Kurban

10.46.00

Didapatkan dari : www.fotothing.com/foxhouse/photo/8048c3c67608c8748464ce383c4af5c9/

*

Sejak beberapa hari yang lalu, jalanan di sekitar ITS, Mulyosari, Kenjeran, dan sekitarnya, sudah mulai dibanjiri oleh para pedagang sapi ataupun kambing kurban. Lapak-lapak dagang yang tidak terpakai, atau wilayah kebon yang ada di pinggir jalan raya ditebangi dan ditata sedemikian rupa menjadi sebuah ‘pasar bebas’ mini untuk menjual kambing dan sapi-sapi kurban itu. Di satu sisi efek dari momentum hari kurban dimanfaatkan dengan sukses oleh pasar untuk menarik investor agar membiayai program seperti kurban untuk daerah-daerah terpencil. Memang, umat Islam akan segera menyambut hari yang penting, hari raya Kurban. Umat Islam beramai-ramai mempersembahkan pengorbanannya untuk Allah.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan dari Idul Kurban ini bila bergantung dari pengalaman hidup saya. Waktu kecil saya hanya biasa melihat-lihat saja, prosesi penyembelihan kambing-kambing dan sapi-sapi yang dengan ikhlasnya disembelih, dari kejauhan. Sejak SD hingga SMA saya tidak pernah satu kalipun memegang pisau atau kapak untuk menyembelih hewan kurban. Sekarang saya jadi menyesal, karena tidak memiliki skill menyembelih hewan. Duh, apa kata dunia. Tapi cukup sampai di sini saya bermelo-melo, mari kembali fokus ke hari raya Kurban. 

Pada umumnya hari raya ini dilekatkan dengan kisah dua Nabi yang terkenal, lebih terkenal dari Donald Trump atau Hillary Clinton yang sedang pada sibuk kampanye, yaitu Nabi Ibrahim dan Ismail. Secara singkat, kisah tentang beliau berdua dikisahkan dalam beberapa surat, salah satunya dalam As-Saffat ayat 100 hingga 107:

(Ibrahim berdoa) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

Ismail merupakan anak pertama Ibrahim. Ibrahim memang sudah lama sangat mengharapkan seorang anak. Sudah sewajarnya bagi seorang laki-laki mengharapkan adanya seorang anak yang akan menjadi penerusnya, menyampaikan risalahnya, menggantikan posisi sebagai kepala keluarga, dan seterusnya. Oleh karenanya Ibrahim pun berdoa, meminta anak kepada Allah, agar dia dikaruniai seorang anak. Satu saja nggak papa deh, mungkin begitu. Gayung pun bersambut, lahirlah Ismail yang ternyata dalam perkembangannya dari yang masih chubby-chubby sampai remaja menjadi anak yang sesuai dengan harapannya. Salah satu sifat yang dimiliki Ismail, sebagaimana disebutkan oleh Allah, bahwa dia adalah seorang anak yang amat sabar. Memiliki anak yang shaleh seperti itu, tentu sangat menggembirakan bagi seorang ayah. Lantas apa gerangan yang membuat Allah memberikan perintah untuk menyembelih Ismail? Apakah Allah iseng saja ingin menjahili Ibrahim?

Tentu tidak, pasti ada sesuatu yang mampu menjadi pelajaran bagi kita. Untuk bisa memahami hikmah dari kisah Ibrahim dan Ismail, mau tidak mau menurut pandangan saya kita harus memahami konteks yang melingkupi kondisi saat itu, sehingga dapat diketahui mengapa Allah menyuruh Ibrahim menyembelih Ismail. Salah satu masalah yang mungkin muncul adalah adanya kemungkinan kecintaan Ibrahim terhadap Ismail tersebut sudah terlalu tinggi, bahkan mungkin hampir sama atau setidaknya mendekati kadar cinta Ibrahim terhadap Allah. Di satu sisi, memang dapat dipahami bahwa kerinduan dan harapan Ibrahim akan seorang anak, sangat mungkin membuatnya mencintai Ismail dengan kadar yang sangat tinggi. Bila sudah sampai pada titik itu, maka kecintaan terhadap Ismail berpotensi untuk menghambat Ibrahim dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan risalahnya. Saya membayangkan misalnya, suatu ketika Ismail sakit, lalu Allah menyuruh Ibrahim untuk berdakwah, terus beliau meminta untuk diberi kesempatan merawat Ismail dulu sehingga dakwahnya terlambat. Tentu saja ini hanya khayalan saya, bukan kenyataan. Tapi setidaknya ada kemungkinan bahwa kecintaan Ibrahim terhadap Ismail itu bisa membuat lemah dirinya dalam jalan perjuangannya menyampaikan risalah ketuhanan.

Maka di sinilah Allah memberikan perintah untuk Ibrahim agar menyembelih Ismail, atau dengan kata lain untuk mengurbankan Ismail. Ada beberapa sudut pandang yang bisa digunakan untuk memaknai ini. Pertama, perintah tersebut adalah media untuk menghilangkan sumber kecintaan yang melalaikan bagi diri Ibrahim. Kedua, perintah itu sebagai ujian untuk menilai apakah Ibrahim akan tetap pada jalan Allah atau dia menyimpang dari jalan Allah. Dari segi pertama dapat kita maknai bahwa salah satu jalan yang ditunjukkan oleh Allah apabila kita sudah terlalu mencintai sesuatu hingga membuat kita mengurangi kadar kecintaan terhadap Allah adalah dengan menghilangkan atau memusnahkan hal tersebut, sehingga kita bisa kembali pada Allah. Kedua, dari sini terlihat bahwa sosok seperti Nabi Ibrahim pun, mendapatkan ujian untuk tetap menilai apakah beliau benar-benar orang yang beriman, sekalipun sebelumnya beliau sudah melalui berbagai banyak cobaan dan membuktikan dirinya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Dia diharuskan menyembelih sesuatu yang sangat dia cintai, yang sudah sangat dia harapkan diwujudkan oleh Allah. Tapi begitu terwujud, rupanya Allah menghendaki bahwa dia harus diambil kembali. Mungkin karena itulah Allah menegaskan bahwa kejadian itu memang benar-benar ujian yang nyata, ujian yang benar-benar sangat berat yang dihadapi oleh Ibrahim.

Namun berikutnya, berkat keteguhan, kesabaran, dan kesadaran yang tinggi bahwa memang Allah adalah sesembahan mereka, maka baik Ibrahim dan Ismail pun melaksanakan perintah tersebut. Namun begitu terbukti bahwa mereka benar-benar akan melaksanakannya, Allah pun membalas mereka dengan menggantikan Ismail dengan seekor sembelihan yang besar, dalam arti Ismail tidak jadi disembelih, dan Ibrahim pun disuruh untuk menyembelih sembelihan yang lain. Hal ini mengarahkan kita pada hikmah kedua, bahwa kurban yang kita lakukan tidak harus menghancurkan apa yang kita cintai hingga dia tidak lagi berfungsi, namun bisa sementara, dalam arti menjauhkan apa yang kita cintai beberapa saat untuk menjaga agar kecintaan yang kita miliki terhadapnya tidak bertambah menjadi cinta yang berlebihan, dan bila sudah kita dapat kembali menemui apa yang kita cintai itu. Sebagaimana Ibrahim setelah peristiwa itu kembali melaksanakan perintah Allah bersama dengan Ismail.  

Sebenarnya kisah pengorbanan atas sesuatu yang dicintai, juga pernah dilakukan oleh Nabi Sulaiman dan ini pun diabadikan oleh Allah di dalam Al Quran. Tepatnya dalam surat Saad, ayat 30 hingga 34:

Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya), (ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore, maka ia berkata: "Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan". "Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku". Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu. Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat.

Sulaiman adalah seorang nabi sekaligus raja yang memiliki kerajaan yang besar. Kuda kemungkinan besar menjadi salah satu hewan yang digunakan untuk mengadakan peperangan, melakukan ekspedisi, ataupun inspeksi ke daerah-daerah yang beliau kuasai. Kuda yang tenang di waktu berhenti dan kuda yang cepat waktu berlalu pada waktu sore, kemungkinan menggambarkan barisan pasukan kuda, atau mungkin barisan kuda-kuda yang dimilikinya saat sedang diarak ke suatu tempat. Barisan pasukan yang teratur dan berbaris, mungkin dapat dianalogikan sebagai sebuah pasukan infanteri, atau mungkin barisan shaf saat kita salat. Barisan yang teratur, gerakan yang teratur dari barisan-barisan itu dapat memunculkan ketakjuban dan hal itu bisa mendorong kita untuk mengaguminya. Pernahkah teman-teman melihat barisan penari yang sangat teratur dalam gerakannya, kemudian kamu takjub melihat keindahan dan keteraturan mereka dalam tarian itu lalu memuji para penari itu? Mungkin seperti itu perasaan yang muncul dalam hati Nabi Sulaiman, ketika melihat barisan-barisan pasukan kuda yang dia miliki. Hingga kemudian perasaan hal itu membuatnya lalai dalam mengingat Tuhan sampai kemudian beliau baru bisa ingat Tuhan saat kuda-kuda itu hilang dari pandangannya. Mungkin yang dimaksud mengingat Tuhan, dalam kasus ini adalah cara beribadah yang menjadi syariat saat beliau menerima ajaran Allah, bentuknya bagaimana tidak perlu dipermasalahkan, yang jelas adalah bahwa kecintaan beliau terhadap kudanya itu membuatnya sampai melupakan diri melaksanakan apa yang seharusnya beliau laksanakan.

Kemudian beliau pun menyadarinya, lalu mengatakan bahwa kuda-kuda itu rupanya melalaikan dirinya, maka bawalah kuda itu biar ku potong kaki dan lehernya (mungkin maksudnya adalah dijadikan pengorbanan). Dari kisah Sulaiman ini menjadi data tambahan bahwa kurban itu perlu dilakukan ketika kita mencintai sesuatu secara berlebihan hingga melalaikan kewajiban yang kita miliki kepada Allah, maka untuk mengatasinya adalah dengan jalan dikorbankan (dihilangkan fungsinya untuk selamanya, dalam hal ini adalah dengan membunuh kuda itu untuk dijadikan persembahan).

Dari sudut pandang etimologi, kurban, secara bahasa artinya adalah persembahan kepada Allah. Bila dihubungkan dengan konteks sejarah di atas, maka persembahan yang diberikan adalah persembahan atas sesuatu yang kita cintai dan berpotensi melalaikan kita dari jalan Allah, yang bisa dilakukan dengan menghilangkan hal itu untuk selamanya, atau sementara. Atau bisa pula dengan merusak fungsinya (membunuh kuda perang, sehingga tidak bisa digunakan untuk perang). Ada satu hal yang menarik dan perlu menjadi perhatian menurut saya, yaitu bahwa apa yang kita korbankan itu adalah sesuatu yang sebenarnya kita cintai.

Unta atau anak laki-laki bagi orang Arab, termasuk pula pada masa Ibrahim, merupakan hal yang sangat valuable atau bernilai, dan wajar bila mereka akhirnya menjadi sesuatu yang dicintai. Unta menjadi teman orang-orang Badui berkelana, khususnya di masa Nabi Muhammad, dan kurang lebih sejak masa Qusai, atau kakek Nabi yang menjadi buyutnya Quraisy, unta sudah difungsikan sebagai teman perjalanan, berdagang, melakukan ghazwah, atau mungkin dalam kondisi khusus berperang. Anak laki-laki juga begitu berharga untuk membantu dalam berdagang ataupun mempertahankan Baninya dari serangan Bani lain, bahkan sebagaimana kisah lahirnya Abdullah, bapaknya Nabi, yang begitu ingin diselamatkan oleh kakeknya agar dia tidak perlu menyembelihnya karena menganggap bahwa Abdullah adalah seorang anak yang begitu bermakna.

Unta di satu sisi juga bisa dilihat sebagai sebuah harta. Orang-orang Arab secara umum sangat ingin menjaga hartanya, bahkan ada sebagian yang menakar timbangan dengan curang agar mendapat keuntungan lebih besar waktu berdagang. Sehingga hal-hal itu mungkin bisa melalaikan mereka dari kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan, sebagaimana terjadi pada masa Abu Bakar ada sebagian orang yang menolak membayarkan zakat, salah satunya karena mereka tidak ingin kehilangan harta mereka. Untuk itulah apa yang dikorbankan pada orang-orang semacam ini berkaitan dengan harta.

Lalu bagaimana dengan kita yang ada di masyarakat modern saat ini? Apakah iya pengorbanan kita dengan satu ekor sapi atau satu ekor kambing itu sudah cukup? Atau jangan-jangan malah kita mengorbankan hal yang sebenarnya tidak layak kita korbankan karena tidak ada unsur kecintaan kita terhadap barang itu?

Untuk menjawab hal ini saya kembalikan pada teman-teman sendiri. Menurut saya pribadi, bila dikaitkan dengan harta, maka cara mengukurnya adalah dengan membandingkan dengan harta kita secara keseluruhan dan apakah ada gelagat kita mencintai harta secara berlebihan. Sejujurnya saya justru menangkap bahwa godaan yang kita temui atau dengan kata lain hal yang sangat mungkin kita cintai secara berlebihan hingga melalaikan diri dari jalan Allah kemungkinan besar berbentuk sangat halus dan kita secara pribadi tidak menyadarinya. Baik itu kecintaan terhadap keluarga, kecintaan terhadap pasangan, kecintaan terhadap sesuatu yang lain. Artinya, dalam pandangan saya, percuma kita berkorban kambing atau sapi kalau apa yang sebenarnya kita cintai secara berlebihan itu tidak kita korbankan. Sehingga saudara-saudara, pemetaan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum anda memutuskan akan berkurban apa. Yohoho...

Namun bukan berarti kita meninggalkan sunah Idul Kurban yang sudah dijalani umat Islam sejak jaman Nabi Muhammad. Tidak, sama sekali tidak. Justru yang saya maksud adalah menjaga spirit pengorbanan yang telah dicontohkan oleh Nabi, dengan memberikan kurban kambing atau sapi, sampai pada titik kita mampu menundukkan kecintaan yang berlebihan terhadap apa yang selama ini kita cintai.

Saya jadi teringat sebuah kisah, kisah fiktif yang terinspirasi dari kejadian nyata dan saya gubah sendiri untuk memudahkan bercerita.

Jadi, ada seorang anak yang mengumpulkan uang sejak dia masih berada di sekolah. Uang-uang itu dia kumpulkan untuk bekal hidupnya kelak di masa depan. Dia ingin kuliah di suatu perguruan ternama. Dia ingin memiliki karier yang bagus sehingga bisa membantu dan menjadi tulang punggung menggantikan kedua orang tuanya yang sudah tua. Pada suatu saat uang itu sudah terkumpul beberapa puluh juta. Dia begitu menghemat harta tersebut hingga akhirnya dia menjadi orang yang pelit dan sulit bersedekah, tidak lagi dia membantu kakek nenek sebelah rumahnya yang ditinggal oleh anaknya sehingga hidup mereka berdua begitu susah. Untuk makan menanti kiriman dari tetangga, tidak ada air bersih karena tidak sanggup membayar listrik atau PDAM. Bila malam datang rumah mereka selalu gelap. Anak itu tiba-tiba tersadar bahwa sebenarnya uang yang dia kumpulkan itu sudah tidak lagi semata-mata untuk kuliahnya, namun sudah mulai muncul kecintaan berlebihan terhadap harta yang dia miliki. Padahal dengan sedikit saja jumlah uang yang berhasil dia kumpulkan itu dia sudah bisa membantu orang tuanya, meneruskan kuliah, dan membantu kakek nenek itu.

Maka dia pun menyedekahkan, hampir puluhan juta dari uang itu untuk sebuah lembaga amal, dan sisanya dia gunakan untuk membantu kakek dan nenek yang tinggal di sebelah rumahnya tersebut. Sekarang setiap kali dia ingin menabung, selalu dia berdoa,

“Ya Allah, aku adalah hamba yang mengabdi untukMu. Aku menabung untuk mempermudah jalanku padaMu. Maka bimbinglah hamba agar tidak menjadikan harta ini menjadi bebanku kelak di hari akhir. Mudahkanlah hati hamba untuk senantiasa mengeluarkan harta yang berlebihan dari tabunganku ini.”

Dan bagi saya, itulah pengorbanan yang sesungguhnya.

Sebagai penutup, semoga yang berkorban tahun ini, semuanya, baik muda ataupun tua, bisa kembali mendekatkan dirinya kepada Allah dan kembali berjuang sesuai dengan kehendakNya.


* Sebagian besar tulisan ini terinspirasi dari hasil diskusi, kuliah, dan pemaknaan pribadi. Diubah pada tanggal 12 September 2016, setelah berdiskusi dengan seseorang yang memberikan masukan terhadap tulisan ini. Terima kasih buat sang pemberi masukan yang malu-malu(in) dan nggak mau disebutin namanya, hahaha. 

You Might Also Like

0 komentar