Dua Nikmat yang Dilupakan
07.10.00
![]() |
Gambar kakek tua pembawa suling in diambil oleh Rosi Ayu Sholihah, adik kelas saya. |
Dalam Shahih Bukhari, pada hadis nomor 5933[1],
telah dikabarkan Rasul mengatakan bahwa dua nikmat yang sering dilupakan oleh
kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. Ucapan rasul ini sangat
sering kita dengar pada ceramah keagamaan, diskusi hadis, ataupun di saat-saat yang
lain. Namun, beberapa yang luput dari penjelasan umumnya adalah pemahaman
terhadap kondisi yang melingkupi rasul saat itu. Hal itu penting, oleh karena
tidak mungkin perkataan itu muncul bila tiada masalah yang disoroti oleh rasul.
Dengan memahami hal itu, kita dapat mengetahui titik masalah apa yang disoroti
rasul pada waktu itu. Dengan demikian kita dapat mengetahui bagaimana cara
rasul dalam menyelesaikan permasalahan umat pada saat itu.
Hadis-hadis yang berkaitan dengan perilaku yang dicontohkan oleh rasul atau
nasihat-nasihat yang diberikan oleh beliau, utamanya berkaitan dengan sisi-sisi
kemasyarakatan atau sifat-sifat kemanusiaan, dalam pandangan penulis
kemungkinan besar muncul pada masa setelah rasul hijrah, atau ketika beliau
telah berada di Madinah. Misalnya hadis berkaitan dengan hukum, pengaturan
ekonomi, dan sejenisnya. Oleh karena pada masa tersebut rasul beserta sahabat
sudah menghadapi masa pembangunan masyarakat Islam dengan mengawalinya di
Madinah. Berbeda halnya dengan masa Mekkah, di mana yang menjadi titik tekan
pada waktu itu adalah pembangunan nilai-nilai tauhid, kesabaran, dan dakwah
serta yang sejenisnya. Dalam kondisi masyarakat seperti saat di Madinah yang
masih berada pada tahap awal pembangunan, tentunya dibutuhkan kekuatan yang
besar untuk membangun masyarakat baik dari segi moril ataupun materiil.
Kekuatan ekonomi harus dibangkitkan, agar masyarakat Islam dapat memiliki
kekuatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau menopang aktivitas
struktur sosial yang lainnya sehingga tidak menggantungkannya pada masyarakat
lain.
Dorongan rasul untuk melakukan sedekah, agar orang-orang bekerja dengan
giat, atau untuk membantu fakir miskin, dari sudut pandang tertentu dapat
dilihat sebagai upaya untuk memperkuat sektor ekonomi masyarakat Madinah saat
itu. Ekonomi memang menjadi sektor yang sangat penting di masyarakat, karena
apabila sektor ekonomi masyarakat rapuh maka besar kemungkinan pembangunan
masyarakat akan sulit, dan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, dan
sejenisnya akan meningkat dan sulit diatasi. Menghadapi kondisi seperti itu,
setidaknya dibutuhkan moral bekerja keras yang kuat, tolong menolong yang
tinggi, serta semangat yang kuat dalam menghadapi masalah.
Pada awalnya, umat Islam di Madinah sempat menggantungkan kehidupan
ekonominya pada penduduk asli Madinah dengan sistem ribanya. Sistem riba itu,
sederhananya, apabila uang yang dipinjamkan tidak dapat dikembalikan tepat
waktu maka hutangnya akan diakumulasikan pada waktu berikutnya. Padahal pada
waktu itu umat muslim masih kesulitan mendapatkan pekerjaan karena baru
berpindah ke Madinah, dan harta mereka semuanya ditinggalkan di Mekkah,
sehingga tidak mungkin bisa mengembalikan uang pinjaman itu tepat waktu. Riba kemudian
justru dilarang oleh Allah karena pada hakikatnya sistem riba membuat ekonomi
masyarakat tidak akan berkembang. Oleh karena kemustahilan bagi pengutang yang
ada dalam sistem tersebut untuk bisa membayar kembali utangnya karena tidak
memiliki sumber pendapatan primer dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bagaimana
kondisi untuk membangun sektor masyarakat, khususnya ekonomi pada awal
kedatangan umat Islam di Madinah sangat penting. Namun dalam perkembangannya,
pembangunan sektor ekonomi ataupun sektor yang lain juga sangat dibutuhkan dan
harus dikerjakan oleh umat Islam pada masa itu. Hal itu dilakukan untuk
membangun umat yang kuat dan melandaskan ajarannya atas nilai-nilai tauhid.
Kebutuhan akan pembangunan tentunya mendorong rasul untuk bagaimana membuat
masyarakat saat itu memiliki gairah yang besar dan semangat yang kuat dalam
melakukan pembangunan. Kesehatan manusia, baik jasmani maupun rohani, tentunya
menjadi salah satu hal yang utama sebagai penopang bagi masyarakat agar dapat
melakukan kerjanya. Ketika manusia memiliki kesehatan, semua fungsi tubuhnya
dapat berjalan dengan baik, tubuh dapat menghasilkan energi yang besar sehingga
menjadi pendukung utama dalam aktivitas sehari-hari seorang manusia. Tanpa
kesehatan, setidaknya akan sangat sulit bagi manusia untuk mengerjakan sesuatu
dengan maksimal. Ketika Rasul mengatakan bahwa kesehatan menjadi salah satu
nikmat yang dilupakan oleh manusia, hal ini menunjukkan setidaknya rasul
melihat adanya masalah pada bagaimana umat Islam saat itu menggunakan nikmat
kesehatan dengan tidak optimal. Bentuk melupakannya, dalam pandangan penulis bisa
dalam berbagai macam bentuk, seperti misalnya tidak mengucapkan terima kasih
kepada Allah atas kesehatan yang dimiliki, tidak memanfaatkan kesehatan yang
dimiliki untuk beraktivitas dengan baik atau melakukan aktivitas yang produktif,
atau justru di saat memiliki kesehatan mencoba untuk mendekatkan diri kepada
sumber-sumber penyakit tubuh manusia.
Di sisi lain, perilaku mengingat nikmat, dalam pandangan penulis menjadi
awal agar kita dapat mensyukuri nikmat itu sendiri. Di mana bentuk syukur itu
pun bisa berbagai macam. Seperti yang disampaikan Allah dalam surat Saba’ ayat
13 misalnya, ketika Allah mengatakan[2]:
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung
yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam
dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga
Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari
hamba-hambaKu yang berterima kasih.” Dari ayat ini dapat kita diketahui bahwa
bekerja, termasuk ke dalam bentuk syukur atas nikmat yang Allah berikan kepada
manusia, yang dalam hal ini adalah keluarga Nabi Daud. Atau sebagaimana ketika
Nabi Musa ketika mengatakan[3]
bahwa demi nikmat yang telah diberikan kepadanya oleh Allah, dia tidak akan
menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa. Dari beberapa peristiwa
tersebut dapat disimpulkan bahwa syukur tidak hanya dapat berwujud dalam ucapan
terima kasih, namun juga dapat dalam bentuk-bentuk yang lain.
Ketika dihubungkan dengan kondisi umat saat itu, tentu hal itu akan menjadi
sebuah masalah besar. Oleh karena perilaku demikian dapat menunjukkan
penghambaan yang tidak sesuai seharusnya, atau menghambat proses pembangunan
yang terjadi. Apabila manusia melupakan tentang nikmat yang diberikan oleh sang
pencipta, dan tidak mensyukurinya, hal ini bisa dianggap melupakan apa yang
seharusnya dilakukan, yaitu mensyukuri apa yang diberikan oleh sang pencipta.
Bentuk syukur salah satunya adalah mengucapkan terima kasih, kemudian
mempergunakan apa yang dimiliki terebut seusia dengan fungsinya. Dalam proses
pembangunan yang dilakukan, dapat dimaknai bahwa kemudian terdapat beberapa
orang yang memiliki rasa malas untuk menggunakan kesehatannya untuk melakukan
aktivitas yang bermanfaat, seperti bekerja dan yang selainnya. Akibatnya jumlah
orang yang fokus untuk melakukan pembangunan menjadi sedikit dan memakan waktu
yang cukup lama, oleh karenanya hal itu menjadi masalah yang besar. Oleh karena
semua orang dalam masyarakat harus bekerja keras, yang artinya harus
menggunakan tenaganya, atau kesehatannya untuk melakukan aktivitas yang
bermanfaat bagi pembangunan masyarakat saat itu. Bila demikian yang terjadi
perkembangan umat Islam di Madinah akan berlangsung secara cepat dan memiliki
kekuatan yang cukup untuk menghadapi tantangan, baik dari internal ataupun
eksternal masyarakat Madinah seperti misalnya kaum kafir Mekkah, dan selainnya.
Berkaitan dengan masalah waktu luang, secara sederhana dapat dikatakan
bahwa waktu luang adalah kesempatan yang dimiliki manusia untuk melakukan
aktivitas tertentu yang diinginkan olehnya tanpa terikat tuntutan tertentu,
seperti deadline, atau yang sejenisnya. Biasanya waktu luang
diidentikkan dengan waktu saat kita bisa beristirahat dari pekerjaan tertentu
yang menguras tenaga, dan seterusnya. Penggunaan waktu luang ini murni
ditentukan atas kehendak pribadi itu sendiri, dalam arti tidak ada unsur
paksaan yang datang dari pihak lain dan akibat langsung yang dirasakan bilamana
tidak melakukan hal tersebut. Oleh karenanya, waktu luang yang dimiliki oleh
seseorang, memang memiliki potensi untuk dimanfaatkan dengan baik ataupun
dimanfaatkan dengan cara yang buruk.
Ketika Rasul mengatakan bahwa waktu luang merupakan nikmat yang dilupakan,
maka dalam pandangan penulis, sebagaimana kasus di atas, besar kemungkinan
pernah atau sedang terjadi pola penggunaan waktu luang yang tidak begitu baik
pada beberapa kalangan umat Islam saat itu yang diamati oleh Rasul. Apabila hal
itu dibiarkan, maka kecenderungan yang terjadi adalah berkembangnya pola
pemanfaatan waktu luang yang tidak produktif, seperti misalnya terlalu banyak
bercengkerama dengan orang lain tanpa tujuan yang jelas, atau terlalu banyak
menghabiskan waktu untuk mengelola rumahnya sendiri tanpa giat bekerja, atau
bahkan salah menggunakan waktu tersebut untuk melakukan dosa-dosa yang tidak
disadari seperti melakukan ghibah, dan sejenisnya. Terlepas dari
bagaimana perilaku penggunaan waktu luang yang merupakan bentuk melupakan
nikmat tersebut, dalam pandangan penulis terdapat benang merahnya bahwa pasti
perilaku yang dilakukan akan berdampak negatif kepada diri individu itu sendiri
atau kepada proses pembangunan masyarakat secara umum. Mereka yang tidak
memanfaatkan waktu luangnya dengan baik akan kesulitan dalam mengembangkan
dirinya sendiri, bahkan bisa menurunkan keahlian yang dimiliki apabila yang
dilakukan dalam waktu-waktu luang tersebut menjadi sebab berkurangnya
keahliannya. Bagi proses pembangunan masyarakat sendiri, waktu luang dapat
dianggap sebagai waktu yang sangat penting bagi masyarakat untuk melakukan hal
lain di luar apa yang sudah dia lakukan untuk membantu atau melakukan
peningkatan keahlian, seperti belajar, mencoba untuk berlatih pedang atau
mengasah keahlian berperang (dalam konteks masyarakat Madinah yang masih
berpeluang besar berperang menghadapi orang kafir Mekkah yang setiap saat bisa
saja menyerang mereka di), dan selainnya. Oleh karenanya, rasul memberikan
dorongan yang besar, dalam pandangan penulis dengan kata-kata yang beliau
ucapkan, agar orang-orang tidak melupakan nikmat waktu luang tersebut, dalam
arti melupakan dalam berbagai bentuk sebagaimana yang telah kita bahas
sebelumnya, baik tidak mengucapkan terima kasih, salah dalam memanfaatkan, atau
justru tidak menjaganya dengan sebagaimana mestinya.
Dua nikmat tersebut, memang banyak dilupakan oleh manusia. Padahal dua hal
itu merupakan salah dua dari keadaan yang sangat mendukung bagi kita untuk
beraktivitas. Sangat wajar apabila rasul kemudian mengatakan hal tersebut untuk
membuat sahabat-sahabatnya berpikir dan menyadari bahwa dua hal itu adalah
sesuatu yang seharusnya mereka manfaatkan dengan maksimal.
Dapat kita lihat bahwa dalam menyelesaikan masalah, pada kasus tentang dua
hal ini, rasul berpikir dengan pola berpikir yang sistematis dan cerdas. Beliau
mampu menghubungkan keadaan yang ada dan potensi masalah yang mungkin terjadi
apabila umatnya tidak menyadari bahwa dua hal yang mereka miliki tidak
dimanfaatkan dengan baik, serta mampu merumuskan bagaimana cara mengingatkan
mereka dengan menyampaikan nasihat tersebut. Inilah cara rasul dalam
menyelesaikan masalah yang besar kemungkinan terjadi pada waktu itu. Cara
berpikir seperti ini yang harus kita teladani. Dengan demikian, umat Islam
dapat berkembang, menghadapi dinamika jaman yang kian kompleks dan membutuhkan
sikap yang sesuai, menunjuk rahmat yang memang seharusnya dipancarkan oleh agama
ini. Dengan menggunakan segala potensi diri kita, dari akal hingga petunjuk
wahyu, kita dapat mengatasi masalah dan menjadi rahmat. Sebagaimana yang
dicontohkan oleh rasul pada waktu itu.
Sekian.
[1] صحيح البخاري ٥٩٣٣: حَدَّثَنَا الْمَكِّيُّ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ هُوَ ابْنُ أَبِي هِنْدٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
قَالَ عَبَّاسٌ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ
عِيسَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ سَمِعْتُ
ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ
Shahih Bukhari 5933: Telah menceritakan kepada
kami Al Makki bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Sa'id
yaitu Ibnu Abu Hind dari Ayahnya dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma dia
berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dua kenikmatan yang
sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu
luang." 'Abbas Al 'Anbari mengatakan; telah menceritakan kepada kami
Shufwan bin Isa dari Abdullah bin Sa'id bin Abu Hind dari Ayahnya saya
mendengar Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits di
atas.
[2] Terjemah dari Depag RI.
[3] Al Qashash ayat 17. Terjemah Depag RI.
0 komentar