Mendayung di antara Senja

21.23.00

Foto laut di pantai Pasir Putih Situbondo. Milik pribadi lo.

Sebenarnya isi tulisan saya kali ini bukan tentang mendayung di antara senja sama sekali. Saya hanya berpikir itu adalah judul yang bagus dan nyambung sedikit, dengan isi tulisan saya kali ini. Tapi, semoga tulisan kali ini tetap semenawan judulnya. Tulisan ini masih tentang kepedulian, teman-teman.

Dalam perjalanan terakhir saya dari Surabaya menuju Madiun, di daerah Mojokerto, tepat di perempatan lampu merah besar menuju daerah Krian, terdapat seorang Kakek tua yang duduk-duduk di taman pinggir lampu merah itu. Tangan kanannya memegang wadah yang terbuat dari botol air mineral bekas yang dibelah menjadi dua. Tangan kirinya memegang tongkat kecil dengan panjang kurang lebih satu lengan orang dewasa. Di bawah janggutnya tumbuh rambut berwarna putih, sementara kulitnya terbakar hingga berwarna kehitaman. Sesaat sebelum lampu berubah warna menjadi hijau, seorang pemuda menghampirinya dan memberinya beberapa lembar uang sambil tersenyum dan menyapanya. Raut muka Kakek itu terlihat senang, sambil beberapa kali mengucapkan terimakasih beberapa kali dalam bahasa Jawa pada pemuda tersebut.

Dalam salah satu ceramahnya, Gus Mus pernah mengatakan bahwa beliau merasa malu saat mengaji Al Qur'an. Penyebabnya, karena dalam ayat-ayat Al-Quran yang beliau baca, banyak ciri atau karakter orang kafir/munafik yang mirip dengan dirinya sendiri, padahal beliau sering dianggap sebagai orang yang mukmin. Perkataan beliau ini, di satu sisi berfungsi untuk menyindir orang yang mendengar beliau. Oleh karena pada kalimat berikutnya beliau mengatakan beruntunglah anda-anda yang jarang membaca Al-Quran karena tidak perlu merasa malu. Tapi juga bisa dianggap sebagai sebuah refleksi atas keimanan kita. Saya pun juga, kadang kalau, ehmm, tidak, mungkin hampir setiap saat merasakan hal yang sama. Saya merasa bila di tempatkan dalam barisan orang-orang musyrik atau munafik, bisa-bisa saya 11/12 dengan mereka. 

Salah satu ciri orang Islam, menurut saya, adalah adanya kepedulian pada nasib orang-orang yang ada di sekitarnya. Buktinya Rasul pernah menyebutkan dalam haditsnya, belum sempurna iman seseorang bila dia tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya menanggung lapar. Kondisi masyarakat Madinah, atau Arab pada umumnya, di tengah kondisi geografis yang menyulitkan untuk bertahan hidup, menyebabkan tidak semua orang memiliki sumber daya yang sama-sama kuat untuk meraih kekayaan. Walaupun dorongan kerja keras sangat digalakkan oleh Rasul pada waktu itu, namun bantuan tetap dibutuhkan untuk mempercepat proses pemerataan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat pada waktu itu. Tanpa rasa peduli pada orang lain akan sulit bagi masyarakat untuk mengalami perkembangan. Ada banyak hal yang membuat kepedulian dengan sesama itu sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan bermasyarakat ataupun individu. Salah satunya, menolong orang lain akan membuat orang lain mampu menyelamatkan dirinya dari nasib buruk, seperti kemiskinan dan sejenisnya, yang berpotensi besar menghambat keimannya, atau perannya dalam masyarakat. Memberikan bantuan berupa dana, untuk mengembangkan dirinya atau menyekolahkan anaknya, akan membantu orang lain melewati masa-masa sulitnya.

Dulu sekali saya pernah mendengar beberapa kasus tentang berbaliknya orang-orang menjadi murtad karena keadaan miskin yang kemudian menyebabkan seseorang itu memilih berpindah agama daripada menanggung lapar terus-terusan. Memang, bila berbicara salah siapa tentu orang itu salah, karena dia bisa dianggap menjual agamanya dengan hal lain yang lebih rendah. Tapi, dalam kasus itu, pembacaan yang lebih riil akan memperlihatkan betapa orang-orang yang miskin berada pada kondisi yang sangat rawan untuk mengalami kegoyahan iman. Di sini saya hendak menunjukkan bahwa keadaan miskin bisa mendorong seseorang untuk menjual imannya, tidak sama dengan menggeneralisir bahwa orang yang miskin itu imannya lemah lo ya.

Tetapi, dalam menolong itu pun kita harus memilih bentuk mana yang paling sesuai. Rasul dalam beberapa hadisnya pernah melaknat -seingat saya, kalau ada kesalahan mohon diingatkan- orang-orang yang hanya meminta saja tanpa melakukan usaha apapun. Mungkin teman-teman juga sudah hafal dengan kisah bagaimana seorang alim ulama memberikan bantuan kepada orang yang kerjanya hanya berdoa saja di dalam rumah, tidak hanya dengan memberikan bantuan makanan/dana, tetapi dengan memberikan nasihat yang mendorong agar orang itu bekerja dan mencari penghidupan pula melalui surat-surat yang dikirim olehnya.

Menemukan bentuk pertolongan yang paling sesuai itu sendiri pun, menurut saya juga cukup sulit, karena sifatnya bisa sangat kasuistik. Misalnya, dalam beberapa kasus kejadian adanya seorang nenek yang hidup sebatang kara dan sudah susah menggerakkan badannya, seperti yang diberitakan kurang lebih 3 tahun yang lalu -saya ingat betul karena kisah ini adalah kisah yang cukup memilukan dan terjadi di daerah dekat kampung halaman saya-, bentuk pertolongan yang menyuruh orang itu bekerja sangat tidak sesuai, menurut saya. Mengapa? Karena satu hal saja, hal itu justru akan membuatnya menderita, karena dari segi fisiknya saja sudah tidak mencukupi untuk melakukan hal tersebut. Lain lagi ceritanya bila memberikan bantuan sekedar dana jangka pendek saja untuk orang yang masih muda dan punya tenaga banyak, karena hal itu justru akan menimbulkan ketergantungan, hal yang mungkin akhir-akhir ini sangat dikhawatirkan oleh dinas sosial. Menolong memang baik, namun bentuknya pun harus disesuaikan. Prinsip apa yang bisa dipegang? Saya sendiri masih mencoba untuk menemukan hal tersebut. Tapi setidaknya saya percaya kalau menolong yang baik adalah yang membuat orang itu mampu lepas dari belenggu kemiskinan yang mereka alami dengan kekuatan mereka sendiri, bila kita berbicara dalam ranah ekonomi.

Oleh karenanya, di satu sisi, saya merasa bersalah tidak dapat membantu kakek tua tadi, namun di satu sisi bersyukur masih ada orang-orang seperti pemuda itu yang dengan senang hati membantu kakek tua itu, beserta mengobati jiwanya yang mungkin lelah dan membutuhkan perhatian dari orang lain. Bagi saya orang seperti pemuda tadi, memiliki nilai yang lebih di bandingkan orang lain yang ada di sekitarnya.

Mereka yang tahu tapi hanya diam dan mengutuk dalam hati, bernilai lebih rendah daripada mereka yang tahu dan bergerak. Mungkin begitulah peribahasa asal-asalannya.

Saya sangat bersyukur, setidaknya bisa menemukan tempat untuk belajar menjadi orang yang mau bergerak untuk membantu orang lain. Tahun ini saya memiliki lahan belajar yang sangat bagus untuk menjadi orang yang lebih baik. Walaupun tidak secara langsung membantu orang lain, tapi saya diberi kesempatan untuk belajar menjadi orang yang mampu membantu orang lain. Dengan demikian, mungkin ketika bertemu dengan Mbah Sopo atau Mbah Salim yang dulu pernah saya ceritakan, saya bisa mengajak beliau berbicara dengan lebih nyaman dan enak, serta lebih sesuai untuk membantu mereka.

Kesempatan menolong orang lain, bagi saya adalah kesempatan untuk menambal pakaian iman yang sudah compang-camping karena berbagai keburukan yang senantiasa menghiasi saya dalam keseharian ini. Kesempatan menolong orang lain, berperan dalam hal itu, merupakan kesempatan untuk memperbaiki tiang iman yang hari-hari sebelumnya rapuh karena digerogoti oleh godaan hawa nafsu yang sering kali saya ikuti. Kesempatan menolong orang lain, adalah media untuk meraih dan mengumpulkan serpihan tiket menuju surga yang insyaallah kita inginkan bersama.

Nah, bagi saya kesempatan itu hanya sebentar saja. Selama hidup ini kesempatan itu hanya datang sebentar saja, seperti lamanya senja yang hanya timbul tenggelam sesaat. Mungkin karena itu judul ini bisa pas sama isi tulisan saya (haha). Jadi, selamat mendayung di antara senja-senja yang tersedia untukmu. Semoga senja terakhirmu menampilkan keindahan dan kebahagiaan untuk semesta.

~ Madiun, 26 Mei 2016.

You Might Also Like

0 komentar