinkan akan masa depan yang
cerah. Aku yakin kau pasti mampu menemukan tempat yang merindukanmu untuk
segera pulang, sejauh apa pun kau pergi. Aku harus seperti itu, agar kau tidak
semakin jatuh dalam kebimbangan.
Pertemuan pertama kita, ah, bagaimana ya, sangat sulit untuk dikatakan
sebagai pertemuan yang romantis. Dirimu yang kabur dari rumah majikanmu,
tiba-tiba begitu saja bertemu denganku. Dengan tangan kecilmu yang gemetar itu
kau memintaku untuk menolongmu pergi dari rumah besar dengan patung Pegasus,
hewan dari mitologi Yunani itu, di depannya sebagai hiasan dan simbol kekayaan
yang dimiliki oleh sang pemilik rumah. Dari kejauhan dua orang berpakaian
satpam beserta laki-laki yang tampak lebih muda mengejarmu sambil meneriakkan
kata-kata serapah. Langsung saja aku bergegas mengendarai motor menjauhi tempat
itu. Niat awalku untuk meminta bantuan dana pada pemilik rumah langsung saja
sirna. Tidak mungkin pemilik rumah itu orang yang baik.
“Mbak, namanya siapa?”
“Ningsih, Mas.”
“Rumahnya di mana mbak? Mari saya antar ke sana.”
“....”
“Kenapa, Mbak?”
“Saya tidak punya rumah, Mas.”
Kemudian air matamu mengalir lagi. Duh, aku pun membawamu ke kedai kopi
agar engkau dapat menenangkan diri. Sebenarnya aku sendiri tidak yakin apakah
itu tempat yang pantas untuk menenangkan diri. Apalagi kali ini dengan seorang
perempuan. Maklum, aku tak pernah banyak bergaul dengan perempuan seumur
hidupku. Kencan saja tidak pernah. Kau hanya memesan air putih segelas saja
waktu itu. Sementara aku memesan roti lapis yang pada akhirnya kuberikan
untukmu juga.
Seiring waktu kita mulai saling membuka diri. Mungkin karena terpaksa. Aku
membawamu ke kontrakanku, mengaku-ngaku bahwa engkau adalah sepupuku dari jauh
yang ingin mencari kerja di kota tua ini. Seminggu pertama kau mulai
menceritakan banyak hal. Tentang asalmu, ceritamu di kota ini, apa yang sedang
kau lakukan dan mengapa kemudian pada hari itu kau melarikan diri, dan mengapa
kau sangat menolak untuk pergi ke tempat penampungan orang yang disediakan
pemerintah, padahal terdapat perlindungan penuh di sana. Memang aku yang
menuntutmu untuk menceritakan hal semacam itu. Agar aku bisa lebih percaya dan
mengenalmu.
“Aku tidak bisa pergi ke sana, Mas. Terlalu
berbahaya. Mbok Roro pasti mencariku saat ini, karena aku membawa sesuatu yang
berharga dari rumahnya. Tempat penampungan seperti itu, sangat mencolok...”
Sejujurnya aku cukup terkejut, akan dua hal. Pertama, tentang barang
berharga yang kau bawa itu ternyata adalah sebuah permata seberat 0,17 kg yang
berasal dari luar negeri sana. Namun tak pantas pula kalau aku bilang kau
adalah seorang pencuri, mengingat selama ini ternyata kau diperlakukan begitu
kejamnya oleh orang yang kau sebut Mbok Roro itu. Jadi, sepertinya apa yang kau
lakukan lebih mirip upaya mendapatkan kembali hak yang direbut oleh Simbok itu,
walaupun ya pada akhirnya tetap saja itu namanya pencurian sih. Tapi masa
bodoh, toh tampaknya kita masih bisa mengembalikan permata itu lagi. Kedua,
tentang bagaimana jalan berpikirmu yang sangat visioner itu. Entah apakah kau
sudah berpengalaman dengan hal semacam ini atau memang rasa ketakutanmu yang
mendorong kemampuan berpikirmu itu. Pada akhirnya aku mengiyakan, dan karena
aku satu-satunya yang tahu keadaanmu, mau tidak mau aku harus membantumu. Aku
tahu betapa hidup akan menjadi sangat susah bila segalanya harus kau bebankan
pada pundakmu sendiri.
Pada akhirnya kita memulai hidup satu atap. Kita mulai saling berbagi,
banyak hal. Tentang diri kita sendiri ataupun makanan, minuman, dan sejenisnya.
Selang 2 minggu kau kunyatakan sebagai sepupu yang pindah ke kota ini, kau
sudah punya pekerjaan menjadi guru ngaji di masjid desa. Anak-anak di sana
menyukaimu, bahkan ibu-ibu dan bapak-bapak mereka juga lebih akrab denganmu
dibandingkan denganku. Syukurlah, dengan begini kau bisa menyembuhkan diri,
sementara kita memikirkan bagaimana masa depanmu dan masa depanku. Tidak
mungkin kau bersembunyi terus di kontrakan ini. Toh, aku juga tidak selamanya
tinggal di sini. Tidak mungkin tiba-tiba aku pulang ke rumah membawamu, dan
tidak mungkin pula aku membiarkanmu sendirian. Aku tidak ingin kejadian yang
sama terulang kembali.
Satu hal yang sangat membuatku khawatir adalah bagaimana kau mudah sekali
lupa dan kadang kala terbatuk-batuk hingga lama. Kau terlihat kesakitan. Pada
mulanya kau melupakan hal-hal kecil, tapi kemudian kau mulai melupakan banyak
hal. Termasuk masa kecilmu, bahkan jalan pulang menuju ke rumah pun kau
melupakannya. Untungnya kau selalu mengingat bahwa orang-orang desa ini baik,
sehingga mereka senantiasa mengantarkanmu pulang kembali. Memang ini hanya
terjadi kurang dari lima kali saja, setelah hampir 2 tahun lebih kita hidup
bersama. Apa mungkin karena kau sering minum pil kecil itu? Atau karena kau
menderita penyakit yang lainnya? Sejauh ini kau belum pernah bercerita
kepadaku.
--
“Mas Galih, pulang jam berapa?”
“Mungkin jam 8 malam Mbak Ningsih. Ada apa mbak?”
“Ah, tidak. Tadi Pak RT datang ke mari, katanya
mau ada kondangan di rumah Pak Ahmed. Aku sudah bilang kalau sepertinya Mas
tidak bisa datang, jadi sebagai gantinya aku membantu memasak di rumah Pak
Ahmed. Tidak papa, ‘kan?”
“Ah, begitu ya. Wah, terima kasih sekali Mbak!
Tentu saja tidak papa, selama Mbak baik-baik saja tentu tidak masalah buatku.
Pak Ahmed adalah orang yang baik, dan orang di desa ini juga begitu kok..”
“Baiklah.. Dan, satu lagi, bagaimana kalau kita
saling memanggil dengan nama kita saja? Umur kita tidak berbeda jauh, bahkan
hanya berbeda 3 tahun saja. Tapi sesekali aku akan tetap memanggil dengan
sebutan ‘Mas’, karena Mas yang lebih tua, hehe.”
“Ah, boleh-boleh, hahaha...”
--
Ningsih, kau tahu, orang-orang sudah pada mudik ke kampung halaman
masing-masing, bahkan ketika lebaran masih berjarak satu minggu lagi. Tiket
kereta api tanggal 3 Juli yang selama ini kuburu, juga sudah habis diambil
orang. Sebagai gantinya aku harus naik bis, tapi sepertinya itu pun tidak
mungkin. Terlalu berdesak-desakan, selain itu juga berbahaya. Biasanya aku tak
sepusing ini memikirkan bagaimana cara pulang. Ibu sangat pengertian padaku.
Dia juga yang mengajarkanku untuk lebih memilih hal yang lebih penting daripada
keluarga, yaitu perjuangan meraih hidup yang lebih layak. Tapi, berkat
pertemuan kita, aku jadi menyadari betapa keluarga itu memiliki arti yang lebih
dari sekedar tempat untuk pulang. Apalagi aku memiliki keluarga, dalam hal ini
Ibu, satu-satunya keluargaku yang masih tersisa dari amuk rezim Presiden Lukas,
yang sangat mendukungku, melalui banyak cara.
Ibu pernah, suatu ketika menyisihkan uangnya lalu dikirimkan kepadaku.
Jumlahnya tidak begitu besar, namun sebenarnya cukup untuk makan satu minggu
lebih. Begitu menerimanya aku langsung menghubungi ibu melalui telepon,
kukatakan padanya untuk menyimpan uang seperti ini bagi kebutuhan hidup di
rumah saja. Aku sudah menemukan pekerjaan yang cukup layak untuk hidup di sini.
Sementara ibu hanya menjawab dengan lugas.
“Pakailah uang itu untuk menambah apa yang kurang
darimu.”
Waktu itu kau tampak terharu.
“Kau sungguh beruntung, Mas Galih. Aku iri
padamu.”
--
“Kalau lebaran datang, apa yang biasa engkau
lakukan?”
“Tidak banyak, Mas. Hanya membantu di rumah
pemilikku, ah, maksudku majikanku. Atau membantu di masjid, atau ya mengabdikan
diriku di panti asuhan yang banyak ditinggal saat lebaran seperti ini. Aku
tidak memiliki kegiatan apa pun selama lebaran.”
“Tidak ada teman yang bisa kau kunjungi?”
“Ada, tapi mereka terlalu jauh.”
“Di mana?”
“Di Arab, Thailand, dan lainnya Mas. Mereka tidak
bisa pulang karena tidak ingin kehilangan uang gaji. Keluarga mereka bergantung
pada itu, Mas.”
--
Beberapa kali aku mengajakmu pulang ke kampung halaman, menemui Ibu dan
menjadi temanku pulang. Awalnya kau selalu menolak, menanyakan padaku alasan
apa yang akan kukatakan pada Ibu bila aku membawamu pulang. Waktu itu yang
terbesit dalam pikiranku hanya satu, tinggal bilang saja bahwa dirimu adalah
pacarku. Tentu saja, bukan berarti aku memaksanya menjadi pacarku. Kita bisa
saja kemudian mengatakan pada ibu bahwa kami putus karena merasa tidak cocok,
namun masih menjadi sahabat dan karena itu aku meminta Ibu memperbolehkannya
tinggal di rumah kami, sebagai tempat tinggal sementara sebelum dia mendapatkan
pekerjaan di desa. Kenapa ingin menetap di desa ini? Karena dia betah dan
nyaman dengan suasana desa, tinggal bilang begitu saja. Dan memang di desa yang
kucintai ini, kondisinya lebih baik lagi dibandingkan suasana di perantauan.
Gotong royong, rasa kekeluargaan, semua hal yang berbau masa lalu namun baik
untuk perkembangan kejiwaan seseorang, ada dengan lengkap di sini.
Bisa kulihat dari raut wajahmu kau tampak malu-malu, sebelum akhirnya
menolak dengan alasan kau tidak ingin membohongi ibuku. Kau memintaku untuk menceritakan
tentangmu kepada ibuku, sedikit demi sedikit kemudian baru akan mengikutiku
pulang setelah ibu mengetahui yang sebenarnya terjadi. Tidak ada lagi
kebohongan karenaku, katamu. Sayangnya, sebelum aku sempat mengatakan akan
pulang bersamamu kali ini, kita sudah berpisah cukup lama.
Sejujurnya aku merasakan kesedihan yang amat saat kau pergi begitu saja,
hanya meninggalkan sepucuk surat dan permata yang dulu berasal dari rumah Mbok
Roro itu. Sampai saat ini aku masih belum bisa menemukan alasan atas
kepergianmu. Apakah karena diriku, apakah karena engkau sudah menemukan rumah,
atau bagaimana, aku sangat sulit menemukannya. Dan lagi, untuk apa pula permata
ini kau tinggalkan? Sekalipun harganya selangit, cukup untuk membiayai hidupku
sampai mati sekalipun, tidak akan sebanding dengan perasaan yang kurasakan
karena kepergianmu. Memang kita bukan kekasih, tapi bagiku kau sudah menjadi
sahabat, keluargaku di sini. Setan apa gerangan yang membuatmu memutuskan untuk
pergi? Selama satu bulan lebih aku memikirkannya, hingga kemudian perlahan aku
mulai merelakan keputusanmu.
Hari ini aku pulang. Aku terlambat satu hari dari janjiku pada Ibu. Pada
akhirnya aku pulang sehari setelah lebaran. Tidak banyak yang kubawa pulang,
hanya beberapa pakaian dan peralatan lain yang kuperlukan untuk mengerjakan
tugas. Perjalanan kali ini kutempuh menggunakan kereta bisnis. Tiketnya tidak
terlalu mahal. Beserta dengan barang-barangku yang lain, aku membawa serta
surat perpisahanmu. Entah kenapa, aku ingin membacanya di tengah perjalanan.
Siapa tahu aku akan terhibur dengan suratmu yang sedih itu.
--
Assalamualaikum.
Mas Galih, saat kau membaca surat ini mungkin aku
sudah tidak lagi ada di sekitarmu. Aku sendiri tidak tahu mas, saat ini aku
akan berada di mana. Mungkin aku akan melupakanmu, ketika kau sudah membaca
surat ini. Mungkin aku juga tak akan pulang lagi. Sebagai gantinya,
kutinggalkan permata itu mas. Terserah Mas Galih, mau di apakan. Dikembalikan
ke Mbok Roro lebih baik, disedekahkan juga sama-sama mulia. Toh, orang seperti
Mbok Roro tidak mungkin pusing memikirkan hal sesederhana itu Mas.
Selamat lebaran Mas, hehe. Maaf kalau saat membaca
surat ini di sana belum lebaran. Tapi bagiku hari ini sudah lebaran. Karena aku
sudah pulang kembali ke rumah. Walaupun sebenarnya itu rumahmu, tapi aku akan
menganggapnya sebagai rumahku. Dengan begitu aku bisa membanggakannya pada
orang-orang. Aku bisa berlebaran! Karena aku sudah punya rumah, dan kakak yang
baik. Walaupun tidak ada kue kering, nastar, ataupun madu mangsa di meja tamu
untuk menyambut kedatangan tamu-tamu kita. Tak apa, aku masih bisa membuatnya
lain waktu. Aku jago memasak lo, jangan lupakan itu.
Akhir-akhir ini aku semakin pelupa Mas, hehe. Kata
mereka aku tua terlalu cepat. Mungkin benar, aku memang sudah terlalu tua.
Walaupun umurku masih muda, tapi jiwaku sudah lelah menempuh perjalanan hidup.
Kalau saat itu tidak bertemu dengan dirimu Mas, aku rasa mungkin aku akan
berakhir dengan bunuh diri. Ada banyak hal yang tidak bisa kuceritakan kepadamu
Mas walaupun aku sangat ingin melakukannya. Bukan karena apa, tapi karena aku
sudah melupakan banyak hal Mas. Bahkan untuk memakai jilbab saja, aku memakan
waktu yang sangat lama bukan?
Setelah ini mungkin kau akan sedih Mas, mungkin
juga akan marah kepadaku. Tak apa, itu lebih baik daripada Mas melupakanku.
Bagiku engkau adalah tempatku untuk pulang Mas. Ibumu mungkin juga akan menjadi
tempatku pulang, kalau saja kita sempat bertemu. Walaupun saat ini, saat
menulis surat ini saja, aku sudah banyak melupakan wajah dan kenangan yang kita
lalui selama kurang lebih 3 tahun hidup bersama.
Terima kasih Mas. Atas kebaikan dan pertolonganmu.
Aku mampu memiliki tenaga untuk hidup lebih lama dan menjadi orang yang
bermanfaat lebih lama. Terima kasih telah menjadi rumahku selama tiga tahun
ini. Walaupun lebaran sudah tiga kali kita rayakan bersama, di lebaran keempat
dan seterusnya mungkin aku tak akan lagi bisa meramaikan suasana. Namun tetap
saja, engkau adalah keluargaku yang menjadi tempatku pulang.
Cepat dewasa Mas, temukan pasangan hidup dan
segera menikah. Jangan menunggu terlalu tua, nanti kau menyesal tidak segera
menikah. Tapi juga jangan terburu menikah, karena selagi masih muda kau harus
mengejar asa setinggi mungkin.
Jangan makan sembarangan, istirahat yang cukup.
Jangan melupakan agama, seperti yang selama ini kau katakan kepadaku.
Terakhir, aku sangat berharap kita bertemu kembali
Mas. Bila aku mampu melakukannya, bila aku masih ada kesempatan, aku harap kita
bertemu kembali. Tapi bila tidak, relakan aku untuk pulang ya Mas. Terima
kasih, terima kasih, terima kasih...
Adikmu, Ningsih.
--
Ningsih, aku sudah menyiapkan kue kering dan beberapa kue lainnya untuk
menyambut lebaran kali ini. Aku sudah memberikan alamat rumah ibuku kepadamu,
jadi aku berharap kau akan mampir ke sini. Tapi kalaupun kau tidak pulang, maka
bagianmu akan kumakan. Salah sendiri, tiba-tiba pergi begitu saja. Dan lagi,
permata itu akhirnya kusedekahkan seperti yang kubilang. Kalau ternyata kita
berdosa, aku tidak mau menanggung sendirian, kau juga harus ikut.
Begitulah yang ada dalam pikiranku saat ini. Di atap rumah Ibu, sambil
memandang langit, ternyata aku memang harus menghabiskan kue milikmu Ningsih.
Ya sudahlah, mungkin esok kau akan datang, atau esoknya lagi. Kalaupun pada
akhirnya kau tak datang, tak masalah, aku sudah merelakanmu pulang. Walaupun
pada awalnya sulit.
Selamat lebaran, semoga kau merayakannya dengan bahagia.
* Kesamaan nama, tempat, alur, adalah ketidaksengajaan yang tidak direncanakan. Cerita ini adalah fiksi.
1 komentar
after 8 years, am i late reading this story?
BalasHapus