Ranting-ranting Seroja
11.48.00
*
Di desa kami, ada satu tempat yang sudah lazim dikenal sebagai tempat untuk
berkeluh kesah. Namanya taman Seroja. Tepatnya, pohon beringin besar di taman
itulah yang menjadi tempat untuk bercerita. Namanya Hayat.
Pertama kali Ibu membawaku ke sana ketika aku berumur tiga tahun lebih
sedikit. Gigi taringku baru tumbuh satu, di sebelah kiri. Sementara ibu sudah
berumur 30 tahun. Dia mengajakku ke taman itu untuk bercerita tentang Bapak.
Bapak, kata ibu, sudah lama tidak mengunjungi kami. Pekerjaannya membuatnya
tak bisa membagi waktu untuk keluarganya sendiri. Dia bekerja di tengah laut,
mencari minyak bumi. Bahkan rasa cinta yang berapi-api di antara Bapak dan Ibu
pun tak sanggup membuat Bapak pulang. Tapi untunglah semua berubah ketika Bapak
dipecat dari pekerjaannya itu. Pada akhirnya dia bisa pulang kembali pada kami.
Dengan sesenggukan dia meminta maaf padaku. Aku hanya manggut-manggut pelan.
Sementara ibu, mungkin karena sudah lama memendam rindu, tak ingin tahu apa
yang terjadi pada Bapak selama dia jauh dari kami. Dari pandangan mata Bapak, Ibu
sudah bisa merasakan dan mengetahui apa yang terjadi pada Bapak, pikirku.
Yang penting kamu di sini mas, kita utuh. Katanya. Setelah itu Bapak mulai
merintis karier menjadi penulis; menceritakan kisah-kisah dia alami selama di
tengah laut, dan juga membantu para petani lokal untuk meningkatkan kualitas
produksi tanah kami melalui manajemen yang kompleks.
Semenjak saat itu aku sering bermain di Seroja. Hanya aku seorang diri,
bocah yang rajin bermain ke sana. Selepas pulang dari sekolah, setelah makan
siang disuapi Ibu, aku lekas pergi ke sana. Kawan-kawan pun mulai memanggilku
dengan sebutan ‘Seroja’. Nama yang unik, mengingat aku laki-laki, sementara
nama ‘Seroja’ lebih cocok untuk seorang anak perempuan. Nama itu terus melekat
hingga aku kuliah, bahkan hingga aku bekerja menjadi seorang wartawan perang saat
ini. Aku selalu menggunakan nama itu untuk memperkenalkan diriku, alih-alih
menyebut nama asli pemberian Ibu dan Bapak. Bagiku ‘Seroja’ berarti utuhnya
kembali keluargaku, dan karenanya aku menyukainya.
Pada suatu waktu, aku pulang dari meliput peperangan di Yaman dan Suriah.
Aku pulang bukan karena perang itu sudah usai. Tapi aku pulang karena aku sudah
merindukan rumah. Untungnya kepala direksi menyetujui pengajuan cutiku selama
tiga bulan. Sudah hampir 10 tahun aku ada di luar negeri; melihat peperangan
tiap hari. Aku merindukan malam yang tenang dan hening, yang bermandikan
kesejukan, dan berbalut sajak-sajak dedaunan yang menari di malam hari. Aku
terlalu lelah meliput dan melihat beribu-ribu anak kecil yang terpanggang;
beratus-ratus perempuan muda yang ditawan dan diperkosa; dialog dan pembelaan
dari para kelompok yang bertarung; berjuta-juta misil yang menggempur rumah
penduduk tanpa menyebut salam. Dan mungkin yang lebih dalam dari itu semua; aku
merindukan Ibu dan Bapak, dan tentu taman Seroja itu sendiri.
Saat pulang, aku memutuskan untuk mampir terlebih dahulu ke taman Seroja.
Mumpung hari masih pagi, pikirku. Aku ingin melihat embun-embun yang sejak dulu
selalu tumbuh dengan genit di sela-sela rumput tanah Seroja.
Bapak dan Ibu, menurut penuturan Ibu, pertama kali juga bertemu di sini.
Mereka berkenalan di taman ini, sewaktu masih kecil. Maklum, dua-duanya asli
orang sini. Ayah sempat pergi ke luar desa untuk menuntut ilmu sampai
mendapatkan kerja, sementara ibu tetap menetap di desa ini untuk meneruskan
cita-citanya mendidik bocah-bocah desaku; yang sudah banyak diserang dengan
budaya-budaya barat.
Entah sejak kapan taman ini menjadi tempat orang mengeluarkan apa yang
mereka pendam dalam hati. Bila ada orang yang ingin meluapkan isi hatinya, maka
dia akan pergi ke sebuah pohon paling besar di taman ini, lalu berbisik pada
pohon di sana. Orang desa kami sejak dulu percaya bahwa perkataan kami akan
didengar oleh pohon itu, kemudian akan ia simpan. Simbol dari luapan hati kami
adalah pada daun-daun, buah, dan juga cabang-cabang batangnya. Satu cabang
batang berarti satu orang, dedaunan berarti jumlah keluhan yang ia rasakan,
buah yang muncul berarti kepuasan yang muncul pada orang itu setelah meluapkan
perasaan kesal mereka. Daun-daun itu pada awalnya berwarna hijau, seiring
dengan hilangnya perasaan terpendam pada sang empu, daun itu akan menguning.
Cabang itu akan terus tumbuh selama sang empu yang memiliki curahan hati itu
hidup, dan bila dia mati, maka cabangnya juga akan gugur, bersama dengan dedaunan
dan buah-buah yang muncul pada cabang batang tersebut. Begitulah cerita yang
disampaikan oleh ibu padaku dari nenek.
Apakah Ibu dan Nenek juga punya cabang di sana?
Tentu. Hanya kamu yang belum memiliki cabang di
pohon itu, Rangga.
Begitulah percakapan yang masih kuingat.
Pohon itu sekarang tumbuh semakin rindang. Batangnya semakin besar,
kulitnya semakin keras. Akarnya juga sudah terlihat dari permukaan, besar dan
membujur seperti rudal yang dijatuhkan dari pesawat. Rantingnya semakin banyak,
daunnya juga semakin rindang. Sementara
buahnya, sepertinya juga semakin banyak. Setidaknya begitu bila kuperhatikan
sekilas dari banyaknya bakal buah yang terjatuh di tanah.
Aku menyentuh kulit batang pohon itu. Terasa kasar, dan kokoh. Semoga
liburan kali ini menyenangkan, aku mengelus kulit pohon itu sekali lagi.
Berharap dia betul-betul mendengarku.
*
Aku sampai di rumah tepat pada pukul sembilan pagi. Ibu sedang mencuci
sementara bapak sedang berada di halaman belakang; seperti kebiasaannya sejak
dulu, mengisi TTS sambil mengamati Ibu. Sesekali dia juga membantu ibu membilas
baju. Umur mereka sudah sama-sama kepala lima sekarang.
“Rangga?!”
“Rangga?!”
Kata Bapak dan Ibu hampir bersamaan saat aku datang. Melihatku, Ibu segera
mencuci tangannya lalu berlari ke arahku yang masih terdiam sambil tersenyum di
depan pintu rumah. Bapak dengan cekatan meminum jus mangganya sampai habis dulu,
baru berlari mengikuti ibu.
“Aku pulang, Pak, Bu.” Kataku pelan.
Sedetik berikutnya bisa ditebak; kami berpelukan, dan melepas rindu.
Berikutnya Ibu dan Bapak mengajakku ke halaman belakang, untuk membantu mereka
mencuci. Duh, awalnya berpikir aku akan dijamu dengan jamuan yang spesial,
ternyata bapak dan ibu sama saja seperti dulu; tidak terlalu mementingkan
seremonial-seremonial semacam itu. Namun bukan berarti mereka tidak menunggu
cerita-ceritaku. Bahkan pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah,
“Sesibuk apa kau di sana, hingga tidak pernah menelepon rumah?”
Maka mulailah aku menceritakan kepada mereka, apa yang kulakukan di Timur
Tengah terakhir kali sebelum aku pulang. Aku menceritakan anak-anak yang mati
kelaparan karena kelangkaan makanan di Yaman; serangan rudal Saudi Arabia yang
menimpa pelabuhan tempat penyediaan makanan di lepas pantai Yaman; militer
Suriah yang mengepung kota Aleppo untuk memberangus oposisi; sebagai bonus, aku
juga menceritakan kisah yang dibawa oleh temanku tentang para nelayan yang
tertipu dan terpaksa menjadi budak, selama 30 tahun mereka mengembara sebagai
budak dan akhirnya baru bisa pulang tahun lalu; dan cerita yang lain, yang
terlalu banyak untuk bisa kuceritakan dalam satu jam. Tidak ada cerita yang
mampu membuat mereka gembira. Mereka malah cemberut, menggeleng-gelengkan
kepala, dan kadang kala menepuk jidat mereka sendiri. Tapi bapak dan ibu tahu,
pekerjaanku memang bukan untuk meliput kebahagiaan.
“Aku menelepon sebulan dua kali lo, Bapak Ibu tega sekali melupakannya.”
*
“Pohon itu katanya akan ditebang, Ngga. Kemarin bapak rapat sama Pak Kades
dan warga lain, katanya ada rencana dari pemerintah daerah untuk membangun
taman yang lebih modern. Pembangunannya menyeluruh, termasuk mengubah tata
letak pohon yang tumbuh di taman.”
“Loh, apa warga desa mengizinkan Pak?”
“Kalau sekedar membangun ulang taman itu, kami ya bersedia saja. Tapi
rencana pembangunan yang lain, termasuk menjadikan tanah gagamit sebagai
tempat penginapan, menghancurkan pohon Hayat itu yang kami tolak.”
Aku meminum teh yang dibuatkan oleh ibu pelan-pelan, sambil menyelami
maksud perkataan bapak.
“Memangnya pengunjung desa ini semakin ramai apa Pak?”
Bapak membenahi kacamatanya yang turun ke bawah.
“Kata Pak Kades begitu. Banyak wisatawan yang terpikat panorama desa kita, sunrise-nya,
dan banyak lagi yang lain.”
“Pegunungan Semalawaru ini memang indah. Ibu pernah lihat di
internet, desa kita ini masuk sepuluh besar destinasi pariwisata baru yang
menawarkan keindahan pemandangan gunung paling keren sedunia!”
“Jadi mungkin karena itu, mereka ingin menarik uang lebih banyak lagi
melalui perombakan desa kita.”
“Termasuk dengan mengorbankan pohon Hayat?”
Bapak dan ibu mengangguk. Sepertinya liburan ini tetap akan menarik.
*
Salah satu doktrin ekonomi pembangunan yang pernah kupelajari, adalah
memanfaatkan sektor teknologi dan pariwisata untuk meningkatkan kemampuan
produksi. Manusia secara alamiah membutuhkan tempat untuk menyegarkan jiwanya
dari kepenatan aktivitas sehari-hari, dan pariwisata ada untuk memenuhi itu.
Alam karenanya diolah sedemikian rupa agar mampu menghadirkan pengalaman
penyegaran jiwa yang paling maksimal; kemudian mereka yang ‘memiliki’ daerah
pariwisata itu yang akan mendapatkan keuntungan. Uang mengalir, ke dalam
saku-saku mereka.
Besok kita akan menemui kepala desa. Kita tuntut
agar mereka tidak menyentuh tanah ‘gagamit’ dan pohon ‘Hayat’ sedikit pun.
Begitu yang kudengar dari Ali, sahabat karibku yang lahir dan besar di desa
ini. Perawakannya gagah, layaknya Soekarno. Pidatonya berapi-api dan mampu
menggetarkan jiwa siapa pun yang mendengarkannya. Sementara aku, lebih mirip
Widji Thukul. Kami sama-sama kurus; dia kurus karena harus kucing-kucingan
dengan pemerintah Orde Baru, sementara aku kurus karena harus berlarian
menyelamatkan diri ketika tentara ISIS, Jabhat Fateh al-Sham, Boko Haram, dan
kelompok-kelompok lain yang tahu aku sedang merekam aksi-aksi mereka,
mengejarku dan mengincar leherku untuk dipenggal. Aku tak ingin bernasib
seperti wartawan-wartawan lain yang terpenggal lehernya di tangan algojo
mereka.
Kamu ikut?
Ali menawariku, sambil mengarahkan kotak rokoknya padaku.
Aku mengangkat tanganku, untuk menolak rokoknya tentu saja, bukan untuk
menolak tawarannya berdemo.
Boleh. Tapi posisiku tetap sebagai wartawan.
Ujarku. Dia pun menyetujuinya. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah
saat dia mengomandani demonstrasi membantu warga Kendeng menuntut pemberhentian
pembangunan pabrik semen. Kabarnya sejak jaman Orba, darah pemimpin sudah
mengalir di keluarga Ali sampai pada dirinya saat ini.
Jadilah sekarang aku berada di depan kantor kepala desa, melihat sekelompok
pemuda dan beberapa warga desa lainnya mengerumuni tempat ini. Sepertinya aku
datang terlalu siang, karena dari raut wajar orang-orang yang ada di sini, aku
bisa menebak bahwa proses dialog sudah terjadi di dalam. Aku meminta ijin untuk
masuk ke dalam, namun di tolak oleh satpam. “Sudah penuh Mas, nanti Masnya
malah nggak kebagian tempat,” ujarnya. “Sudah tunggu di depan saja sama yang
lain.”
Aku pun menurut dan kembali ke halaman depan. Di sana aku melihat bapak dan
ibu yang juga baru datang.
“Bagaimana?” Tanya mereka.
Aku hanya mengangkat bahu. Lantas mereka berdua berjalan untuk masuk ke dalam.
Dan entah kenapa, mereka diperbolehkan masuk begitu saja oleh satpam tadi!
Sialan, pikirku.
*
“Dasar penduduk desa kolot, jumud, musyrik semua!!”
Keras sekali makian kepala desa itu. Aku yang ada di perpustakaan desa saja
dapat mendengarnya. Niatku untuk mencari dokumentasi perizinan pembangunan yang
kata sekretaris desa bisa dilihat di perpustakaan, jadi terganggu. Aku jadi
penasaran, dan ingin mewawancarai kepala desa itu. Maka dengan bersegera aku
membereskan barang-barang semacam buku catatanku dan bergegas keluar dari
perpustakaan; setelah sebelumnya mengambil beberapa buku untuk dibaca di rumah.
Untunglah aku membawa kartu wartawanku, dan beberapa perlengkapan untuk
meliput. Maka aku pun menuju ruangan kepala desa. Aku tidak berharap bisa
segera mewawancarainya. Yang penting aku tahu dulu, bagaimana responsnya bila
ada wartawan yang datang.
Tapi sepertinya yang kuduga, begitu aku memperkenalkan diri sebagai
wartawan, pintu ruangan itu langsung ditutup dengan keras. Tepat di depan mukaku.
Dari dulu pemerintah selalu begini. Ketika aku meminta penjelasan mereka merasa
terusik. Seolah-olah, merekalah yang menjadi pihak yang bersalah dalam
kasus-kasus yang hendak kuliput.
Tapi keberuntungan selalu datang pada wartawan, mungkin lebih tepatnya
padaku. Ada seorang perempuan, katanya dia adalah asisten sekretaris desa. Dia
menghampiriku lalu bertanya dengan cantiknya.
“Mas, mau bertanya tentang pohon Hayat dan tanah gagamit di
desa ini ya?”
“Iya mbak. Kalau boleh, mau saya wawancarai mbak?”
Pipinya langsung merona merah. Entah karena malu bertemu pria sekumal dan
sekucel diriku, atau karena sangat bahagia ada yang ingin meliput kasus ini.
Dengan semangat dia pun menganggukkan kepalanya dan mempersilakanku
mewawancarainya.
*
Namanya Aisya. Berjilbab. Umurnya 28 tahun. Berjarak 2 tahun dariku yang
sudah menginjak umur 30 di tahun ini.
Masih lajang. Baiklah, sebenarnya ini tidak terlalu penting. Tapi entah
kenapa kutulis juga di catatanku.
Menurutnya, kenapa Pak Kades menyetujui pembangunan ini adalah untuk menjauhkan
warganya dari praktik-praktik klenik. Menurutnya, pohon Hayat dan tanah gagamit
itu sering dijadikan tempat untuk penyembelihan sesajen, pengundian nasib,
bahkan juga sering kali ditemukan bangkai di sana; katanya bangkai untuk tumbal
agar orang yang kaya di desa kami semakin kaya. Tanah gagamit sebenarnya
adalah daerah mata air yang banyak ditumbuhi tanaman-tanaman dan juga terdapat
sumber mata air Andaswaru yang biasa digunakan warga desa ini untuk
beraktivitas. Letaknya di atas bukit Gandaluwung. Dari situ kita memang
bisa melihat pemandangan yang luar biasa cantiknya. Selain itu juga sangat
luas.
“Memang orang yang paling kaya di desa ini siapa, Mbak Aisya?”
Aisya hanya tersenyum kikuk.
“Mungkin Pak Broto, Mas. Mas Seroja tahu?”
Aku memang menyebutkan kalau aku lebih suka dipanggil Seroja dibandingkan
Rangga. Aku menggeleng. Lalu dia menceritakan tentang Pak Broto.
Katanya dia pengusaha yang sukses; punya hotel banyak, pabrik tekstil,
restoran, sampai toko-toko kecil miliknya banyak tersebar baik di kabupaten
ataupun sampai ke luar kota. Nasibnya mujur, bahkan bisa mengalahkan Bu Yunarti
yang sudah lama berkiprah di bidang politik untuk menjadi bupati di kabupaten
kami. Macam nasib Trump yang bisa mengalahkan Clinton.
“Jadi bukan untuk meningkatkan pendapatan daerah?”
Aisya mengangguk.
“Kata Pak Kades kemarin begitu.”
*
“Apa? Klenik?”
Ibu bertanya padaku sambil mengangkat sebelah aslinya.
“Memang ada beberapa orang yang melakukan itu, tapi bukan seluruh warga
desa begitu. Kabarnya sekarang yang dulu mempraktikkan klenik semacam itu sudah
berhenti. Mereka membela lingkungan milik mereka sendiri bukan karena bisa
digunakan untuk pesugihan; tapi untuk menjaga warisan nenek moyang dan
keseimbangan lingkungan, Ngga.”
Ujar Bapak.
“Siapa saja yang melakukan praktik klenik itu memangnya, Pak?”
“Wah, ya kau cari sendiri sajalah. Bapak juga mana tahu, wong mereka
selalu melakukan aksinya di malam hari. Kata Samidi, penunggu taman itu, justru warga sekitar itu juga paling benci
kalau pohon Hayat itu dijadikan tempat untuk ngalap berkah. Seperti
mereka tidak ada Allah saja minta ke pohon. Dari dulu memang nenek moyang kita
mengajari begitu? Kan ya tidak. Hanya kalau ada masalah yang sulit diutarakan,
pergilah ke pohon itu untuk bercerita. Apa kau masih percaya kalau
ranting-ranting dan daun-daun itu mencerminkan jumlah penduduk desa? Kan ya
tidak. Warga juga sudah tahu tentang itu, bahwa itu semua adalah simbol saja.
Maksud nenek kakek kita itu, lingkungan ini harus kita jaga, karena kita
bergantung padanya.”
Aku manggut-manggut pelan.
“Sudah kamu mandi dulu. Ibu sudah menyiapkan air hangat, kalau tidak
sekarang nanti keburu dingin airnya.”
Aku pun mengangguk dan segera bangkit.
“Baik Bu.”
Sembari mengambil handuk tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Oh iya, ngomong-ngomong Aisya itu bukan warga asli sini ya?”
“Oh?! Kamu sudah ketemu Aisya? Bagaimana, cantik kan dia? Tertarik kamu?"
Ujar Bapak, memelintir kumisnya. Aku hanya mendengus pelan.
“Yah Bapak, bukan begitu. Wajahnya tampak asing, padahal harusnya dia adik
kelasku kalau memang asli orang sini.”
“Dia memang bukan asli sini kok. Sebenarnya dia berasal Jakarta Selatan,
tapi katanya lahir di Bandung. Jadi memang bukan orang sini. Tapi lumayan itu
Ngga kalau dibuat istri. Orangnya rajin, ulet, kerja keras, dan baik hati
sekali. Dia sudah terkenal ramah dan sering membantu orang sini.”
“Oh begitu.”
“Buruan Ngga kalau mau mendekati, lumayan lo bibit-bebet-bobotnya. Dulu
waktu jamannya SMA sama kuliah saja getol banget cari perempuan sampai kau lupa
belajarmu, nah ini sudah waktunya cari istri malah dilupakan.”
Aku tak mengomentari perkataan Bapak. Kutinggal saja mereka berdua yang
tersenyum-senyum jahil meledekku sepuasnya.
*
“Pak Kades tetap saja ingin melanjutkan pembangunan itu, Ngga. Dia masih
kekeh sepakat sama pemerintah daerah.”
“Apa izinnya sudah dikeluarkan sama pemerintah daerah?”
Ali membuang satu rokoknya, lalu mengambil rokok baru. Dengan kakinya dia
menginjak puntung rokok yang barusan dia buang.
“Nah ini yang jadi masalah. Lagi-lagi seperti kasus dulu-dulu. Tiba-tiba
izin sudah keluar. Padahal studi AMDAL saja belum dilakukan. Tidak ada kabar
apapun dari pemerintah kalau mereka akan melakukan pembangunan secara resmi.
Inilah peluang yang bisa digunakan untuk melawan di PTUN!”
“Kamu sudah memikirkan sejauh itu?”
“Tentu saja,” ujar Ali. “Kalau lewat jalan baik-baik tidak bisa, maka ya
lewat jalur hukum.”
Aku bisa melihat keseriusan Ali dari caranya mengepalkan tangan di atas
meja.
“Kamu sudah dengar kalau menurut pemerintah desa, tanah gagamit dan
pohon Hayat penting untuk diubah untuk menghilangkan praktik klenik di
sana?”
“Klenik? Klenik dengkulmu[1]! Tidak
ada klenik-klenik semacam itu! Kami menjaga mereka berdua karena mereka adalah
warisan leluhur, tanah yang harus dijaga dengan baik. Gusti Allah memerintahkan
kita untuk mengelola alam dengan seimbang, itu yang sedang kami lakukan. Kami
sedang berupaya untuk menjaga agar pembangunan pariwisata tidak dilakukan di
daerah itu. Cuma itu, bukan berarti kami menolak rezeki! Bisa-bisanya mereka
membuat propaganda semacam itu.”
“Sudah kamu sampaikan hal ini ke kepala desa?”
“Sudah berkali-kali! Tapi mereka tetap bergeming saja. Bahkan mereka punya
foto-foto orang yang katanya melakukan pesugihan di tempat-tempat itu. Kami
juga menolak percaya, orang gambarnya tidak jelas, orang yang difoto tidak
jelas siapa, dan lebih aneh lagi dari siapa foto itu didapatkan juga tidak
dibuka dengan jelas oleh pihak pemerintah. Pastilah mereka menjadikan itu
alasan agar bisa mengubah taman Seroja dan tanah gagamit supaya sesuai
dengan model futuristik yang mereka kehendaki, yaitu mendirikan pabrik semen
juga nanti.”
“Loh sebentar-sebentar, apa iya mereka mau membuat pabrik LI?”
Ali memandangku tajam.
“Tidak secara tertulis. Tapi aku curiga mereka punya niat begitu.”
Malam itu kuhabiskan di pelataran rumah Ali, bersama warga desa yang lain, ngerumpi
masalah pembangunan ini.
*
“Rangga!”
Ibu memanggilku dengan keras. Aku yang sedang mengamati pohon mangga di
belakang rumah jadi terkaget-kaget. Padahal hari masih begitu pagi.
“Ada apa sih Bu? Teriak begitu?”
“Ada mayat! Ada bangkai manusia banyak sekali!”
“Hah?! Ada yang dibunuh Bu?”
Ibu mengangguk dengan panik.
“Iya, di bawah pohon Hayat terdapat banyak mayat! Cepat lihat!”
Kutinggalkan mangga yang tidak kunjung berbuah itu untuk segera melihat apa
yang sebenarnya terjadi.
*
Tidak ada kata yang bisa melukiskan kekhawatiran dan ketakutan warga saat
itu dengan tepat. Anak-anak dipulangkan lebih cepat, polisi kabarnya cepat ditelepon.
Beberapa wisatawan bahkan bergegas pulang karena takut akan ada apa-apa di
sini. Belum ada konfirmasi apapun, tapi isu sudah bermunculan. Mulai dari
tumbal pesugihan, ‘penunggu’ yang marah, sampai teori konspirasi macam flat-earth
tersebar ke mana-mana. Mungkin karena itulah birokrat desa segera
mengumpulkan seluruh warga agar kepanikan bisa segara dikontrol.
Siangnya para warga berkumpul di balai desa untuk membahas peristiwa
mengerikan yang baru saja terjadi. Ternyata memang ada banyak bangkai yang tadi
pagi ditemukan di bawah pohon Hayat. Jenisnya beragam, dari mayat bayi,
sampai mayat laki-laki dan perempuan dewasa. Ada juga mayat ayam, kambing, kucing
dan lain sebagainya. Tentu saja hal ini menguatkan tuduhan adanya praktik
klenik di pohon Hayat. Bahkan di tanah gagamit juga katanya
ditemukan hal yang serupa. Mayat-mayat itu ditemukan dalam bentuk yang tragis.
Terlalu sadis untuk kulukiskan di sini. Tapi yang jelas, masih lebih ngeri
pemandangan yang sehari-hari kulihat di medan perang. Beberapa mayat yang ada
sempat kulukis di buku catatanku. Kebiasaan ini membantu untuk mengingatkan
padaku betapa berharganya hidup yang kupunya ini.
Dengan cekatan aku mengamati dan mencatat hal-hal yang kuanggap penting
dalam pertemuan pagi ini. Ali dengan semangat berapi-apinya mengutuk siapa pun
yang melakukan perbuatan itu. Namun secara tegas dia juga menyatakan bahwa pelakunya
tidak mungkin warga desa asli sini, karena hal itu bertentangan dengan norma
yang mereka miliki. Atau kalaupun pelakunya warga desa sini, pasti mereka yang
tidak ingin menjaga lingkungan dan ingin mendapatkan keuntungan dari kejadian
tadi. Aku bisa menebak, maksud pernyataan Ali adalah bahwa yang melakukan itu,
kemungkinan besar adalah pemerintah yang ingin sekali mencabut pohon Hayat dan
membangun hotel atau vila di tanah gagamit.
“Ibu, Bapak, mohon tenang dulu ya. Kita cari sama-sama siapa yang melakukan
kegiatan tadi. Mohon tenang ya, diredakan dulu emosinya, mari pikirkan
baik-baik bersama ya” ujar Aisya. Nampaknya dia jadi moderator di pertemuan
kali ini. Warga yang tadinya riuh dan saling tuduh menuduh perihal pelakunya
siapa, mulai tenang kembali. Saat ini dia tak nampak seperti Aisya yang
kuwawancarai kemarin. “Sekarang tenang dulu ya, airnya silakan diminum.”
Aku menghampiri Aisya dari tepi. Dia tampak tidak memperhatikanku, dan
fokus untuk menenangkan warga. Sementara Ali dan Pak Kades terlihat berdialog
dengan ulet. Aku berharap mereka tidak beradu tinju di sini.
Beberapa saat berjalan, akhirnya pertemuan itu diakhiri dengan kesepakatan
bahwa desa akan membentuk tim khusus untuk menyelidiki siapa yang bertanggung
jawab atas kejadian tadi pagi. Melihat ini, aku jadi teringat mas Darmadi.
Beberapa saat yang lalu dia mengirimkan padaku kisahnya berhadapan dengan
Adimas Kanjeng, orang yang katanya bisa menggandakan uang di daerah tempatnya
bertugas sebagai asisten pemerintah di bidang pengembangan daerah. Benar-benar
cerita yang menarik, mengingat dia harus berhadapan dengan sebuah padepokan
yang punya pengikut ribuan orang. Beruntung dengan kecerdikannya yang sudah
tidak lagi kuragukan, dia berhasil membuat orang menyadari kesalahan percaya
pada Adimas Kanjeng tersebut.
Akhirnya Aisya pun menutup pertemuan itu, Pak Kades dan Ali kemudian masuk
ke kantor desa untuk mendiskusikan lebih lanjut tim yang akan mereka bentuk.
Mereka terlihat seperti golongan muda dan golongan tua. Mirip sekali waktu golongan
muda ingin segera proklamasi sementara yang tua masih mengedepankan diplomasi
dengan pihak lawan. Aku menghampiri Aisya yang masih melengkapi berkas-berkas
di meja pertemuan.
“Boleh kubantu?” tanyaku seramah mungkin.
“Eh? Mas Rangga? Eh, maksud saya Mas Seroja.” Kata Aisya sambil membenahi
berkas-berkas itu. Entah kenapa dia terlihat gugup sekarang.
“Rangga saja juga tak apa kok,” balasku. “Kalau boleh tahu, apa tidak ada
dugaan sama sekali dari pihak desa terkait masalah penemuan mayat itu?”
Aisya menggeleng pelan.
“Sepertinya tidak ada Mas.”
“Sama sekali?”
Dia mengangguk.
“Pak Kades tadi marah besar, kami juga ikut marah besar melihat apa yang
terjadi di pohon Hayat dan tanah Gagamit. Tidak disangka ada
orang yang setega itu. Selain pembunuhan, ini juga membuat taman Seroja dan
tanah gagamit jadi kotor. Akibatnya wisatawan pada ketakutan semua.”
“Sudah menghubungi polisi?”
“Sudah. Kalau tidak salah nanti polisi akan membantu penyelidikan ini, tapi
dari pihak desa, sebagaimana Mas dengar sendiri, juga akan membentuk tim
khusus.”
Aku merapikan berkas-berkas itu lalu membantu Aisya memindahkannya ke ruang
berkas, tepatnya di kantor sekretaris desa.
“Pak Sekdes mana?” tanyaku.
“Oh, beliau sedang keluar desa mewakili Pak Kades untuk koordinasi dengan
pemerintah daerah. Mungkin beberapa hari ke depan pulang.”
Aku melihat ruangan ini tampak tertata dengan rapi. Buku-bukunya tersusun
dengan rapi, meja dan lantainya pun tampak bersih. Di sudut ruangan ini
terdapat brankas untuk menyimpan berkas-berkas pertemuan penting seperti yang
barusan dilakukan.
“Hmm... Sudah lama kerja di sini Dek?”
Aisya mengangguk pelan. Sengaja kuganti memanggilnya dengan Dek, setelah
sebelumnya dengan ‘Mbak’. Tidak enak menyebut orang yang berada di bawah umurku
dengan sebutan ‘Mbak’.
“Ya kurang lebih 4 tahunan Mas. Kok Mas ke sini lagi? Apa masih ditugaskan
untuk meliput di sini?”
“Oh. Tidak, aku memang tinggal di desa ini kok.”
Aisya nampak tak percaya.
“Wah, kukira kamu orang luar desa Mas.”
Pembicaraan kami mungkin akan berlanjut bila seseorang tidak segera datang
dan memanggil Aisya menuju ruang rapat. Setelah saling berpamitan, aku kembali
ke rumah, untuk segera pergi lagi ke taman Seroja. Waktu masih panjang hari ini.
Aku ingin melihat tempat kejadian perkara lagi.
*
Saat aku kembali, polisi sudah bersiaga di tempat itu. Sepertinya aku tidak
bisa berbuat banyak karena tidak ada lisensi yang bisa membuatku melakukan
interogasi pada petugas yang berwenang. Investigasi juga sedang berlangsung.
Tak ingin sia-sia ke sini, aku berusaha mencari Pak Samidi, orang yang disebut
bapak penunggu tempat ini. Aku mencarinya di tempatnya biasa mangkal. Di dekat
gubuk di ujung barat, kata Bapak. Maka aku pun berjalan ke sana. Di situ,
kulihat seorang pria kurang lebih berumur 50an seperti Bapak yang sedang giat
mencangkul. Di pinggir sawah itu terdapat banyak bibit yang mungkin akan ia
tanam. Sempat-sempatnya bapak ini mau menanam sehabis ada pembunuhan, pikirku.
“Pak Samidi?”
Dia menoleh padaku. Tatapan matanya awas.
“Iya?”
“Saya Rangga Pak, anaknya Pak Slamet. Masih kenal saya Pak?”
Tanyaku sambil tersenyum.
Dengan segera dia menyambut tanganku terlebih dulu, tapi dari raut wajahnya
aku bisa merasakan bahwa dia masih tidak ingat padaku.
“Yang dulu sering main di sawah membantu Bapak macul, lalu kakinya
terkena pacul itu, Pak. Ingat?”
Tiba-tiba dia tersenyum.
“Woooo! Mas Rangga! Waduh lama tidak ketemu Mas. Jadi lupa!”
Beliau tertawa dengan renyah.
“Hahaha. Iya Pak, saya bekerja di luar kota.”
“Oh begitu? Sekarang liburan apa bagaimana?”
“Ya bisa dibilang begitulah Pak. Boleh saya ajak Pak Samidi ngobrol-ngobrol
kan ya?”
“Woh, tentu Mas! Saya justru senang ada teman ngobrol! Tadi pagi
benar-benar menakutkan sekali buat saya. Siapa sangka ada mayat di taman yang
saya jaga ini.”
Pembicaraan kami pun berlanjut. Dari awalnya saling membicarakan masa lalu
yang kami habiskan di Seroja, sampai akhirnya, sesuai tujuan awalku, bertanya
tentang kasus pembunuhan dan pembuangan mayat di tanah gagamit dan pohon
Hayat yang baru saja terjadi.
*
Dari Pak Samidi, aku mendapatkan banyak informasi penting.
Pertama berkaitan dengan jumlah dan identitas mayat yang ditemukan. Korban
yang ditemukan semuanya berjumlah sekitar 30 orang. Tentu jumlah yang luar
biasa. Mayat-mayat itu terdiri dari 10 laki-laki dan 10 perempuan dewasa,
sementara sisanya 3 bayi perempuan, 3 bayi laki-laki, 2 anak laki-laki dan 2
anak perempuan. Yang jelas ini bukan pekerjaan satu orang saja, pikirku.
Apalagi menurut penuturan polisi sore harinya, mayat-mayat itu baru meninggal
kurang lebih 24 jam dari pertama kali ditemukan. Artinya, mereka semua baru
saja dibunuh satu hari sebelumnya. Seluruh warga desa ini, sama sekali tak ada
yang mengenal mereka. Data administratif yang ada di desa ini tidak dapat
membantu banyak. Tes DNA sekalipun tidak akan membantu karena data DNA
orang-orang di negara ini belum tersinkronisasi dengan baik. Dengan demikian,
satu-satunya dugaan yang bisa diajukan adalah mereka merupakan orang luar desa.
Membunuh satu hari sebelumnya, kemudian memindahkan orang itu ke tempat ini,
tentu butuh usaha yang luar biasa.
Pak Samadi yang berjaga di malam hari pun, katanya tidak melihat ada
semacam truk atau alat pengangkut lain yang menyambangi taman Seroja malam
harinya. Tidak ada orang lain yang menunggu taman Seroja karena memang
destinasi utama desa ini bukan di taman itu. Jadi satu-satunya saksi yang bisa dipercaya,
ya hanya beliau semata. Sepertinya polisi akan menggunakan informasi Pak Samidi
ini untuk melanjutkan penyelidikan berikutnya. Tapi penyelidikan, bisa
kupastikan, akan memakan waktu yang cukup lama.
*
Malam itu Ali mendatangiku. Dengan membawa sebuah kertas yang kemudian dia berikan
padaku.
“Apa ini?”
“Formulir pendaftaran tim khusus bentukan desa. Kau tidak ingin mendaftar?”
Aku melihat kertas putih yang disodorkan Ali padaku. Kulihat-lihat
sebentar, sebelum memutuskan untuk menolak tawarannya.
“Tidak. Aku ingin mengamati dari jauh saja.”
“Ayolah, sia-sia kau ada di sini kalau tidak membantu kami.”
“Aku selalu terbuka bila kau meminta bantuanku. Hanya saja aku menolak bila
harus bergabung dalam sebuah tim seperti ini.”
Ali menghela nafas panjang. Entah kenapa semangatnya untuk mengajakku tiba-tiba berubah begitu saja.
“Karena kejadian ini, para wisatawan, anak-anak, orang tua pun, merasa
khawatir. Kami ketakutan, Ngga.”
Aku tidak berkomentar apa-apa. Kubiarkan ia menikmati rokoknya.
“Tapi sebenarnya aku sedikit bersyukur ada kejadian ini. Paling tidak
rencana pembangunan yang akan dilakukan di desa ini pasti akan mundur, dan semoga
saja gagal. Aku yakin pihak pengembang tak akan repot-repot membuat jasa di
tempat yang pernah terjadi pembunuhan berdarah.”
“Menurutku justru ini bisa saja menjadi daya tarik baru, wisata dengan
nuansa mistis,” ujarku. “Tapi memang, pasti rencana pembangunan akan mundur.”
“Ya. Hanya saja aku tidak bisa memaafkan orang yang membunuh lalu
menempatkan mayat-mayat itu di tempat-tempat yang selalu kami jaga sejak dulu.
Aku merasa harga diriku terinjak-injak.”
Aku mencoba untuk memahami apa yang dirasakan oleh Ali. 10 tahun tak ada di
sini sepertinya membuat ikatan perasaanku dengan desa ini melemah.
Tak lama setelah itu, seorang polisi datang mencari Ali dan kemudian
memintanya untuk kembali ke kantor desa.
Ali pun berjalan mengikutinya; dari wajahnya bisa kulihat lelah yang
berkumpul memenuhi batinnya.
*
Malam itu aku malah tidak bisa tidur. Kasus ini diam-diam menggangguku. Aku
memutuskan untuk berjalan-jalan mengitari desa. Aku yakin suasana desa cukup
ramai. Semua mayat sudah dipindahkan oleh polisi, namun banyak polisi yang
masih berjaga-jaga. Kasus seperti ini adalah yang pertama terjadi di desa ini.
Tapi sekalipun bukan yang pertama, aku yakin warga tetap akan khawatir.
Jalanan malam itu, ternyata tidak seperti yang kukira, relatif sepi. Hanya
daerah sekitar kelurahan yang ramai karena disulap jadi pos polisi, sementara
taman Seroja masih tampak di jaga oleh garis polisi. Pak Samadi kulihat juga
tidak lagi berada di gubuk itu. Sepertinya dia ikut pindah ke kelurahan untuk
sementara waktu. Mungkin karena ketakutan, seperti yang dia ungkapkan tadi
waktu bicara padaku.
Saya takut sekali mas sebenarnya, jadi nggak bisa
tidur sama sekali. Khawatir kalau-kalau saya yang berikutnya jadi mayat.
Taman Seroja malam itu benar-benar sepi. Hanya lampu-lampu di pinggir taman
yang menjadi teman pohon Hayat malam itu. Aku memandang pohon Hayat lekat-lekat.
Kemudian aku mendekat padanya. Sampai di batas garis kuning polisi aku
berhenti.
Aku masih tetap melihatnya berdiri dengan kokoh.
“Hai, lama tak bertemu kawan.” Kataku. Entah kenapa aku ingin berbicara
saja dengannya.
“Aku jadi ingat terakhir kali aku bermain di sini. Waktu itu hujan, dan aku
berteduh di bawahmu. Siapa sangka, sekarang kau juga memberikan kesejukanmu itu
pada mayat-mayat.”
Aku menatap ke sekeliling, memastikan tak ada yang melihatku berbicara
dengan pohon. Bisa-bisa aku dikira gila.
“Sebenarnya selama 10 tahun hidupku sudah terlalu dekat dengan mayat, kau
tahu? Di Yaman, Libya, Arab, Nigeria, dan banyak lagi, keseharianku selalu
bersentuhan dengan mayat, atau orang yang akan menjadi mayat. Persis seperti
yang pagi tadi berteduh di bawahmu. Dari anak-anak hingga mereka yang sudah
tua. Aku merasa ke mana pun aku melangkah, malaikat pencabut nyawa selalu menyertaiku.
Kuharap kali ini tidak ada lagi mayat-mayat yang bermunculan. Aku harap Tuhan
membantu kami dalam menyelesaikan masalah kali ini.”
Aku merasa kedinginan; malam sepertinya sudah semakin larut.
“Sepertinya malam sudah terlalu dingin. Kalau begitu aku akan pulang.
Baik-baiklah. Semoga tidak ada lagi mayat yang berteduh di bawahmu besok. Dan semoga
kau tidak jadi ditebang. Kau berarti penting bagi warga desa ini.”
Ujarku mengakhiri pembicaraan singkat itu. Aku pun segera melangkah untuk
pulang. Sembari berjalan, samar-samar aku bisa mendengar suara ranting yang
tumbuh dari pohon itu.
Dan malam pun berlalu.
*
[1]
Umpatan khas orang Jawa, biasa
diucapkan bila sudah kesal dan marah, serta untuk mencela perbuatan orang lain.
0 komentar