Kepedulian yang Mewujud
07.07.00
Alhamdulillah, sampai sekarang saya hidup di tengah keluarga yang serba
berkecukupan. Orang tua saya keduanya sama-sama bekerja. Ibu menjadi guru,
bapak meneruskan usaha pertanian dari nenek. Adik-adik saya dapat bersekolah,
di tempat-tempat yang insyaallah sesuai untuk menuntut bekal ilmu. Kakak saya
sudah berkeluarga, tinggal menunggu ponakan lahir. Sementara saya masih kuliah,
mencari bekal menempuh jalan hidup. Di sisi lain, kakek-kakek dengan topi yang
sudah kucel, baju yang sudah kecokelatan, kulit yang menghitam dan sepeda
jengki yang sudah reot dan berdecit, sering kali saya temui. Baik di kampung
halaman, maupun di tempat saya menuntut ilmu.
Saat pulang kampung dengan bis, saya sudah akrab dengan yang namanya
pengamen. Mereka akan ikut naik bis, biasanya dari terminal pusat di ibu kota,
lalu turun setelah bis menempuh perjalanan beberapa kilometer. Misalnya, mereka
akan naik dari terminal bungur sampai bypass Mojokerto, atau dari terminal
bungur sampai daerah sekitar Nginden, kalau di Surabaya. Mereka beragam, dari
kakek tua yang membawa gitar kotak dengan senar karetnya, sampai gadis-gadis
yang mungkin masih bersekolah di SMP dengan kentrung (gitar kecil) yang
sudah agak lecet di bagian bawahnya. Biasanya mereka naik bis tanpa perlu
membayar ongkos, atau kalaupun membayar, hanya sedikit. Mungkin hal itu adalah
bentuk solidaritas dari sopir dan kernet bis yang sama-sama tahu susahnya
mencari sesuap nasi dari jalanan. Saya pun mencoba untuk membantu sebisa
mungkin, walaupun kadang-kadang masih menjadi dilema tersendiri. Membantu yang
bagaimana?
Ibu sebenarnya memberikan contoh yang sangat baik bagaimana cara untuk
membantu orang-orang seperti mereka. Sejak saya duduk di bangku SD, Ibu sudah
memberikan lahan pekerjaan bagi tetangga kami yang bekerja serabutan. Sebut
saja namanya Mbah Mo dan Mbah Mi, mereka berdua perempuan yang sudah berumur.
Entah itu untuk menjaga adik-adik yang masih kecil, atau untuk memasak bagi
keluarga kami. Dengan kerepotan Ibu sebagai kepala sekolah, memasak menjadi
pekerjaan yang cukup menyita waktu. Di lain waktu, biasanya Ibu juga meminta
bantuan mereka untuk menyetrika dan seterusnya. Kemudian di akhir bulan atau
setelah pekerjaan mereka usai Ibu memberikan sedikit uang sebagai bentuk terima
kasih atas bantuan mereka.
Praktik-praktik yang sama dengan apa yang Ibu lakukan, sedikit banyak
sempat saya tiru. Bagi yang pernah membaca tulisan saya tentang Mbah Sopo,
mungkin masih ingat bagaimana saya mendekati kakek pemulung itu di siang bolong
lalu memberikannya dua buah air minum dari uang pemberian Ibu untuk membantu
meredakan dahaga yang beliau miliki. Berawal dari situ beliau mengajak saya
berbincang-bincang, ngobrol ngalor ngidul
dari kisah saat beliau masih segar
di masa mudanya, hingga saat beliau akhirnya harus menjadi pemulung sampai saat
ini. Saya rasa itu pengalaman saya membantu orang lain dan merasakan bagaimana
rasanya menjadi bermakna bagi orang lain.
Beberapa saat yang lalu, saya menjadi sebuah
moderator dalam sebuah forum. Dalam forum tersebut, pembicara yang juga dosen
saya sendiri, menjelaskan bagaimana keadaan masyarakat saat ini dan bagaimana
seharusnya kita sebagai generasi umat Islam bertindak. Ajaran Islam menuntut
kita untuk menjadi khalifah, pengganti Allah di muka bumi, untuk menyelesaikan
permasalahan sosial dan mengatur kehidupan kita agar sesuai dengan nilai-nilai
yang baik. Maka menjadi sangat miris, bila umat Islam sama sekali tidak
bergerak melihat kemiskinan dan masalah-masalah sosial yang lain ada di sekitar
kita. Padahal itu sangat nyata, empiris, dan tidak perlu bukti lagi tentang
betapa parahnya kerusakan yang ada di masyarakat saat ini. Waktu itu saya
tertegun, ingatan saya membawa saya kembali pada sebuah berita tentang
nenek-nenek yang hanya bisa terbaring di tempat tidur tanpa ada yang merawat,
berita tentang nenek-nenek yang dihukum karena mencuri ketela, berita tentang
gadis-gadis belia yang diperkosa. Terlalu banyak untuk disebutkan.
Saya pernah melihat sebuah film dokumenter di
India, di mana sang aktor berpura-pura tertabrak kendaraan bermotor dan
bersimbah darah. Di tengah jalan itu dia meminta tolong kepada orang-orang yang
lewat, satu per satu. Namun yang terjadi adalah hal yang sangat miris, banyak
orang yang hanya berhenti di pinggir jalan saja untuk melihatnya, namun tak ada
yang dengan cekatan membantunya, kecuali seorang kakek tua yang berusaha untuk
menghentikan kendaraan yang lewat agar membawa orang tersebut ke rumah sakit. Hingga
akhir film, hanya kakek tua itu yang menunjukkan kepeduliannya. Saya rasa di
banyak peristiwa, saya sama dengan mereka. Kita hanya berdiri di garis tepi
menanti kemalangan datang menimpa orang yang sudah sangat jelas membutuhkan
bantuan. Itu, seharusnya bukanlah perilaku orang-orang yang beriman kepada hari
akhir dan Tuhannya.
Bila dapat dirumuskan dalam sebuah kata-kata yang sederhana, apa yang saya
tangkap dari pengalaman tersebut, sebenarnya Islam mendorong kita untuk peduli
pada orang lain dan memikirkan tentang hidup mereka. Bagaimana supaya hidup
orang itu sejahtera, berkecukupan, dan kemudian dapat beraktivitas sesuai
dengan fungsi sosial yang mereka miliki. Pembebasan budak, sedekah, zakat, dan
seterusnya dalam pandangan saya mewakili hal tersebut. Itu adalah tanggung
jawab yang kita miliki sebagai khalifah, pengganti Yang Maha Esa di muka bumi
ini, untuk mengaturnya. Aduh, saya jadi malu sendiri. Betapa tanggung jawab
yang besar itu belum juga bisa saya laksanakan.
Peduli tidak cukup dengan mengatakan kasihan. Peduli tidak cukup dengan
meneteskan air mata. Peduli tidak cukup dengan mengisahkan tentang mereka. Itu
sama sekali tidak cukup, karena hidup mereka tidak akan pernah berubah bila
kita hanya melakukan hal itu. Mungkin terdengar klise, tapi memang begitulah
kenyataannya. Tidak cukup kita menangis dan melihat saja. Tangan kita harus
bergerak. Dan mungkin karena itulah, jasa orang-orang yang mencari bantuan
dana, jasa orang-orang yang membantu mengajari anak-anak yang terlantar itu
agar mendapatkan pengetahuan yang benar, jasa orang-orang yang membagi sebagian
waktunya untuk masyarakatnya tidak akan pernah bisa dinilai dengan ukuran harta
benda semata. Oleh karena kepedulian yang mewujud itu adalah amalan yang mulia,
yang mungkin hanya Allah yang tahu apa yang pantas diberikan sebagai
imbalannya.
Sekian.
0 komentar