Adik, Kamu Kenapa?
20.19.00
![]() |
Gambar diambil dari news.liputan6.com. Hak cipta pada pemilik asli gambar ini. |
SUATU ketika saya berselancar di dunia maya dan menemukan sebuah catatan
perjalanan-lebih tepatnya catatan pekerjaan-milik seseorang yang menceritakan
pengalaman beliau mengajar di daerah pedalaman Aceh[1].
Isi catatan tersebut, yang menarik perhatian saya, sebenarnya tentang bagaimana
anak didiknya, menjadi salah satu pelaku pemerkosaan. Siswanya masih kecil,
belum genap 16 tahun. Sebenarnya adik itu, menurut penuturan beliau sering
beliau nasihati dan beberapa kali dia pun mengikuti nasihati beliau. Saya turut
bersedih mendengarnya, dan memicu pertanyaan yang cukup mengusik di benak saya
dan mungkin juga bagi teman-teman yang lain. Apa yang sebenarnya terjadi dengan
generasi muda, adik-adik kita, atau bahkan mungkin generasi saya sendiri?
Seingat saya masih belum lama, kasus-kasus perkosaan yang terjadi di negeri
ini ramai diberitakan oleh media. Entah itu menunjukkan semakin banyak
peningkatan kasus perkosaan atau bergesernya perhatian media menuju kasus
perkosaan untuk mengejar news value dan atensi penonton, tetap saja
realitas perkosaan terjadi nyata. Ada kasus Enno, yang meninggal dengan tragis
setelah sebelumnya diperkosa, ada kasus gadis cilik yang juga diperkosa hingga
meninggal di semak-semak, bahkan kemarin ada pula berita seorang pemuda yang
memperkosa ibu kandungnya sendiri. Meningkatnya kasus-kasus tersebut
memunculkan banyak pertanyaan, salah satunya adalah apa yang saya tuliskan di
akhir paragraf sebelumnya. Para pembaca sekalian boleh menganggap tulisan ini
merupakan kontemplasi sak isane dari saya untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan itu.
Kebetulan, saya memiliki sebuah jurnal penelitian dari hasil download via
mbah google yang berisi penelitian tentang pengaruh ‘keluarga yang rusak’ (broken
home family) terhadap perkembangan seorang anak.[2]
File itu sebenarnya sudah lama mangkrak, memang kebetulan sekali kok kemarin
akhirnya saya tertarik untuk membacanya. Dalam penelitian tersebut analisis
yang dilakukan menunjukkan bahwa tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang rusak[3]
mengarah pada perkembangan seorang anak yang cenderung terjun dalam sebuah pola
hidup seorang kriminal atau setidaknya menjadi orang yang banyak melakukan
pelanggaran terhadap norma-norma yang ada di masyarakat. Dalam beberapa kasus,
hasil dari penelitian tersebut memang tidak secara langsung menjelaskan dengan
spesifik mengapa seorang anak kemudian tumbuh atau melakukan tindakan kejahatan
perkosaan, sifatnya lebih umum pada tindakan kejahatan itu sendiri. Seperti
misalnya dalam kasus objek penelitian di dalamnya, pada akhirnya objek itu
tumbuh menjadi anak yang sudah memulai bisnis menjadi kurir narkoba saat masih
SMP, kemudian meningkat berurusan dengan barang-barang lain yang lebih berat
lagi kelasnya dalam strata sosial narkoba.
Namun salah satu penjelasan mbah Brittany dalam penelitiannya sangat
menarik perhatian saya, yaitu tentang bagaimana hubungan kasih sayang yang
lemah antara anak dengan orang tua sangat mempengaruhi bagaimana seorang anak menemukan
serta memilih kelompok yang menyediakan secure attachment, dukungan
emosi, dan sejenisnya, untuknya. Dengan kata lain, apabila seorang anak
tidak merasa bahwa orang tuanya memberikan kasih sayang, perhatian, dan
sejenisnya yang dibutuhkan olehnya, mereka akan cenderung mencari
kelompok/orang lain yang menyediakan hal tersebut. Implikasi dari hal inilah
yang cukup menarik.
Pertama, kelompok itulah yang kemudian akan menjadi acuan bagi sang anak
dalam memilih perilaku apa yang seharusnya dia lakukan atau dia ikuti.
Bagaimana cara berpenampilan, bagaimana cara megang sendok di warteg, kopi apa
yang sebaiknya diminum, milih indomie dulu atau nyolong makanan teman satu kos
dan sejenisnya. Kecenderungan secara umumnya anak itu akan berkembang mengikuti
set of rules yang dipercaya oleh kelompok lain itu. La beruntung kalau
kelompok yang diikuti itu kelompok genah-genah, rajin salat, puasa, tampan
rupawan macam Gus Mul Dur atau pintar (ngupil) macam saya. La
kalau teman sepermainannya itu aki-aki keceh yang pedofil atau pengedar ganja?
Ya, silakan dibayangkan sendiri.
Kedua, oleh karena sudah menemukan kelompok yang menurutnya menyediakan
dukungan emosi ataupun support lain itu, ada kecenderungan dari sang
anak untuk menganggap orang tuanya kurang penting dan tidak berarti bagi
mereka. Ketika orang tua ingin anak-anaknya berkembang menjadi anak yang soleh
dan soleha, gampangnya mereka akan mengatakan, “Hwat? Buat apa? Situ saja nggak
ngapa-ngapain untuk aku.” Wes, skak mat. Akan menjadi semakin sulit bagi
para mamah papa untuk mengembalikan anaknya agar menjadi anak-anak yang soleh
dan soleha lagi, apalagi bila sang anak sudah terlalu lama merasakan ikatan
yang kuat terhadap kelompok yang lain tersebut. Akan butuh lebih banyak usaha
dan konsistensi yang kuat dari para orang tua untuk menyadarkan anaknya, dan
ini benar-benar sulit apabila mereka berada dalam kondisi ekonomi yang lemah.
Nasi belum siap makan, anak sudah keluyuran sama temannya entah ke mana.
Jadi dari analisis singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa orang tua
sangat penting dalam perkembangan anaknya untuk menyediakan lingkungan
pertumbuhan, kasih sayang, dan dukungan emosi yang cukup dan nyata bagi mereka.
Saya berhipotesis di sini bahwa penyebab banyaknya pelaku perkosaan yang berada
di bawah umur salah satunya adalah kegagalan orang tua (mengingat saya
berbicara dalam level keluarga) untuk menyediakan apa yang dibutuhkan
anak-anaknya, yang membuat mereka akhirnya bergaul atau masuk dalam kelompok
tertentu yang memiliki set of rules yang sedikit banyak akan mendorong
mereka untuk melakukan tindakan perkosaan. Kasus Enno misalnya, mungkin
pertanyaan bagaimana bisa tiga orang lelaki muda itu dengan gampangnya
mengiakan tindakan satu sama lain untuk menyiksa bahkan memperkosanya hingga
mati dengan naas? Opini saya, ya karena tindakan itulah yang menurut mereka
menjadi set of rules yang pantas dilakukan untuk orang yang telah
mematahkan hati mereka. Uluh-uluh.
Dari beberapa kasus yang diberitakan di media massa, memang alasan-alasan
yang diucapkan oleh para pelaku, berbagai macam. Ada yang mengatakan karena
mereka berada di bawah minuman miras, terlalu banyak menonton video porno, dan
seterusnya. Menurut saya, oke itu mungkin bisa menjadi salah satu pengaruh yang
secara langsung menyebabkan mereka melakukan tindakan perkosaan tersebut. Tapi
pertanyaannya, bagaimana bisa mereka meminum minuman keras, menonton video
porno sampai kecanduan, dan seterusnya? Bukankah substansi masalah atau akar
masalahnya lebih dari sekedar itu? Bukankah ini yang seharusnya kita jawab
untuk menemukan solusi untuk mengatasinya? Saya percaya bahwa masalah perkosaan
ini bukan kerusakan yang terjadi karena satu atau dua penyebab saja. Ada lebih
dari itu dan berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa peran orang tua
dalam mengawasi perkembangan anaknya sangat penting.
Ibu-ibu, dan bapak-bapak sekalian, yang masih memiliki anak, mungkin kurang
tepat kalau saya yang masih ingusan ini mencoba menasihati bagaimana mendidik
anak Anda. Tapi saya, sebagai seorang anak merasa cukup punya hak untuk
mengatakan bahwa anak-anak Anda itu membutuhkan komunikasi, hubungan yang
nyata, emosi yang tulus dan kasih sayang yang konkret dari Anda supaya tidak
menjadi orang-orang yang hidup menjadi penjahat. Bagaimana tindakan yang lebih
riil, wah kalau itu saya sendiri masih belum tahu. La punya calon pasangan saja
lo belum, apalagi punya anak, jadi maaf saya tidak bisa memberikan contoh. Tapi
mungkin, dikit-dikit bapak ibu bisa mengajak anak Anda untuk tidak melihat
televisi berlebihan seperti yang dikatakan mbak Thubany. Kenapa? Karena lebih
baik anak Anda disuruh untuk membaca buku agar peran mbak Najwa Sahib, eh Sihab
bisa sukses sebagai duta baca Indonesia.
Jadi pertanyaan saya sudah terjawab dan saya cukup puas untuk itu.
Menanggapi pernyataan mbak[4]
Thubany, mungkin semua orang ambil bagian dari kejadian ini mbak. We
participate in this irony. Tapi percayalah, sebenarnya, ini semua salah
Jokowi.
Titik.
* Tulisan ini sebelumnya saya kirim ke Mojok.co, dan sayangnya belum berhasil diterima. Jadinya saya ulang pos di sini deh.
[1]
Thubany Amas, “Sebenarnya Apa yang
Sedang Terjadi di Sekitar Saya?”, didapatkan dari http://mojok.co/2016/06/apa-yang-sedang-terjadi-di-sekitar-saya/.
[2]
Brittany Henderson, “From
Innocence to Corruption: The Effects of a Broken Home on Child Development”.
[3] Yang dimaksud dengan lingkungan keluarga
yang rusak adalah lingkungan keluarga yang di dalamnya terdapat tindakan kekerasan terhadap anak, adanya pengalaman
bersekolah yang buruk, insecure attachment atau ikatan emosional yang
lemah dengan keluarganya baik ayah atau ibunya.
[4]
Sebenarnya saya kuatir,
jangan-jangan terlanjur manggil mbak karena foto profilnya perempuan, eh nanti
taunya doi laki-laki. Maaf ini karena persepsi saya atas nama Thubany Amas
cenderung ke arah laki-laki. Heu-heu.
0 komentar