Mulustrasi hutan. Sumber : harianindo.com |
Sebagai orang Madiun asli, yang lahir dan besar di kabupaten sambil
sesekali main ke kota, saya termasuk orang yang ingin mengembangkan daerah ini.
Mau bagaimanapun, untuk membangun kehidupan masyarakat yang baik, harus dimulai
dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu. Sejujurnya saya punya rasa malu juga
lo karena tidak tahu potensi daerah saya sendiri. Dulu waktu lomba SD, ketika
di tanya di daerah saya ada tempat rekreasi apa, saya hanya ndelongop sambil merem-merem cantik karena tak tahu sama sekali *duh kau hidup di mana saja selama ini nak!.
Kembali ke kata-kata petuah sebelumnya, sama halnya, kalau ingin membangun
negara yang makmur sejahtera, tidak bisa tidak harus dimulai dari sektor yang
paling kecil, kemudian baru ke sektor yang lebih besar. Gampangnya, seperti
kata-kata motivasi itu, untuk mengubah dunia kita harus mulai dari diri
sendiri. Tapi saat ini saya tidak ingin membahas dari unit sekecil itu. Saya
ingin membahas dalam skala yang lebih luas; berupa kecamatan atau desalah,
kurang lebih.
Bagi orang asli Madiun, terutama yang tumbuh besar di daerah timur, tepatnya
di kecamatan Saradan, sudah pasti pada tahu tentang alas Saradan yang lumayan
luas itu. Tepatnya di sekitar daerah Sukowati, Lemahbang, dan sekitarnya. Kalau
dari arah Madiun menuju ke Nganjuk, setelah melewati daerah Kaligunting, di
sepanjang kanan atau kiri jalan teman-teman akan melihat hamparan hutan (dengan
jati yang tumbuh dominan, sepanjang pengamatan saya) yang membentang sepanjang
perjalanan hingga mencapai daerah perbatasan dengan kabupaten Nganjuk. Saat
ini, secara pribadi, saya merasa daerah itu kurang dimanfaatkan dengan baik
oleh kita. Walaupun ya, sekarang ini tempat itu banyak dimanfaatkan untuk
produksi kayu. Kabar terakhir Perum Perhutani KPH Saradan berhasil mencapai
pendapatan sebanyak 45 miliar rupiah dari hasil penjualan kayu.[1]
Tapi di sisi lain, banyak sampah dedaunan yang berserakan dan cukup tertimbun
lumayan banyak, warung kecil yang didirikan di dekat situ pun sangat sepi
pembeli, plang luas daerah yang sudah lama tidak diperbarui (kelihatan lapuk
dan tulisannya sudah cukup sulit terbaca), sebagian daerah digunakan untuk
membakar sampah, dan lain-lain. Tapi lebih dari itu, melihat beberapa berita
tentang permintaan pasar yang kadang kala turun untuk permintaan kayu jati atau
kayu rimba (dua-duanya diproduksi pula di Saradan)[2],
saya rasa kita perlu menyesuaikan beberapa hal tertentu. Selain itu, saya juga
berpijak pada kenyataan bahwa banyak warga sekitar yang kurang mendapatkan
manfaat secara langsung dari hutan yang ada di sekitar mereka. Jadi, singkatnya
saya ingin warga sekitar juga mendapatkan cipratan dari potensi ’45 miliar’
itu, sekaligus membuat pemerintah tetap mendapatkan keuntungan yang sama.
Dengan luas wilayah sebanyak 24.869 hektare, ada banyak potensi yang bisa kita
kembangkan, menurut saya sih.[3]
Dari data yang saya dapatkan, komposisi penggunaan wilayah KPH Saradan itu 6%
sebagai hutan perlindungan, 78% persen untuk produksi, 6% untuk perlindungan,
9% persen untuk penggunaan lain.[4]
Artinya, ada sekitar kurang lebih 216 ha untuk penggunaan lain, walaupun masih
belum jelas apa itu. Saya berpikir daripada membiarkan hal itu terus berlanjut,
mungkin ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah atau kita untuk
memperbaiki keadaan itu yang nantinya akan bermanfaat untuk lingkungan ataupun
masyarakat sekitar secara umum dalam bidang ekonomi. Artinya menggunakan 9%
yang tersisa untuk penggunaan yang lainnya. Kok bisa bermanfaat begitu? Mari
kita lanjutkan.
Salah satu hal yang terpikirkan dalam benak saya adalah mengubah sebagian alas
Saradan menjadi sebuah tempat pariwisata. Diisi apa saja? Bisa bumi perkemahan,
tempat outbond, wisata horor (yang
ini agak maksa sih), dan, ehm, apalagi ya, mari kita pikirkan sambil berjalan.
Menyulap alas Saradan menjadi bumi perkemahan adalah salah satu hal yang bisa
menjadi alternatif. Pertama, lingkungan hutan yang cukup luas, bisa menjadi
pilihan untuk menset-up tempat itu menjadi lingkungan untuk
mengadakan perkemahan bagi para pramuka, PMR, atau organisasi lainnya.
Terlebih, ada banyak sekolah, dari SD sampai SMA khususnya dari daerah Saradan-Mejayan
sendiri yang memilih pergi ke daerah di luar kabupaten kita sendiri untuk
mengadakan kemah, seperti pergi ke daerah Magetan, Kresek, dan lain sebagainya atau
kalau tidak ya kemah di sekolah sendiri (yang pastinya sih kurang greget, betul
begitu kan? *pertanyaan yang berasal dari orang yang tidak pernah ikut kemah
seumur-umur hidupnya kecuali saat di SD, itu pun malamnya pulang ke rumah).
Akibatnya, kalau menyewa di daerah lain, sudah pasti dana yang digunakan juga
masuk ke daerah tersebut. Atau setidaknya masuk ke perusahaan yang menjadi
pengelola tempat pariwisata itu. Tidak ada dana yang masuk ke daerah kita
secara langsung. Wah ini eman sekali.
Dengan menyediakan tempat perkemahan sendiri, dan bila berhasil menarik
orang-orang yang ingin berkemah ke daerah kita, akan ada potensi peningkatan
dana yang masuk ke kas daerah atau setidaknya ke para pengelola bumi perkemahan
itu. Dengan sisa 216 ha lebih, masak kurang sih untuk membuat bumi perkemahan?
*ini pertanyaan murni lo, bukan retoris
ya!
Menyulapnya menjadi bumi perkemahan juga akan membuka lapangan pekerjaan
baru yang bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar. Seperti terbukanya lahan
menjadi penjaga bumi perkemahan, pemandu, pengawas dan penyedia akses air
bersih dan sejenisnya, petugas bersih-bersih atau orang yang merawat agar tidak
kotor, memangkasi rerumputan liar yang terlampau panjang, dan seterusnya. Secara
tidak langsung hal itu akan memicu pula perubahan kondisi penjual yang ada di
sekeliling tempat itu untuk meningkatkan kualitas tempat jualannya, agar jadi
lebih bersih, produk yang dijual terjamin masih layak dipakai, dan seterusnya.
Kenapa? Karena semakin banyak potensi pembeli yang datang dan membutuhkan
produk-produk mereka agar bisa melanjutkan ‘kehidupannya’ di bumi perkemahan.
Mungkin perubahan yang terjadi tidak akan berlangsung secara dramatis, namun
perlahan-lahan. Karena mau bagaimanapun kesan atas tempat dan pelayanan
penjualan merupakan salah satu servis atas pelanggan yang menentukan terjual
atau tidaknya produk mereka, sehingga berdasarkan sudut pandang ini kemungkinan
besar akan terjadi perubahan kualitas pada para penjualan yang saat ini berada
di sekitar alas Saradan *economic hitman
mode: on!. Tentu saja ini juga akan menghasilkan masalah baru, yaitu
masalah irigasi, pembuangan sampah dan seterusnya. Namun saya berpikir itu
masih bisa diatasi dengan banyak hal. Walaupun kelihatannya juga akan menjadi comfort-zone tersendiri dengan set-up seperti itu, menurut saya masih tidak
masalah karena untuk melepaskan dari comfort-zone masih bisa diatasi dengan cara yang
lain, seperti mengatur agenda perkemahan yang menguatkan kemandirian dan
keberanian bagi para peserta kemah seperti; agenda wawancara dengan warga
sekitar, membantu warga sekitar untuk dapat kelulusan atau poin, dan selainnya.
Misalnya sampah-sampah yang dihasilkan dari bumi perkemahan, baik dari para
penjual ataupun adik-adik yang berkemah serta tanaman-tanaman yang jatuh dapat
digolongkan menjadi sampah-sampah tersendiri, seperti sampah organik,
anorganik, dan sejenisnya. Sampah-sampah organik dapat dimanfaatkan ulang
menjadi pupuk. Bisa dikirim pada para produsen pupuk, atau bisa pula mendirikan
tempat pembuatan pupuk tersendiri. Kebanyakan sampah organik yang ada di sana
memang daun jati yang jatuh berguguran, tapi masih terdapat pula tanaman lain
yang daun-daunnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk. Akibatnya akan melahirkan
spesialisasi pekerjaan baru, yaitu para pembuat pupuk serta para pengirim
pupuk, manajemen pembuatan pupuklah biar lebih keren didengar. Dari situ bisa
dikembangkan lagi untuk melahirkan membuka lapangan pekerjaan baru, menambah
wahana dan tempat rekreasi yang berisi wisata pengetahuan pembuatan pupuk,
serta membantu mengurangi jumlah sampah dan juga membantu para produsen pupuk
serta bila mau diteruskan membantu pula para petani yang membutuhkan pupuk
untuk menumbuhkan tanamannya dengan harga murah (karena biaya produksi yang
dilakukan bisa ditekan dengan harga produksi yang lebih rendah karena baik
bahan baku, tempat, ataupun sumber daya sudah tersedia di tempat bumi
perkemahan tersebut).
Sisi negatifnya, mungkin adalah musim kemah yang tidak datang setiap saat. Artinya
akan ada sesi di mana pendapatan bisa-bisa turun sama sekali dan tidak ada
pemasukan lain. Tapi oleh karena itulah kita perlu menyiapkan sulap lain untuk
menjaga agar hutan bisa terus dinikmati dan bermanfaat bagi masyarakat. Seperti
menyediakan produksi pupuk di atas. Walaupun itu juga bisa menghasilkan
pertanyaan baru, seberapa besar animo akan pengetahuan pupuk di masyarakat sih?
Atau kalau begitu kita tambahan wahana lain saja. Biar sekalian menyaingi Jatim
Park, hohoho.
Opsi yang lain adalah mendirikan tempat bermain dengan tema sentral bermain
di alam, atau biasanya sih disebut out-bond
di alas Saradan. Bisa kita isi dengan permainan memanjat pohon, berjalan di
antara dua pohon, wall climb,
lapangan bermain soft gun, dan
lainnya. Salah satu hal yang menghambat mungkin adalah posisi alas Saradan yang
dekat dengan jalan raya mungkin akan menghasilkan kesan kurang natural, dan
juga bising dengan suara lalu lalang kendaraan yang melintas. Alternatif yang
bisa dilakukan adalah membuat area sepanjang pinggir jalan, selebar 500 meter
(kalau perlu ya lebih, tinggal dihitung saja berapa frekuensi yang dihasilkan
dari kendaraan yang lewat dan berapa jauhnya sampai frekuensi itu turun, mirip
cara menghitung efek doppler itu lo) untuk parkir kendaraan, dan bumi
perkemahan atau tempat bermain diletakkan di dalam sehingga meminimkan potensi
gangguan kendaraan dengan aktivitas di dalamnya. Untuk masalah tata letak dan
konten outbond, sepertinya saya tidak
bisa banyak menyumbangkan ide karena sejauh saya menulis tulisan ini, gambaran
detail dari hutan Saradan dan permainan apa yang layak ditempatkan di sana
masih belum saya dapatkan dengan baik. Tapi setidaknya, hal ini patut
dipertimbangkan mengingat banyaknya sekolah di daerah Saradan sendiri. Biasanya
momen liburan panjang, atau rekreasi keluarga, dihabiskan di tempat-tempat yang
natural (kecuali yang hobinya main ke tengah kota). Sekolah Ibu saya dulu pun,
waktu rekreasi, jauh-jauh pergi ke Magetan untuk melihat Taman Ria. Dengan
membangun sentra outbond sendiri,
saya kok merasa layak dicoba ya. Walaupun kita pasti memerlukan usaha yang
lebih untuk menyaingi tempat lain yang secara posisi, iklim, dan lain
sebagainya lebih menguntungkan; sebut saja daerah Malang dengan dingin dan
pemandangan yang ditawarkan dari puncak-puncak bukit atau gunungnya (begitu pun
dengan Magetan dengan Sarangannya), dan sejenisnya.
Adanya perubahan penggunaan atas wilayah alas Saradan itu mungkin memang
akan menghasilkan dampak pada berkurangnya 45 miliar pendapatan yang berhasil
ditorehkan tahun sebelumnya lewat produksi kayu jati dan kayu rimba. Memang lahan
yang tersedia sangat cocok untuk ditanami tumbuhan tersebut. Kurang lebih
13.000 meter kubik kayu jati berhasil dihasilkan pada tahun lalu. Gagasan untuk
mengalihfungsikan sebagian lahan alas Saradan tentu akan berpotensi menurunkan
produksi tersebut. Tapi, dalam pandangan saya, menggantungkan pada pendapatan
produksi kayu semata-mata akan menyulitkan kita sendiri dalam jangka waktu yang
lumayan panjang. Sebabnya, menurut saya ini, pendapatan dari kayu hanya bisa
mungkin bila ada permintaan pasar yang besar untuk kayu jati. Sejauh ini yang
saya tahu, kayu jati bisa dimanfaatkan untuk membangun rumah, meja, atau yang
lain. Pertanyaannya, seberapa besar permintaan pasar untuk kayu jati? Apakah
akan terus meningkat dan bertambah? Harganya bagaimana? Menurun atau
meningkatkah?
Memang untuk melakukan perubahan tidak pernah berawal dari kemudahan. Seperti
ini, kalau gagasan ini benar kita terapkan maka akan ada potensi gagal dan
bahkan justru menurunkan pendapatan daerah. Tapi potensi keberhasilan mengubah
wilayah itu menjadi sentra permainan dan perkemahan yang baru juga tidak bisa
diabaikan begitu saja. Ya mau bagaimana pun, masih diperlukan analisis yang
lebih mendalam tentang kelayakan ide yang saya jabarkan di atas untuk
diterapkan. Tapi setidaknya kita sudah menyumbang ide. Lha daripada
mengutuk-ngutuk terus, capek dan nggak sehat untuk diri kita sendiri bro.
Oh iya kelupaan. Sepertinya saya tidak jadi mengusulkan ide menyulap jadi
wisata horor deh. Lha wong sekarang saja Indonesia ini sudah penuh dengan
ke-horor-an, kenapa ditambah-tambah segala?
Sekian.
[1]
“Perum Perhutani KPH Saradan lampaui
pendapatan hingga Rp45 Miliyar”, RRI, http://www.rri.co.id/post/berita/233575/ekonomi/perum_perhutani_kph_saradan_lampaui_pendapatan_hingga_rp45_miliyar.html
[2]
Lihat misalnya di http://gaul.solopos.com/produksi-kayu-perhutani-jateng-penebangan-kayu-sesuaikan-permintaan-681698.
Sebagai data pembanding, menurut statistik dari BPS (https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/862),
produksi kayu hutan memang selalu meningkat. Artinya kesediaan kayu jati bisa
berpotensi semakin banyak seiring tahunnya. Hal itu bisa berpotensi untuk
menurunkan harga kayu produksi hutan. Ingat lo, masih potensi saja. Penurunan harga
bergantung pada banyak hal selain jumlah kesediaan barang. Mengingat selain Indonesia,
ada pula India dan negara lain yang juga menjadi pemasok kayu hutan. Melihat hal
itu, perlu dipertanyakan seberapa besar sumbangsih produksi kayu dalam jangka
panjangnya. Khususnya untuk daerah Saradan yang relatif kecil bila dibandingkan
dengan daerah lain. Dibandingkan dengan produksi di Jateng yang mencapai 100
ribu kubik lebih kayu misalnya (bandingkan dengan 13 ribu produksi terakhir KPH
Saradan), jelas proporsi produksi hutan Saradan relatif lebih kecil.
[3]
http://www.madiunpos.com/2016/01/05/perhutani-kph-saradan-panen-13-000-m3-kayu-rp45-miliar-ditangguk-677691
[4]
http://humaskphsaradan.blogspot.co.id/p/blog-page_11.html
Terjemahan :
Ndelongop : Bengong sambil membuka mulut.
Merem : Memejamkan mata